[aswaja_big_letter]Mazhab sebenarnya mempunyai dua arti yaitu pendapat dan/atau metode. Sayangnya, umat Islam menganggap mazhab ini sebagai “organisasi” yang kalau sudah masuk ke sana tidak boleh keluar lagi dan tidak boleh mencampuradukkan keanggotaan dalam “organisasi” tersebut.[/aswaja_big_letter]
Dengan demikian kata-kata “apakah setiap orang harus bermazhab” harus dibaca “apakah setiap orang harus memiliki pendapat dan/atau metode dalam Islam?” Tentu saja tidak harus! Orang awam tidak harus bermazhab. Orang awam bebas memilih pendapat mana saja yang ia sukai. Kaidah mengatakan al-aami la mazhaba lahu (orang awam itu tidak bermazhab).
Soal pindah-pindah mazhab, sebenarnya kita harus membedakan antara:
- mentarjih pendapat ulama
- mencampuradukkan berbagai mazhab (talfiq)
- pindah mazhab secara total.
Saya bahas satu persatu (meski cuma sekilas):
a. Mentarjih pendapat ulama
Buka saja kitab fiqh yang manapun (asalkan kitab fiqh standard), akan kita temui beragam pendapat ulama dalam satu kasus. Uniknya, jangankan antara satu mazhab dengan mazhab lain, malah kadang-kadang di dalam satu mazhab saja terdapat keragaman pendapat. Contohnya, Imam Abu Yusuf seringkali berbeda dengan Imam Abu Hanifah. Kalau buat kalangan pesantren yang pernah membaca buku karya Qalyubi wa Humairah (atau juga dikenal dengan nama Hasyiyatani atau dikenal juga dengan nama al-Mahalli) akan mendapati bahwa kitab bermazhab Syafi’i itu menampilkan sejumlah pendapat berbeda dalam mazhab Syafi’i. Seringkali Imam Nawawi berbeda dengan Imam Ramli, dan lainnya.
Nah, untuk melakukan tarjih pengarang kitab tersebut menggunakan istilah al-azhar, al-ashah, de el el. (lebih jelasnya silahkan buka sendiri kitab al-Mahalli itu).
Mentarjih pendapat ulama itu merupakan pekerjaan yang nggak sembarangan. Kita harus tahu betul pendapat para ulama dan dalil-dalilnya lalu kita teliti masing-masing argument baru kemudian kita tentukan mana pendapat yang paling kuat (tarjih). Ahli tarjih harus memiliki kualifikasi yang mumpuni-lah…:)
b. Mencampuradukkan mazhab (talfiq)
Kalau yang ini, biasanya yang jadi ramai tak berkesudahan adalah soal “plin-plan”. Pangkal masalahnya, berbeda dengan tarjih yang didasari argumen yang kuat, maka talfiq ini sama sekali bukan berdasarkan argumentasi yg kuat, tapi berdasarkan “selera” untuk cari yang mudah-mudah. Dan ini dilakukan oleh orang awam. (berbeda dengan Point a yang dilakukan oleh ulama ahli tarjih)
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat dalam hal talfiq (pusing nggak tuh soal comot sana-sini pendapat ulama juga menimbulkan perbedaan pendapat para ulama). Ada dua titik ekstrem: pertama, sejumlah ulama tidak memperbolehkan sikap plin-plan itu. Kedua, sejumlah ulama membolehkan bersikap plin-plan meskipun berdasarkan niat untuk mencari yang gampang-gampang saja. Ketiga, ulama yang ditengah-tengah bersikap: harus dilihat dulu dalam kasus apa dan apakah para Imam yang dicomot itu tidak saling membatalkan.Sebagai contoh: Saya berwudhu dengan menggunakan mazhab Syafi’i, namun ketika bersentuhan dengan wanita bukan mahram, saya pindah ke mazhab Hanafi. Buat ulama pertama tentu saja ini tidak boleh. Buat ulama kedua tentu saja boleh-boleh saja-lah…:) Buat ulama yang ketiga, kasus seperti soal wudhu tadi itu tidak boleh, karena dia wudhu dengan cara Syafi’i, dipandang tidak sah di mata Hanafi, dia batal wudhu dengan Hanafi, dipandang tidak sah oleh Syafi’i. Jadi, akhirnya dia melakukan satu perbuatan yang masing-masing mazhab tidak mensahkannya. Nah, yang boleh menurut ulama ini adalah kalau perbuatan yang satu dengan yang lain tidak ada hubungannya. Misalnya, wudhu dengan cara mazhab Syafi’i, nah, ketika mau niat puasa ia pakai mazhab Hanafi. Kan tidak ada hubungannya antara wudhu dan puasa? maka yang ini boleh.
Kalau saya sih pilih (menurut selera saya nih) pendapat al-Kammal ibn al-Hammam yang secara tegas membolehkan orang “plin-plan” secara mutlak!
Alasan saya adalah disamping soal arti sebenarnya dari mazhab itu, juga Islam itu memang agama yang mudah kok. Cuma kita harus punya sedikit pengetahuan mengenai keragaman pendapat itu, jangan yang nggak tahu sama sekali, terus hanya ikut kata orang saja, lalu comot sana-sini. Yah minimal dia tahu-lah akan ilmu fiqh.
c. Pindah mazhab secara total
Kalau yang ini sih, gampang… misalnya anda pindah dari mazhab Syafi’i ke mazhab Hanafi. Artinya, ya tidak kasus per kasus lagi seperti yang point a dan b. Tapi dengan total!
Anda mau tarjih? atau talfiq? atau pindah mazhab secara total? Terserah anda saja lah…:)