Nadirsyah Hosen
(Kandidat Doktor Ilmu Hukum pada University of Wollongong, Australia)
Media Indonesia, Senin, 11 Juni 2001
PENONAKTIFAN Kapolri dan (isyarat) penolakan KSAD untuk dicopot oleh Presiden telah menimbulkan pertanyaan akan peran TNI/Polri vis-a-vis Presiden. Penolakan kedua jenderal bintang empat itu didasari alasan yang sama, TNI/Polri tidak mau dibawa kembali ke persoalan politik praktis. Indikasinya adalah Presiden Abdurrahman Wahid hendak mencopot mereka tanpa melalui prosedur yang benar karena mereka tidak mau mengikuti kehendak Presiden Wahid (soal dekrit?).
Bagaimana mungkin ketegangan ini bisa terjadi justru pada saat TNI/Polri sepakat untuk mundur dari politik praktis. Dan Presiden juga kerap kali menyatakan komitmennya untuk tidak mengintervensi TNI/Polri? Jawabannya adalah ternyata reposisi TNI/Polri yang dikumandangkan sejak reformasi bergulir belum selesai pelaksanaannya. Celakanya, proses reposisi ini terinterupsi justru oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Persoalan legalitas
Kekisruhan ini sebenarnya terjadi sejak MPR mengeluarkan Ketetapan No VI/MPR/2000 dan No VII/MPR/2000. Melalui kedua Tap MPR tersebut reposisi TNI/Polri menjadi mengambang dan tidak jelas. Alasannya sebagai berikut:
Pertama, UUD 1945 telah menetapkan (pasal 10) bahwa sebagai konsekuensi kedudukannya selaku kepala negara, Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi untuk angkatan darat, laut, dan udara. Kekuasaan ini ternyata dikurangi oleh Tap MPR No VII/MPR/2000 yang mensyaratkan persetujuan DPR untuk pengangkatan Panglima TNI dan Kapolri.
Bisakah peraturan yang di bawah mengurangi kekuasaan yang diberikan oleh peraturan yang lebih tinggi? Tentu tidak bisa. Yang bisa dilakukan oleh Tap MPR adalah memberikan penjelasan, tafsir ataupun memperkuat ketentuan dalam UUD 1945. Dengan memberikan persyaratan akan persetujuan DPR, maka MPR telah secara telanjang melanggar UUD 1945.
Latar belakang munculnya Tap MPR di atas adalah pengalaman 32 tahun ketika ABRI benar-benar mengikuti seluruh kemauan politik Presiden saat itu. MPR tidak ingin TNI/Polri mengulangi masa-masa kelam itu. Hanya saja cara yang dilakukan MPR rupanya kurang tepat. Seharusnya MPR hanya memberikan kalimat, `dengan memperhatikan pertimbangan DPR` ketimbang `dengan persetujuan DPR`. Implikasi perbedaan anak kalimat itu sangat berarti dalam hukum tata negara kita. Langkah lain yang seharusnya dilakukan adalah dengan mengamendemen Pasal 10 UUD 1945.
Kedua, Presiden sebenarnya berhak meluruskan kesalahan MPR ini dengan cara mengajukan judicial review untuk menguji apakah benar Tap MPR di atas telah mengurangi kekuasaan Presiden menurut UUD 1945. Celakanya, MPR telah membuat Ketetapan No III/MPR/2000 yang menyatakan bahwa MPR-lah yang berwenang menguji peraturan di atas undang-undang. Bagaimana mungkin MPR melakukan hak uji materiil terhadap peraturan yang dikeluarkannya sendiri (Tap MPR)?
Dua alasan di atas membuat MPR menjadi sebuah badan yang kekuasaannya tak terbatas. Ia dapat membuat ketetapan yang menyalahi UUD 1945 tanpa seorang pun berhak mempersoalkannya. MPR juga tidak membuat mekanisme pertanggungjawaban MPR ataupun progress report seperti dilakukan lembaga tinggi negara lainnya di Sidang Tahunan.
Kekuasaan tanpa batas yang dimiliki MPR ini diperparah dengan kenyataan bahwa anggota DPR otomatis sebagai anggota MPR. Karena itu partai politik yang berada di DPR dapat saja memaksakan kehendaknya melalui jalur MPR tanpa ada yang bisa mencegahnya. Kekuasaan tanpa batas ini jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Persoalan politik
Ketika TNI/Polri sudah menyatakan niatnya untuk tidak berpolitik, maka terdapat sejumlah kemusykilan. Jabatan Panglima TNI dan Kapolri adalah jabatan politis. Ketika Kapolri dan Panglima ikut dalam rapat kabinet, maka kedua pimpinan ini sudah bermain politik. Ketika keduanya memberikan saran-saran ataupun masukan kepada Presiden mengenai perlu-tidaknya Presiden mengeluarkan dekrit, kedua petinggi ini juga sudah memasuki wilayah politik.
Sebagaimana jabatan setingkat menteri, kedua posisi strategis itu tidak membutuhkan penyeleksian berdasarkan kemampuan (merit). Unsur subjektif Presiden berperan di sini. Boleh saja Wanjakti memberikan saran dan pertimbangan serta mengajukan nama-nama calon kepada Presiden, tetapi sekali Presiden sudah memutuskan maka TNI dan Polri tidak berhak mempertanyakan keputusan terhadap posisi Panglima dan Kapolri. Sekali lagi, ini bagian dari wewenang Presiden selaku kepala negara.
Untuk efektivitas pemerintahan tentu saja Presiden (yang juga merangkap kepala pemerintahan) membutuhkan orang yang tepat untuk menjabarkan visi dan orientasinya selaku Presiden. Dengan aturan main yang berlaku dan kondisi seperti sekarang ini, muncul kemusykilan kalau Presiden dan DPR tidak mencapai kesepakatan soal calon Panglima TNI dan Kapolri. Calon Panglima dan Kapolri dapat saja melobi politikus di DPR untuk menekan Presiden.
Tentu saja hal ini dapat menimbulkan praktek tawar-menawar politik antara calon dan politikus di DPR (seperti silaturahmi Kapolri dengan pimpinan DPR dan MPR). Jikalau ini yang terjadi, tidakkah justru TNI dan Polri dapat terseret ke persoalan politik praktis kembali?
Keberadaan Fraksi TNI/Polri di parlemen juga menimbulkan pertanyaan akan niat mereka untuk tidak terlibat di politik. Sekali lagi, Tap MPR memberi justifikasi terhadap keberadaan mereka (sampai tahun 2009). Ketika Fraksi TNI/Polri setuju Memorandum I dan abstain pada Memorandum II serta penentuan Sidang Istimewa, mereka sudah memasuki wilayah politik. Pimpinan mereka ikut rapat kabinet, sementara mereka juga bermain politik di parlemen. Kalau mereka menerjemahkan kenetralan posisi mereka dengan cara abstain maka keberadaan mereka di parlemen, mengutip ungkapan Arab, wujuduhu ka adamihi (keberadaannya sama dengan ketiadaannya). Lalu untuk apa mereka bertahan di parlemen? Repotnya, anggota Fraksi TNI/Polri, di luar mekanisme Wanjakti, dapat juga berperan (selaku anggota DPR) menentukan siapa menjabat Panglima TNI dan Polri. Sementara Panglima TNI dan Polri dapat melakukan pergantian antarwaktu untuk mereka. Sebuah lingkaran yang berputar tak kunjung habis.
Terakhir, silaturahmi KSAD dengan para sesepuh Angkatan Darat dan apel siaga Kostrad serta pengumpulan tanda tangan para jenderal di tubuh Polri telah semakin memperkuat dugaan bahwa ada sesuatu yang belum tuntas dalam reposisi peran dan fungsi TNI/Polri. Hampir di seluruh negara, untuk tidak menyebut semuanya, militer tetap mengambil peran politik. Hanya saja batas-batas dan sejauh mana keterlibatan itu diatur dengan aturan main yang jelas.
Sayang, di negeri kita, di tengah aturan yang tidak jelas, semua pihak (Presiden, DPR, MPR, Kapolri, dan Panglima TNI dan para jenderal) menginginkan TNI dan Polri tidak bermain politik kembali. Namun, pada saat yang sama, semuanya memainkan kartu politik yang bernama, TNI dan Polri, atas nama demokrasi dan reformasi.***