You are here:

Harga Mati Pembukaan UUD 1945

Media Indonesia, Rabu, 29 Mei 2002

PRESIDEN Megawati Soekarnoputri, Ketua MPR M Amien Rais, para purnawirawan TNI, dan sejumlah pengamat menyatakan dengan tegas bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak termasuk dalam proses amendemen. Mereka menyatakan hal ini sebagai harga mati. Israr dalam tulisannya di Media Indonesia (27/5) telah meringkas argumen harga mati ini: dapat membuka luka lama perdebatan ideologi negara, dapat membubarkan negara, dan dalam sejarah Pembukaan UUD 1945 tersebut tidak pernah diganti. Sayangnya, ketiga argumen ini selalu diterima begitu saja tanpa diuji dengan sikap kritis.

Ketetapan MPRS No XX/MPRS/1966 menyatakan bahwa ‘Mengubah isi Pembukaan berarti pembubaran negara’. Sebelum diajukan kritik terhadap teori Hans Kelsen yang melatarbelakangi pernyataan ini, perlu diberikan catatan bahwa Tap MPRS 1966 tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Tap MPR No III/MPR/2000. Dasar hukum terakhir ini sama sekali tidak mencantumkan pernyataan ‘harga mati’ Pembukaan UUD 1945. Sayang, masih banyak yang merujuk pada sebuah ketentuan hukum yang telah dicabut tersebut.

Namun, apakah benar Pembukaan UUD 1945 tidak pernah berubah? Sejarah ketatanegaraan kita justru menunjukkan sebaliknya. UUD 1945, UUD RIS, dan UUDS 1950 masing-masing memiliki pembukaan atau mukadimah sendiri-sendiri. Ini jelas berbeda dengan klaim sebagian pihak. Dengan melihat Keppres RIS No 48, 31 Januari 1950, yang tercantum dalam Lembaran Negara 50-3 dan diumumkan 6 Februari 1950, dan UU No 7/1950 kita akan terkejut mendapati fakta sejarah bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak digunakan dalam UUD RIS dan UUDS 1950.

Sejarah juga menampilkan fakta yang menarik mengenai kalimat ‘Atas berkat rahmat Allah’ di alinea ketiga Pembukaan UUD 1945. Disebutkan dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang diterbitkan Sekneg RI (cetakan pertama, edisi ketiga, 1995, hlm 419-420) bahwa I Gusti Ktut Pudja pada sidang pertama 18 Agustus 1945 berkata ‘Ayat 3 atas berkat rahmat Allah diganti saja dengan ‘Tuhan’, Tuhan Yang Maha Kuasa’.

Soekarno berkata ‘Diusulkan supaya perkataan Allah Yang Maha Esa diganti dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian Soekarno membaca teks Pembukaan dan pada awal alinea ketiga ia membaca ‘Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa … dst’. Selesai membaca, Soekarno berkata ‘Setuju, tuan-tuan? (suara: setuju). Dengan ini sahlah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.” Jadi, sebenarnya yang disahkan adalah kalimat ‘Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa’. Ini berbeda dengan Pembukaan UUD 1945 yang kita kenal selama ini.

Dalam buku pedoman yang biasanya diedarkan ketika Penataran P4 juga menyebutkan kata Allah; bukan Tuhan. Dalam lampiran buku risalah tersebut ditemukan Berita Repoeblik Indonesia (BRI), penerbitan resmi pemerintah Republik Indonesia, tahoen II No 7 (15 Febroeari 1946). yang mencantumkan ‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’. Fakta sejarah perubahan Pembukaan UUD 1945 ini semakin kontroversial ketika buku Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945 (Departemen Penerangan RI, cet III, tanpa tahun hal 11-29), mencantumkan alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 berbunyi ‘Atas berkat Rachmat Tuhan Yang Maha Kuasa’. Ini artinya sesuai dengan Berita Repoeblik Indonesia (BRI) 1946 dan berbeda dengan naskah lain yang beredar selama ini. Naskah manakah yang benar dan sejak kapan negara kita menjadi bubar karena perubahan ini?

Perubahan kata Allah dan Tuhan secara teologis bisa diperdebatkan maknanya. Namun, dalam konteks hukum tata negara perubahan ini menunjukkan bahwa disadari atau tidak, Pembukaan UUD 1945 sudah mengalami perubahan dan ternyata negara kita belum juga bubar. Ini membawa kita untuk meninjau argumen filsafat hukum yang mengaitkan Pembukaan UUD 1945 dan bubarnya negara.

Argumen filsafat hukum

Sejumlah ahli hukum tata negara memasukkan Pembukaan UUD 1945 dalam kategori staatsgrundnorm, yang tidak bisa diubah dan dimodifikasi, seperti dijelaskan dalam teori hukum murni Hans Kelsen. Teori Kelsen dianggap tidak realistis oleh Friedmann dalam Legal Theory (hlm 114). Sayangnya, banyak juga yang lupa bahwa teori Kelsen ini telah dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Dalam teori Nawiasky, Pembukaan UUD 1945 dapat dimasukkan ke staatsfundamentalnorm. Berbeda dengan Kelsen, Nawiasky berpendapat bahwa norma dasar negara ini dapat berubah sewaktu-waktu karena sebuah peristiwa politik yang luar biasa seperti kudeta, revolusi, dan sebagainya. Teori Nawiasky sebenarnya sejalan dengan ide perubahan Pembukaan UUD 1945 mengingat empat tahun lalu telah terjadi peristiwa luar biasa di negara kita, berhentinya Presiden Soeharto dan dimulainya era reformasi.

Satu hal yang perlu dipertimbangkan lebih jauh adalah pembukaan sebuah UUD itu merefleksikan semangat zaman dan konteks sejarah, serta roh norma bernegara yang akan diturunkan dalam batang tubuh atau pasal-pasal UUD tersebut. Spirit kemerdekaan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sangat cocok dengan suasana lahirnya UUD 1945. Namun, spirit atau roh reformasi yang bergulir sejak empat tahun lalu belum terakomodasi dalam Pembukaan UUD 1945.

Andai kata usulan amendemen Pembukaan UUD 1945 diterima, maka isinya adalah penambahan alinea yang berisikan semangat reformasi sebagaimana telah dicerminkan dalam sejumlah pasal tentang hak asasi manusia, penguatan posisi parlemen, pembatasan masa jabatan presiden, dan lainnya. Dengan demikian, akan ada korelasi yang kuat antara amendemen UUD 1945 dan amendemen Pembukaan UUD 1945. Di samping itu, problem perbedaan redaksi alinea ketiga yang disebutkan dalam tulisan ini juga bisa diselesaikan dengan mulus.

Sayangnya, banyak pihak yang khawatir bahwa dibukanya pintu amendemen Pembukaan UUD 1945 akan ‘menghidupkan’ kembali Piagam Jakarta. Kekhawatiran ini jelas berlebihan karena sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Piagam Jakarta senantiasa hidup dan tidak pernah mati. Presiden Soekarno telah menyatakan Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

Alasan lainnya adalah kekuatan riil partai politik Islam. Beberapa parpol Islam, sejauh yang terekam dalam liputan media massa, tidak mengusulkan hidupnya kembali Piagam Jakarta. Mereka lebih berkosentrasi dalam usulan amendemen Pasal 29. Namun, suara mereka tidaklah bulat. Praktis yang benar-benar mengusulkan amendemen Pasal 29 hanya memiliki kurang dari 30% jumlah kursi di MPR. Bagaimana mungkin mereka bisa mengulangi deadlock di Konstituante hampir lima puluh tahun yang lalu.

Ketakutan akan amendemen Pembukaan UUD 1945 yang dikaitkan dengan amendemen Pasal 29 telah membuat kita mengulangi doktrin Orde Baru akan kesakralan Pembukaan UUD 1945. Ketakutan ini membuat kita kehilangan sikap kritis dan gagal merekam semangat reformasi dalam Pembukaan UUD 1945. Mungkin sudah saatnya kita sampaikan pada mereka yang menaruh harga mati untuk perubahan Pembukaan UUD 1945: ‘Negara Islam, no, amendemen Pembukaan UUD 1945, yes!***

Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta