You are here:

Islam: Periode Mekkah dan Madinah

1. Periode Mekkah: Sebuah Pijakan Awal

Dalam sebuah tabligh akbar, penceramah berkata pada para jama’ah :

“Bangsa Arab adalah bangsa yang tidak bermoral, bejat, munafik, licik dan bukan hanya sering terjadi pembunuhan terhadap klan lain dan biasanya berlanjut dengan peperangan, mereka juga tidak ragu-ragu membunuh anak perempuan mereka. Pada bangsa yang a moral dan a susila seperti inilah Tuhan menurunkan Nabi Muhammad SAW. Walhasil, Nabi diutus kepada bangsa Arab karena kejahiliyahan bangsa tersebut dan tugas Nabi-lah untuk menyempurnakan akhlak mereka.”

Benarkah Nabi diutus di Mekkah karena masyarakat Mekkah paling bejat? Prof. DR. HM. Quraish Shihab, MA menyangsikan tesis tersebut. Baginya, “pemikiran ini terlalu dangkal, karena masih banyak faktor yang lebih ‘ ilmiah’ dan lebih beradab.” Menurut beliau, pada masa Nabi terdapat dua adikuasa. Pertama, Persia yang menyembah api dan ajaran Mazdak mengenai kebebasan seks yang masih berbekas pada masyarakatnya sehingga permaisuri pun harus menjadi milik bersama. Kedua, Romawi yang Nasrani yang juga masih dipengaruhi oleh budaya Kaisar Nero yang memperkosa ibunya sendiri dan membakar habis kotanya. Kedua adikuasa ini bersitegang memperebutkan wilayah Hijaz. Karenanya tidak mungkn Islam hadir di keduanya atau salah satunya. Selain itu, Mekkah (pusat Hijaz) tempat bertemunya para kafilah Selatan dan Utara, Timur dan Barat. Penduduk Mekkah juga melakukan “perjalanan musim dingin dan musim panas” ke daerah Romawi dan Persia. Ini akan memudahkan penyebaran pesan.

Satu faktor lain yang mendukung Mekkah adalah bahwa masyarakat Mekkah belum banyak disentuh peradaban. Pada saat itu masyarakat Mekkah belum mengenal nifaq dan mereka pun keras kepala, serta lidah mereka tajam (QS 33: 19). Memang, kemunafikan baru dikenal di Madinah. Sulit dibayangkan bila di awal perkembangan Islam sudah ada kemunafikan. Sementara itu, suku yang paling berpengaruh di Mekkah adalah Quraisy. Suku Quraisy memiliki dua keluarga besar, Hasyim dan Umayyah. Yang pertama memiliki sifat jauh lebih mulia dibanding yang terakhir. Dari keluarga Hasyim lah Muhammad lahir. (Quraish Shihab, Lentera Hati, Bandung, Mizan, 1994, 48-51)

Betapapun kutipan di atas dimaksudkan untuk membantah pendapat bahwa Muhammad diturunkan di Mekkah karena bangsa tersebut paling bejat, namun secara tidak langsung kita telah mendeskripsikan konstelasi politik tingkat dunia ketika Islam lahir, kondisi Mekkah sebagai tempat perdagangan, ciri umum penduduk Mekkah dan kebiasaannya berdagang ke luar Mekkah, suku dan dua keluarga besar (klan) dalam masyarakat Mekkah. Ini semua menjadi bekal bagi kita untuk memahami konteks sosio-religius pada periode Mekkah.

Mengingat pentingnya klan dalam komunitas Mekkah, maka Nabi diperintahkan untuk mula-mula menyebarkan Islam di kalangan kerabatnya (QS 26:214-215) –jangan dilupakan besarnya pengaruh suku Quraisy di kalangan penduduk Mekkah. Karenanya bisa dibayangkan betapa terpukulnya Muhammad ketika ia mengumpulkan keluarganya dalam suatu jamuan santai dan berpidato meminta mereka ke jalan Allah, ternyata keluarganya menolak dan hanya Ali bin Abi Thalib yang berani dan mau menjadi pembantunya. Puluhan orang yang hadir mentertawakan Muhammad dan Ali. Tidak seorangpun menyadari bahwa beberapa di antara para undangan ini akan ditebas oleh Ali di medan Badr, empat belas tahun kemudian, sebagai bukti kesungguhan Ali.

Besarnya pengaruh keluarga di Mekkah jugalah yang, salah satunya, membuat Hamzah memeluk Islam, yakni ketika Abu Jahl –dari klan Hanzhalah– mencaci dan mengejek Muhammad, lalu orang-orang melapor pada Hamzah –paman dan sekaligus saudara sesusuan Muhammad– yang menghajar kepala Abu Jahl dengan busur panahnya. Insiden ini akan berbuntut panjang kalau saja spirit klan saat itu tidak segera padam.

Ketika Abu Thalib masih hidup, klan Hasyim memberikan perlindungan pada Muhammad dan tidak ada yang berani membunuh Muhammad karena klannya akan membalas nantinya. Keadaan berbeda ketika Abu Thalib wafat dan klan Hasyim –lewat Abu Lahab– melepaskan perlindungan atas Muhammad. Itu berarti, klan manapun yang dirugikan oleh agama ini dapat membunuh Muhammad dan tidak ada klan yang akan menuntut balas. Sejak itu Muhammad dikejar-dikejar dan terpaksa lari ke Tha’if seraya memohon perlindungan pada (berturut-turut) Mas’ud, Abdu Yalail, Habib, Akhnas, Suhayl dan Mut’im bin Adi. Yang terakhir inilah yang bersedia melindungi Muhammad atas nama klannya. Bertahun kemudian,ketika ditanya Aisyah, Rasul menjawab: “Hari-hari hidupku yang paling getir, adalah dulu, ketika ditengah bangsamu, nasibku bergantung pada belas kasih Abdu Yalail”. (Disarikan dari H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah, Bandung, Mizan, 1990, khususnya bab 12 dan 23)

Ketika Islam hadir di Mekkah dapatlah kita baca dalam beberapa literatur bahwa pada periode Mekkah bercirikan ajaran Tauhid. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan teologis semata, juga seruan Islam akan keadilan sosial, perhatian pada nasib anak yatim, fakir miskin dan pembebasan budak serta ajaran Islam akan persamaan derajat manusia, yang menimbulkan penolakan keras penduduk Mekkah pada Muhammad. Bagi mereka, agama ini tidak hanya “merusak” ideologi dan teologi mereka, tetapi juga “merombak” kehidupan sosial mereka.

Contoh menarik, misalnya, QS 9:13 tentang kata “karim” (lihat Syamsu Rizal Panggabean, “Beberapa Segi Hubungan Bahasa Agama dan Politik dalam Islam”, dalam Islamika, No. 5, 1994, h. 4-5). “Karim” dalam masyarakat jahiliyyah merupakan bagian penting kode etik muru`ah –cita-cita moral tertinggi masyarakat Arab jahiliyah yang mencakup antara lain, kejujuran, keberanian, kesetiaan dan kedermawanan serta keramah-tamahan. Keberanian dan kedigjayaan terutama ditunjukkan pada saat pertempuran dan penyamunan. Loyalitas terfokus pada ikatan-ikatan kesukuan dan perjanjian. Kedermawanan dan keramah-tamahan terutama ditunjukkan dalam menjamu tamu, dan seringkali dengan maksud meninggikan status seseorang di hadapan tetamunya.

Konsep “karim” di atas mengalami perubahan makna yang drastis ketika Qur’an dengan tegas mengatakan bahwa manusia yang paling karim (akram) dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa kepadaNya. Bagi yang tidak mengetahui konteks di atas, pernyataan al-Qur’an itu akan terdengar biasa saja. Tapi bagi orang-orang pada masa Muhammad, pernyataan di atas betul-betul radikal. Jika konteks Arab jahiliyyah berikut kedudukan kata karim dalam pandangan-dunia mereka dipahami, maka yang terjadi adalah revolusi cita-moral Arab. Bukan orang yang berharta banyak, menang dalam pertempuran dan seorang bangsawan yang disebut karim, tapi mereka yang bertakwa. Implikasinya, budak hitam legam pun dapat dipandang karim. Radikalisasi makna pandangan-dunia (weltanschaung) Arab jahiliyyah yang dilakukan Islam seperti inilah yang sedikit banyak menggoncang penduduk Mekkah.

Dapatlah diambil kesimpulan secara tentatif bahwa masyarakat Islam pada kurun Mekkah belum lagi tercipta sebagai sebuah komunitas yang mandiri dan bebas dari urusan klan.Negara Islam juga belum terbentuk pada kurun Mekkah. Ajaran Islam pada kurun Mekkah bercirikan tauhid dan dalam titik tertentu terjadi radikalisasi makna dalam weltanschaung Arab jahiliyyah yang berimplikasi mengguncang tataran sosio-religius penduduk Mekkah. Kita akan melihat bagaimana ciri umum ajaran Islam dan masyarakat Islam pada periode Mekkah berkembang pada periode Madinah, untuk itu mari kita “hijrah” ke Madinah di bawah ini.

2. Periode Madinah: Kesempurnaan Agama Islam

Hijrah ke Madinah tidaklah terwujud begitu saja (atau sekonyong-konyong). Ada beberapa pra-kondisi seperti Bai`at Aqabah (pertama dan kedua). Kedua Ba`iat ini merupakan batu-batu pertama bagi bangunan negara Islam. Kehadiran Rasul melalui peristiwa hijrah ke dalam masyarakat Madinah yang majemuk amat menarik untuk dibahas. Peta demografis Madinah saat itu adalah sebaagai berikut: (1) Kaum Muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, (2) Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih berada pada tingkat nominal muslim, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi saw., (3) Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menganut paganisme, (4) Orang-orang Yahudi yang terbagi dalam tiga suku utama: Banu Qainuqa, Banu Nadhir dan Banu Quraizha.

Kemajemukan komunitas tersebut tentu saja melahirkan conflict dan tension. Pertentangan Aus dan Khazraj sudah terlalu terkenal dalam sejarah Islam. Bahkan diduga diterimanya Rasul di Madinah (Yatsrib) dengan baik di kedua klan tersebut karena kedua klan tersebut membutuhkan “orang ketiga” dalam konflik diantara mereka. Hal ini bisa dipahami dalam manajemen konflik politik. Adapun diterimanya Rasul oleh kaum Yahudi merupakan catatan tersendiri. Tentu saja Yahudi menerima Nabi dengan penuh kecurigaan tetapi pendekatan yang dilakukan Nabi mampu “menjinakkan” mereka, paling tidak, sampai Nabi eksis di Madinah.

Kemajemukan komunitas Madinah membuat Rasul melakukan negosiasi dan konsolidasi melalui perjanjian tertulis yang terkenal dengan “Piagam Madinah”(lihat Ibn Hisyam, Sirah an-Nabawiyah, h. 301-301). Piagam Madinah sesungguhnya merupakan rangkaian penting dari proses berdirinya negara Madinah, meskipun Nabi, selaku “mandataris” Piagam Madinah tidak pernah mengumumkan bahwa beliau mendirikan negara, dan tak satupun ayat Qur’an yang memerintahkan beliau untuk membentuk suatu negara.

Dari sudut pandang ilmu politik, obyek yang dipimpin oleh Nabi saw.memenuhi syarat untuk disebut sebagai negara. Syarat berdirinya negara ialah ada wilayah, penduduk dan pemerintahan yang berdaulat. Kenyataan sejarah menunjukkan adanya elemen negara tersebut.Walhasil, setelah melalui proses Ba`iat dan Piagam Madinah Nabi dipandang bukan saja sebagai pemimpin ruhani tetapi juga sebagai kepala negara.

Kita beralih pada persoalan ajaran Islam. Pada periode Madinah ajaran Islam merupakan kelanjutan dari periode Mekkah. Bila pada periode Mekkah, ayat tentang hukum belum banyak diturunkan, maka pada periode Madinah kita mendapati ayat hukum mulai turun melengkapi ayat yang telah ada sebelumnya. Ini bisa dipahami mengingat hukum bisa dilaksanakan bila komunitas telah terbentuk. Juga dapat dicatat kemajemukan komunitas Madinah turut mempengaruhi ayat hukum ini. Satu contoh menarik pada peristiwa kewajiban zakat dan pelarangan riba. Setting sosio-ekonomi Madinah yang dikuasai oleh Yahudi memerlukan sebuah “perlawanan” dalam bentuk zakat (untuk pemerataan ekonomi di kalangan muslim) dan pelarangan riba. Yang terakhir ini membawa implikasi baik secara ekonomi maupun politik bagi praktek riba kaum Yahudi.

Bukan hanya ayat hukum saja yang berangsur-angsur “sempurna”, juga ayat tentangetika, tauhid dan seluruh elemen ajaran Islam berangsur-angsur mendekati titik kesempurnaan,dan mencapai puncaknya pada QS 5:3. Setelah Nabi wafat, dimulailah era khulafaur rasyidin. Tidak dapat dipungkiri, di Madinah Islam sempurna dan disinilah awal sebuah peradaban yang dibangun oleh umat Islam mulai tercipta.

Wa Allah a’lam bis Shawab.