Setelah dua hari berturut-turut saya memposting mengenai “Bagaimana memahami al-Qur’an” dan “Bagaimana memahami konsep mutawatir, ijma’ dan qat’i al-dalalah”, tiba saatnya saya memasuki wilayah yang paling seru, yaitu “Bagaimana memahami Hadis Nabi”. Saya bilang ini topik yang paling seru karena hampir semua gerakan pembaruan Islam dimulai dari topik ini, yaitu bagaimana memisahkan antara Hadis yang valid dengan Hadis yang tidak valid. Perbedaan pendapat di kalangan ulama juga terjadi akibat masalah Hadis ini. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Pertama, tidak seperti al-Qur’an, Hadis Nabi tersebar dalam sembilan kitab Hadis utama atau primer (kutubut tis’ah) dan sejumlah kitab hadis sekunder. Tentu saja sulit untuk melacak kedudukan atau keberadaan suatu Hadis dibanding melacak satu ayat al-Qur’an. Kedua, tidak seperti al-Qur’an yang telah diterjemahkan dan juga banyak kitab tafsir yang sudah diterjemahkan pula, 9 kitab Hadis utama tersebut belum seluruhnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemusykilan semakin bertambah mengingat kitab syarh (penjelasan) dari masing-masing 9 kitab utama tersebut belum pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Soalnya memang repot menerjemahkan berjilid-jilid kitab-kitab tersebut, dan kalaupun sudah diterjemahkan, apa ada penerbit yang mau menerbitkan dan apa ada pembaca yang mau merogoh koceknya untuk membeli puluhan jilid kitab-kitab tersebut? Bukankah kita lebih senang belajar sesuatu secara instant?
Tetapi, baiklah, dengan resiko mengundang perdebatan dan disalahpahami, saya akan memilih topik-topik yang menarik untuk disajikan kehadapan Isnetter.
1. Sembilan kitab Hadis utama
Saya akan sajikan daftar sembilan kitab Hadis utama. Mohon diingat bahwa urutan atau hirarki 9 kitab Hadis ini berbeda-beda tergantung pandangan ulama tertentu. Maksud saya, boleh jadi ada yang menaruh Shahih Bukhari di urutan pertama, namun ada pula yang menaruh Shahih Muslim di urutan pertama. Begitu selanjutnya. Karena saya tidak bermaksud membandingkan keutamaan satu kitab dari kitab yang lain (perlu tulisan tersendiri soal ini), saya sajikan saja daftar ini apa adanya sesuai abjad nama pengarang (penerbit dan tahun diterbitkannya sesuai yang ada pada saya), tanpa mempertimbangkan hirarki mereka.
- Abu Dawud, Sulaiman, “Sunan Abi Dawud”, al-Maktabah al-‘Ashriyah, Beirut, 1952.
- Bukhari, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Isma’il al-, “Shahih al-Bukhari”, Dar al-Qalam, Beirut, 1987.
- Darimi, Abu Muhammad al-,”Sunan al-Darimi”, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987.
- Hanbal, Ahmad bin, “Musnad al-Imam Ahmad”, al-Maktabah al-Islami, n.d.
- Ibn Majah, “Sunan Ibn Majah”, Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1975.
- Malik, Imam, “al-Muwatta’,” al-Syirkah al-‘Alamiyah, 1993.
- Muslim, “Shahih Muslim”, Dar Ihya al-Turas al-‘Arabi, 1972.
- Nasa’i, “al-Sunan al-Nasa’i,” Dar al-Basya’ir al-Islamiyah, 1986.
- Tirmizi, Abu ‘Isa Muhammad al-, “Sunan al-Tirmizi”, Dar al-Fikr, Beirut, 1980.
2. Bagaimana cara memahami ke-sembilan kitab tersebut?
Jikalau dihadapan kita ada satu teks Hadis yang terasa sulit kita memahami maksudnya, maka bukalah kitab syarh Hadis tersebut. Masing-masing dari 9 kitab di atas memiliki kitab penjelas (syarh) yang ditulis oleh ulama yang tidak diragukan integritasnya. Sebagai contoh, kitab Fathul Bari li Ibn Hajar dipandang sebagai kitab syarh utama terhadap Shahih Bukhari, disamping kitab ‘umdatul qari’. Kitab Imam Nawawi yang men-syarh hadis-hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim juga dipandang sebagai kitab yang dijadikan referensi utama dalam memahami Shahih Muslim. Contoh lain, Sunan Abi Dawud di-syarh oleh tiga kitab, salah satunya adalah ‘Aunul Ma’bud. Jadi sebelum kita terburu-buru mengomentari suatu hadis, marilah kita lihat syarh Hadis tersebut.
Disamping itu, terdapat pula kitab-kitab yang men-syarh atau menjelaskan Hadis-hadis berdasarkan topik tertentu. Jadi, tidak khusus kitab shahih bukhari saja, misalnya; tetapi satu hadis ttg satu topik dari sejumlah kitab hadis. Kitab hadis model ini antara lain adalah Subulus Salam, Nailul Awthar, dan lainnya.
Jadi secara metodologis, ikuti langkah berikut untuk memahami sebuah Hadis.
- apakah hadis tersebut terdapat dalam sembilan kitab hadis utama?
- ika iya, bagaimana komentar ulama dalam kitab syarh utama ttg hadis tersebut?
- jikalau keterangan itu belum cukup, bagaimana kitab hadis sekunder dan kitab syarh sekunder bicara ttg hadis tersebut?
3. Apakah semua Hadis dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim itu Shahih semuanya?
Ini topik yang menjadi perdebatan ratusan tahun yang lalu. Berbeda dengan pemahaman kebanyakan ummat Islam, Ibn Hajar sebagai pen-syarh utama menganggap tidak semua Hadis dalam Shahih Bukhari itu bernilai Shahih. Saya sebutkan dua saja contohnya:
- hadis Bukhari no. 115, kitab al-‘ilm ttg pembelaan abu hurairah. Ini adalah hadis mawquf (ucapan Sahabat Nabi) bukan Hadis marfu’ apalagi shahih.
- fathul bari (1:47) mengomentari bahwa “iman itu perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang” adalah ucapan para ulama di berbagai negeri sehingga jatuh pada hadis maqthu’, bukan hadis marfu’ apalagi shahih.
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juga berpendapat tidak semua hadis dalam shahih muslim itu bernilai shahih. Syaikh al-Albani, yang dijadikan rujukan oleh sebagian kawan-kawan di Isnet, juga berpendapat serupa. al-Albani mendha’ifkan hadis dalam shahih muslim ttg kalau seorang makan-minum sambil berdiri lalu diperintah Nabi untuk memuntahkan makan-minum tersebut.
Namun harus diakui secara umum, hadis-hadis yang terdapat dalam shahihain (shahih bukhari dan shahih muslim) bernilai shahih. Karena penilaiannya besifat umum (aghlabiyah), maka penelitian secara khusus akan kedudukan satu hadis dalam shahihain harus dilakukan. Maksud saya, seringkali kita langsung menshahihkan suatu hadis hanya karena diriwayatkan dalam dua kitab ini dan mendha’ifkan hadis sejenis yg terdapat dalam kitab lain (Sunan ibn majah, misalnya). Padahal belum tentu riwayat yang sampai pada Ibn majah lebih jelek ketimbang yg diterima Bukhari. Bahkan boleh jadi, satu hadis dalam sunan al-tirmizi lebih valid ketimbang dalam shahih muslim. Secara teori ‘ulumul hadis, hal ini dibenarkan.
4. Perbedaan kriteria menetapkan hadis shahih atau bukan
Boleh jadi, ada satu hadis dinyatakan shahih oleh satu ulama namun dinyatakan dh’if oleh ulama lain. dari sinilah kita bisa menjelaskan mengapa terjadi perbedaan pendapat ulama padahal masing-masing mengaku berpegang pada hadis shahih. Sebagai contoh, masalah azan subuh dua kali atau satu kali ternyata terdapat hadis yang sama-sama mendukung pendapat-pendapat ini. Kitab subulus salam dan bidayatul mujtahid berbeda dalam mendha’ifkan atau menshahihkan hadis-hadis seputar topik ini.
Celakanya, kadang kala ummat Islam tidak mau memahami perbedaan kriteria ini sehingga setiap ibadah yang dijalankan berdasarkan hadis dha’if dipandang bid’ah. Masalahnya kita belum sempat mencek kembali apakah benar ibadah yg dijalankan kelompok lain itu berdasarkan hadis dha’if. Boleh jadi mereka mengamalkannya berdasarkan hadis shahih yang kita dha’ifkan atau didhai’fikan ulama tertentu. Walhasil, ujung-ujungnya, kita pandang bid’ah semua orang yg berbeda pendapat dengan kita. Bid’ah bukan lagi perbuatan yg menyimpang dari sunnah Nabi, melainkan perbuatan yang “kita anggap” menyimpang dari sunnah Nabi. “Anggapan”, “asumsi”, bahkan “tuduhan” ini telah mencabik-cabik ukhuwah islamiyah diantara kita. Ketimbang mengatakan, “masalah in i tidak ada hadisnya sehingga amalan ini adalah amalan bid’ah!”, mengapa tidak kita katakan,”saya belum mendapati dan meneliti ttg hadis tersebut. Sepanjang sepengetahuan saya amalan tsb tidak didukung oleh hadis yang shahih. Tetapi ok-lah saya akan teliti dulu.”
Semua ulama sepakat bahwa salah satu unsur keshahihan hadis adalah apabila diriwayatkan oleh perawi yang adil. Namun, apa syarat-syarat seorang perawi dinyatakan adil ? Para ulama berbeda pendapat soal ini. Imam al-Hakim berpendapat bahwa mereka yang memilki kriteria sbb: islam, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiyat sudah dipandang memenuhi kriteria adil. Sementara itu, Imam al-Nawawi berpendapat bahwa kriteria adil adalah mereka yang islam, balig, berakal,memelihara muru’at, dan tidak fasik. Ibn al-Shalah memang hampir sama dg Nawawi ketika memberi kriteria adil, yaitu : islam, balig, berakal, muruat, dan tidak fasik. Namun antara Imam al-Nawawi dan Ibn al-Shalah berbeda dalam menjelaskan soal memelihara muru’at tersebut.
Perdebatan juga muncul, berapa orang yang harus merekomendasikan keadilan tersebut. Apakah cukup dg rekomendasi (ta’dil) satu imam saja ataukah harus dua imam utk satu rawi. Unsur lain yang jadi perdebatan adalah masalah bersambungnya sanad sebagai salah satu kriteria keshahihan suatu Hadis. Imam Bukhari telah mempersyaratkan kepastian bertemunya antara periwayat dan gurunya paling tidak satu kali. Sedangkan Imam Muslim hanya mengisyaratkan “kemungkinan” bertemunya antara perawi dan gurunya; bukan kepastian betul-betul bertemu. Perbedaan ini jelas menimbulkan perbedaan dalam menerima dan menilai kedudukan suatu hadis.
5. Mengapa Hadis Nabi bisa berbeda-beda
Ada sekelompok ummat Islam yang menganggap bahwa perbedaan pendapat mustahil muncul kalau kita kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Saya justru berpendapat bahwa perbedaan pendapat yang genuine muncul justru karena para ulama berpegang tegus pada al-Qur’an dan Hadis. Ini disebabkan al-Qur’an dan Hadis sendiri membuka pintu atau peluang perbedaan pendapat itu.
Sebagai contoh, apa yang harus kita baca di saat kita ruku’ dan sujud dalam sholat? Hadis pertama menceritakan bahwa Nabi membaca, “Subhana Rabbiyal A’zim” ketika ruku’ dan “Subhana Rabbiyal A’la” ketika sujud. Hadis ini diriwayatkan oleh Huzaifah (Sunan al-Nasa’i, Hadis Nomor 1.036). Akan tetapi Siti Aisyah (radhiyallahu ‘anha) meriwayatkan hadis lain (Shahih Muslim, Hadis Nomor [HN} 752, Sunan Abi Dawud, HN: 738, Sunan al-Nasa’i, HN 1.038). Dalam hadis ini, diriwayatkan bahwa Rasul membaca “Subbuhun quddussun rabul malaikati war ruh” baik ketika ruku’ maupun ketika sujud. Yang menarik, ternyata Aisyah meriwayatkan pula bahwa Rasul membaca teks lain, “Subhanaka Allahumma Rabbana wa bihamdika Allahummafighrli” (Shaihih Bukhari, HN 752 dan 3.955).
Jikalau benar bahwa perbedaan pendapat tidak akan terjadi kalau kita berpegang pada Hadis Nabi, maka bagaimana dengan fakta ini? yang mana yang benar ? Yang mana yang sesuai dg sunnah Nabi dan yang mana yang bid’ah? Beranikah kita bilang Huzaifah berbohong? Beranikah kita bilang bahwa Siti Aisyah, isteri Nabi, lupa teks mana yang sebenarnya dibaca Nabi? Bagaimana mungkin dari satu perawi (Aisyah) terdapat dua teks yang berbeda. Bagi saya, jawabannya simple saja. Semua ummat Islam yang membaca teks yg berbeda tersebut adalah benar karena mereka punya dasarnya. Namun siapa yang paling benar, serahkan saja pada Allah swt.
Begitupula banyak persoalan klasik dan cukup sederhana sebenarnya namun telah membuat umat Islam tercerai berai dg tuduhan bid’ah [bukankah setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka?]. Contoh lain, ketika anda sujud, yang mana duluan anda jatuhkan ke bumi: tangan anda atau lutut anda. Syaikh al-Albani mengatakan tangan dulu dan yang menjatuhkan lutut dulu telah berbuat bid’ah. Syaikh Bin Baz berpendapat yang mana saja yang paling mudah untuk anda. Boleh lutut dan boleh juga tangan dulu. Ternyata kedua pendapat ini sama-sama ada riwayat yang mendukung. Ternyata pula kedua ulama besar yang berbeda pandangan ini sama-sama mencantumkan pandangannya dalam buku yang berjudul hampir sama, yaitu sifat sholat Nabi atau bagaimana sholat Nabi. Lalu yang mana sebenarnya cara yg dipilh Nabi atau sifat/model sholat Nabi?
Saya tanya kawan saya, seorang bule yang baru masuk Islam, “Brother, ketika kamu sujud, tangan dulu atau lutut dulu yang kamu jatuhkan karena ada dua hadis yg berbeda soal ini.” Kawan saya dengan mantap menjawab, “Jikalau memang dua-duanya ada Hadisnya, itu menunjukkan bagi Rasul tidaklah penting tangan atau lutut dulu. Semuanya boleh saja. Bagi saya yang penting ketika sujud bukanlah soal tangan dan lutut itu tetapi bagaimana kita tundukkan diri kita sedemikian rendah, kita sujud mengakui kebesaran-Nya, kita buang semua ego kita dan kita serahkan diri kita di bawah kendali Allah swt. Bukankah ini jauh lebih penting kita diskusikan, Brother?”
Saya terpesona. Seringkali perbedaan hal yang kecil-kecil membuat kita kehilangan waktu untuk merenungi esensi ibadah kita. Seorang muallaf mampu mengajari saya akan hal ini. Alhamdulillah.
Contoh berikutnya, ada Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa ketika Nabi mengakhiri sholat dengan menoleh ke kanan beliau membaca, “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” dan ketika menoleh ke kiri membaca salam “assalamu ‘alaikum wa rhmatullahi” (tanpa “wa barakatuh”). Lihat Sunan Abi Dawud, HN 846. Hadis lain meriwayatkan bahwa baik ke kanan maupun ke kiri, Nabi menolehkan mukanya sambil membaca salam “tanpa wa barakatuh” [Sunan al-Tirmizi, HN 272; Musnad Ahmad, HN: 3.516, 3.549, 3.656, 3.694, 3.775, 3.849, 3.958, 4.020, dan 4.055; Sunan al-Tirmizi, HN: 1.302, 1.130, 1.303, 1.305, 1.307 dan 1.308].
Yang mengejutkan, Sunan Abi Dawud [HN: 845] juga meriwayatkan “tanpa wa barakatuh”, padahal pada Hadis Nomor [HN} 846 dia meriwayatkan dengan “wa barakatuh”. Sekali lagi, yang mana yang benar? Kenapa pula Abu Dawud mencatat dua hadis berbeda ini dalam kitabnya? Yang mana yang bid’ah dan yang mana yang sunnah. Mungkinkah kebenaran itu tidak satu tetapi berwajah banyak? Mungkinkah yang kita anggap bid’ah selama ini ternyata juga dipraketkkan Nabi?
Sebelum kita terburu-buru mengecam dan membid’ahkan saudara kita, maukah kita barang sejenak menahan diri sambil mempelajari argumen kawan-kawan kita yg berbeda pandangan. Kalaupun setelah kita menelaah argumentasi mereka dan kita tetap tidak sepakat dan menganggap argumen kita lebih kuat, masihkah kita tega menganggap mereka berbuat bid’ah padahal mereka melakukan itu beradasarkan pemahaman mereka akan riwayat (yang kebetulan tidak kita terima) dari Nabi sebagai ekspresi kecintaan mereka terhadap Nabi?
salam hangat,
=nadir=