You are here:

Bismillahirrahmanirrahim
wa bihi nasta’in ‘ala umurid dunya wad din

Dilihat dari asbabun nuzul ayat “udkhuluu fis silmi kaaffaah“, Islam kaffah itu sebenarnya berkenaan dengan aqidah. Jangan menyembah Allah dengan setengah-setengah; kita dituntut untuk bertauhid dengan penuh totalitas. BerIslam secara kaffah itu artinya tidak sinkretisme: mencampurbaurkan berbagai ajaran agama.

Di luar persoalan aqidah, Islam kaffah itu masuk pada wilayah penafsiran. Contohnya, bagi mereka yang berpandangan bahwa Islam itu mewajibkan bentuk dan sistem ketatanegaraan tertentu, maka ber-Islam secara kaffah artinya mendukung dan berjuang untuk menegakkan sistem dan bentuk ketatanegaraan tsb.

Sebaliknya, bagi mereka yang bepandangan bahwa Islam tidak mewajibkan secara syar’i akan bentuk dan sistem ketatanegaraan tertentu, maka mereka tidak merasa berkurang ke-kaffah-an mereka dalam ber-Islam hanya karena tidak mendukung sistem dan bentuk ketatanegaraan tertentu.

Mereka berpandangan –sesuai dengan pemahaman mereka terhadap nash– bahwa Islam hanya memberikan petunjuk akan prinsip-prinsip tertentu yang dapat digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bentuk dan sistem ketatanegaraan yang dipilih ummat tidaklah menjadi soal selama prinsip-prinsip tersebut terpenuhi.

Contoh lain, mereka yang berpandangan ber-Islam secara kaffah itu harus total mengikuti contoh yang diberikan Nabi termasuk dalam bersiwak. Mereka membersihkan mulut dan gigi mereka dengan menggunakan siwak. Inilah salah stau bentuk ke-kaffah-an mereka dalam berIslam. Sementara itu ada ummat Islam yang menganggap bahwa yang Nabi perintahkan itu sebenarnya menjaga dan membersihkan mulut dan gigi kita. Apakah cara membersihkannya dengan siwak atau dengan sikat gigi dan pasta gigi tertentu itu tidak menjadi masalah. kalau ada yang mau pakai siwak, silahkan saja. Mereka yang menjaga kebersihan mulutnya dengan sikat gigi, pasta gigi, obat kumur-kumur, rutin ke dokter gigi setiap 6 bulan sekali tidak akan merasa berkurang ke-kaffah-an mereka dalam berIslam, hanya karena tidak bersiwak.

Nabi memerintahkan agar membayar upah buruh sebelum keringat buruh mengering. Ada yang berpandangan bahwa ber-Islam secara kaffah itu harus memperhatikan betul perintah Nabi ini. Ia selalu siap membayar upah buruh di saat buruh baru saja selesai bekerja. Ada yang punya pandangan lain lagi. Menurut mereka perintah Nabi itu tidak sekedar bicara soal “waktu” pembayaran upah buruh, apalagi sekedar bicara soal keringat buruh. Nabi sebenarnya sedang melarang kita bertindak zalim dengan menahan upah buruh secara sewenang-wenang tanpa ada kejelasan pembayarannya.

Itulah yang terjadi di masa silam. Nah, dalam konteks sekarang, yang disebut berIslam secara kaffah itu boleh jadi kita harus membuat sistem penggajian secara profesional, baik untuk mereka yang bekerja mengeluarkan keringat maupun mereka yang bekerja tanpa mengeluarkan keringat; baik pekerja itu dibayar di awal bulan, di akhir bulan atau minggu sekali, yang penting ada sistem yang menjamin keadilan dan kesejahteraan buruh. Sabda Nabi di atas juga belum bicara soal upah minimum. Buat sebagian ummat, membuat sistem penggajian yang modern dan professional tentu tidak bisa dianggap sebagai berlebih-lebihan dalam berIslam, malahan ini sebuah pengayaan makna terhadap perintah Nabi sesuai konteks zamannya. Ini bukan kebablasan dalam berIslam.

Kitab Hadis di bawah ini menunjukkan Rasul mendera peminum khamr 40 kali:

  1. Shahih Bukhari, Hadis Nomor [HN} :275
  2. Sunan Tirmidzi, HN: 1363
  3. Musnad Ahmad, HN: 11696, 12341, 13375

Namun dalam Shahih Muslim (HN: 3318 dan 3319) Khalifah Umar telah mendera 80 kali, padahal Rasul mendera 40 kali. Periksa juga Bidayatul Mujtahid (2:364) dan al-Mizan al-Kubra (2:171) yang menunjukkan bagaimana sunnah Nabi dan sunnah Umar membuat para ulama berbeda dalam menetapkan cambuk 40 atau 80 kali. Abu Hanifah dan Malik berpendapat 80 kali, sedangkan Syafi’i dan Ahmad berpendapat 40 kali.

Buat mereka yang berpandangan Islam kaffah itu tidak boleh kurang-tidak boleh lebih dari apa yang dipraktekkan Nabi, tindakan Khalifah Umar boleh jadi dianggap bukan lagi kaffah, tapi sudah “kebablasan”. Umar r.a boleh jadi dianggap telah menambah-nambah hukum Allah.

Buat para “supporter” Umar r.a, tindakan beliau itu masih dalam koridor Islam kaffah. Yang dilakukan beliau adalah “pengayaan makna” dari apa yang telah dilakukan Nabi. Alih-alih menyalahi ketentuan Nabi, apa yang dilakukan Khalifah Umar justru dianggap sesuai dengan ruh dan jiwa dari pensyariatan had bagi peminum khamr. Kondisi dan situasi para peminum khamr di jaman Nabi berbeda dengan di jaman Umar, selaku Khalifah, Umar telah melakukan apa yang dikategorikan oleh Abdul Wahhab Khallaf sebagai “Wewenang waliy al-amri dalam mengerjakan sesuatu atas dasar maslahah yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama meskipun tidak terdapat dalil khusus” [Khallaf, al-Siayasah al-Syar’iyyah, h. 3]

Dari contoh-contoh di atas, di luar masalah aqidah, Islam kaffah itu melibatkan penafsiran. Semua penafsiran itu sebenarnya dalam rangka ber-Islam secara kaffah juga, hanya mereka berbeda dalam memahami “wasa’il” dan “maqashid” dari Nash. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab

salam hangat,
=nadir=