Copyright © 1999-2002 Media Indonesia. All rights reserved.
Senin, 23 September 2002
AMERIKA SERIKAT sedang bersiap-siap menabuh genderang perang kembali. Kali ini target sasarannya adalah Irak yang dianggap tidak mematuhi resolusi dan sanksi PBB yang telah berlangsung selama dua belas tahun. Niat pemerintah Amerika Serikat tersebut rupanya kurang mendapat sambutan dari para sekutunya. Bukan saja mereka mempertanyakan aspek legitimasi dari serangan itu, tetapi juga muncul kekhawatiran bahwa tindakan Amerika akan memicu kenaikan harga minyak dan meningkatkan militansi para tokoh fundamentalis di negara-negara Timur Tengah.
Di lain pihak, PBB melalui sekretaris jenderal-nya telah menyatakan bahwa setiap aksi militer terhadap Irak harus mendapat persetujuan PBB terlebih dahulu. Pernyataan keras Kofi Annan ini boleh jadi akan dianggap angin lalu oleh pemerintah Amerika Serikat (business as usual). Pertanyaannya adalah mengapa PBB (United Nations) terlihat mandul dan tumpul ketika berhadapan dengan Amerika Serikat (United States)?
Problem di United Nations
Pertama, tugas utama PBB adalah menjaga keamanan dunia. Dewan Keamanan PBB (UNSC) adalah badan utama yang bertanggung jawab untuk tugas itu. Dalam perjalanannya, kinerja UNSC telah disorot dengan tajam. Metode kerja UNSC dianggap tidak transparan dan sejumlah keputusannya sering kali diputuskan melalui konsultasi informal atau ‘di balik layar’ (Martti Koskenniemi, 1996). UNSC juga dianggap tidak memiliki prosedur yang jelas ketika bertindak dalam hal yudisial atau kuasi-yudisial. Dalam kasus Libya dan Lockerbie, CL Lim and OA. Elias (2000) menunjukkan betapa keputusan UNSC, fell below all standards of procedural fairness.
Kedua, komitmen anggota PBB juga diragukan dalam melakukan operasi pasukan perdamaian (peacekeeping operations). Sejumlah negara merasa tidak perlu mematuhi seruan atau permintaan PBB untuk mengirim pasukannya selama tidak ada kepentingan yang jelas dan menguntungkan untuk negara tersebut. Kasus negara bekas Yugoslavia merupakan contoh yang terkenal bahwa PBB gagal bertindak. Saat ini Prancis, Rusia, Kanada, Italia, dan Jerman sedang berpikir dua kali akan untung-ruginya buat mereka untuk menyetujui keinginan Amerika menyerang Irak. Jadi, isunya bukan komitmen menegakkan resolusi PBB, tetapi kalkulasi untung-rugi dan kompromi politik.
Ketiga, andaikata UNSC telah mengeluarkan keputusannya untuk menyerang atau tidak menyerang suatu negara, tidak ada prosedur dalam Piagam PBB yang memungkinkan dilakukannya hak uji material (judicial review) terhadap keputusan UNSC. Hal ini dapat membawa PBB ke dalam krisis konstitusi andaikata terjadi perbedaan keputusan antara Majelis Umum (UNGA), sebagai ‘legislatif’ dan Dewan Keamanan (UNSC), sebagai eksekutif, karena International Court of Juctice (ICJ), sebagai yudikatif, tidak memiliki power untuk menyatakan keputusan UNGA atau UNSC itu batal demi hukum (Reisman, 1993 dan Akande, 1997).
Aturan main dalam Piagam PBB tidak pernah diamendemen untuk disesuaikan dengan perkembangan politik dunia terakhir. Pasal 2 (1) dari Piagam PBB menyatakan bahwa PBB dibentuk berdasarkan prinsip persamaan kedaulatan di antara anggotanya. Pada kenyataannya PBB didesain khusus untuk para pemenang Perang Dunia II dengan diberikannya hak veto kepada lima negara anggota tetap UNSC. Dalam kacamata teori demokrasi, PBB masuk kategori tidak demokratis. Andaikata PBB dianggap sebagai World Government, PBB akan dianggap gagal memenuhi kriteria good governance.
Tidak terlalu jelas saat ini apakah PBB merupakan sebuah konferensi, dengan pesertanya duduk bersama dan saling bertukar pandangan tentang keamanan dunia tanpa ada kewajiban mengikuti kesimpulan dari konferensi itu. Tidak pula jelas apakah PBB dapat dianggap sebuah model kontrak perjanjian yang para anggotanya dapat secara bebas membuat atau membatalkan kontrak sesuai kepentingan dan kompromi di antara mereka. PBB juga kelihatannya bukan sebuah badan yang bersifat konstitutif dengan rule of law dan prosedur checks and balances diberlakukan dan semua anggota harus tunduk pada aturan main.
Keempat, PBB menghadapi masalah finasial untuk mendukung operasi pasukan perdamaian atau bahkan untuk mengoperasikan kegiatan sekretariat sehari-hari. Kofi Annan dalam We the Peoples: the Role of the UN in the 21st Century mengatakan bahwa bujet PBB dalam setahun hanyalah 1,25 miliar dolar AS atau kira-kira hanya empat persen dari bujet Kota New York dan bahkan di bawah bujet tahunan pemadam kebakaran di Tokyo. Amerika Serikat secara reguler menyumbang tidak kurang US$525 juta dan juga menyetor dana sekitar US$740 juta untuk operasi perdamaian dunia.
Ketergantungan terhadap AS
Kelima, problem yang diutarakan di atas membuat PBB sangat bergantung dengan peranan dan kekuatan super power, yaitu Amerika Serikat. Ketika tidak jelas badan apa yang berhak menafsirkan Piagam PBB, manakala mekanisme keputusan UNSC lebih berdasarkan ‘bisik-bisik di balik layar’ dan di saat keputusan PBB lebih bersifat untung-rugi dan kompromi politik ketimbang murni menjaga perdamaian dunia. Pada saat yang bersamaan PBB menghadapi persoalan finansial yang serius, Amerika Serikat dapat memaksakan kehendaknya, termasuk untuk menyerang Irak, sebagaimana mereka telah menyerang Afghanistan dengan leluasa.
Menurut Dr CL Lim, pakar hukum internasional, tidak ada satu pun pasal dan ayat dalam Piagam PBB yang dapat membenarkan serangan Amerika ke Afghanistan, tetapi Amerika Serikat dan para sekutunya berhasil ‘menciptakan’ opini dunia untuk menyetujui tindakan mereka. Langkah menguasai opini dunia inilah yang sampai sekarang belum berhasil dicapai Amerika Serikat untuk mendukung rencananya menyerang Irak. Namun, ini semua hanya menunggu waktu karena Amerika memang jago dalam menciptakan opini melalui jaringan media massanya.
Dalam sejarah pembentukan PBB, semula diusulkan agar nama PBB bukanlah United Nations tetapi United States karena sebenarnya bukan nations yang bergabung di sana, tetapi states. Hanya usulan itu ditolak mengingat sudah ada negara yang memakai nama United States. Sejarah pula yang menunjukkan kepada kita bahwa United Nations (PBB) ternyata sekarang telah menjadi kepanjangan tangan dari United States (Amerika Serikat).
Seperti dalam kasus-kasus sebelumnya, PBB tidak akan bisa mencegah Amerika Serikat untuk menyerang Irak. Lembaga perdamaian dunia ini terbukti mandul dan tumpul menghadapi sepak terjang Amerika Serikat. Masihkah kita berharap banyak pada PBB? PBB kelihatannya perlu segera direformasi!***
Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta