You are here:

Ketika Bumi Menjadi Sempit

Pernahkah anda merasakan bumi yang kita diami ini menjadi sempit sehingga napas kita menjadi sesak? Jika belum, dengarlah kisah Ka’ab bin Malik lima belas abad yang lampau.

Ketika Nabi yang mulia berangkat perang bersama para sahabat beliau dalam perang Tabuk, ada tiga orang sahabat yang enggan ikut dalam barisan pasukan Nabi, yaitu Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin Rabi’ah. Ka’ab bercerita, “Ketika kudengar berita bahwa Nabi telah kembali dari Tabuk, terpikir dalam hatiku untuk berdusta. Aku berpikir bagaimana supaya selamat dari kemurkaan Nabi. Namun ketika Nabi sudah sampai di Madinah, aku berpikir bahwa aku tidak akan selamat sedikit pun.

Aku kemudian memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya mengapa aku tidak ikut berperang bersama beliau.” Nabi datang di Madinah. Aku temui dia. Beliau tersenyum, senyum marah.

“Kemarilah,” ujar Nabi. Aku duduk di dekat beliau. Nabi yang mulia bertanya, “Apa yang menyebabkanmu tidak ikut berperang?” Aku berkata, Ya Rasul Allah, jikalau aku menghadap penduduk dunia selain engkau, tentu aku sanggup menyelamatkan diri dari dari kemurkaan dengan mengajukan alasan. Tetapi, demi Allah, sekiranya aku berdusta kepada engkau agar engkau ridha, mungkin Allah segera membuatmu marah kepadaku. Demi Allah, aku tidak mempunyai alasan apapun. Demi Allah, waktu aku meninggalkan diri, aku berada dalam keadaan yang baik (dan mampu untuk berperang).

Rasul bersabda, “Orang ini berbicara benar. Pergilah, sampai Allah memberikan keputusan tentang kamu.” Nabi kemudian mengisolir Ka’ab dan kedua temannya sampai datang putusan dari Allah. Nabi melarang kaum Muslim berbicara kepada mereka. Bahkan, isteri mereka pun kemudian dilarang mendekati mereka. Wajah umat Islam berubah kalau melihat Ka’ab. Mereka segera memalingkan wajahnya.

Ka’ab bercerita, “Aku shalat berjam’ah bersama kaum Muslimin. Aku berkeliling kota dan pasar. Tidak seorangpun menegurku. Aku datangi Rasul sesudah shalat. Aku ucapkan salam kepadanya. Aku ingin tahu apakah beliau menggerakkan bibirnya membalas salamku.Aku shalat didekatnya dan mencoba melirik kepadanya. Usai shalat beliau melihatku, tetapi segera memalingkan wajahnya ke arah lain.

Aku tinggalkan Nabi. Aku berjalan dan berjalan, sampai ke rumah saudara sepupuku, Abu Qatadah. Kuucapkan salam, tetapi demi Allah ia tidak menjawab salamku. Aku berkata, “Hai Abu Qatadah, tahukah engkau bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya? Aku ulangi beberapa kali. Abu Qatadah hanya diam. Aku ulangi lagi. Ia menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Air mata menggelegak di pelupuk mataku. Aku beranjak dari rumahnya.”

Kejadian ini berlangsung lima puluh hari. Ka’ab dan kedua kawannya mengasingkan diri di sebuah bukit. Keluarganya mengantarkan makanan kepada mereka. Suatu hari Ka’ab berkata, “Orang-orang dilarang berbicara kepada kita. Kita pun sepatutnya tidak saling berbicara. Setelah itu mereka tinggal berjauhan.

Datang pula utusan dari Syam yang bermaksud merangkul Ka’ab dan kedua temannya agar membelot dari Islam dan bergabung dengan non-Muslim. Ka’ab berkata, “Tawaran ini juga bagian dari cobaan.” Ka’ab menampiknya dan tetap setia dalam Islam meski telah diisolir oleh umat Islam.

Setiap hari Ka’ab dan kedua rekannya berdo’a, beristighfar dan menangis. Setelah lima puluh hari, Allah menurunkan ayat: ”

(Dan Allah juga mengampuni) tiga orang yang meninggalkan diri di belakang. Ketika bumi yang luas terbentang terasa sempit bagi mereka dan mereka rasakan napas mereka sesak. Mereka tahu bahwa tidak ada tempat berlindung kecuali Allah. Kemudian Allah mengasihi mereka agar mereka kembali kepada Tuhan. Sesungguhnya Allah Penerima Taubat dan Maha Penyayang (QS 9: 118)

Ka’ab mendengar berita pengampunan ini setelah subuh. Ia memeluk pembawa berita. Ia rebahkan dirinya bersujud syukur. Segera ia temui Rasul. Rasul menyambutnya dengan senyum yang bersinar. Ketika melihat sambutan Nabi seperti itu (yang berbeda dengan sebelumnya). Ka’ab tidak dapat menahan air matanya. Ia menciumi tangan dan kaki Rasul yang mulia. Karena ia mendapat ampunan itu berkat kejujurannya, ia berjanji bahwa sejak itu lidahnya tidak akan pernah mengucapkan kebohongan. (Tafsir al-Durr al-Mantsur 4:309-315; Jalaluddin Rakhmat, 1993: 77-80)

Armidale, 4 Juni 1998.