[aswaja_big_letter]Pada bagian ketiga ini saya mencoba menawarkan dua kaidah atau patokan dasar bagi kita dalam melakukan Reinterpretasi Nash.[/aswaja_big_letter]
1. Meninggalkan Pendekatan Ta’abuddi semata dan mempertimbangkan pendekatan Ta’aqquli.
Dalam memahami nash, biasanya kita cenderung melakukannya dengan beranjak pada pendekatan Ta’abbudi (aspek ibadah) semata. Kita sering menemui ungkapan bahwa “Pokoknya begitulah yang tertera dalam nash dan itu yang harus dikerjakan tak boleh lebih-tak boleh kurang.” Saya mengusulkan mari kita geser pendekatan tersebut menjadi setengah ta’abbudi dan setengah ta’aqquli (aspek akal). Sebagai contoh, Jika terkena jilatan anjing maka kita harus cuci tujuh kali plus dengan tanah. Akal kita bertanya, mengapa harus tujuh kali? Oh…maksudnya biar bersih. Tapi mengapa dengan tanah? akal kita mengatakan bahwa dulu belum ada sabun dan sejenisnya. Nah, bisakah kita, dengan pendekatan yang saya tawarkan di atas, mengganti keharusan membasuh benda yang terkena jilatan anjing pakai tanah dengan pakai air dan sabun saja sampai bersih tanpa harus tujuh kali?
2. Hukum itu bertujuan untuk kemaslahatan manusia.
Nilai maslahah (kebaikan) itu universal dan sama antara satu masa dengan masa yang lain. Namun rasa maslahah itu tidak sama dan tergantung siapa dan apa. Persoalannya ketika Allah menurunkan ayat hukum dalam al-Qur’an sebenarnya ayat itu mengandung nilai maslahah atau rasa maslahah? Kita akan segera teriak tentu saja karena al-Qur’an itu berlaku sepanjang masa maka ia mengandung nilai maslahah! Benar, saya setuju, tetapi tidak semuanya. Harus saya tambahkan buru-buru bahwa mengatakan sebagian ayat Qur’an mengandung rasa maslahah tidaklah berarti meragukan keuniversalan ayat tersebut. Ingat, wilayah interpretasi Nash berada pada wilayah pemahaman dan penerapan nash; bukan pada keberadaan nash itu sendiri.
Jumhur ulama percaya akan adanya nasakh dalam al-Qur’an. Nah, menurut saya ini merupakan argumen yang paling kuat bahwa ternyata ada sebagian ayat Qur’an yang mengandung rasa maslahah (tidak berlaku universal) sehingga ketika kondisi berubah maka Allah menurunkan ayat lain agar cocok dengan rasa maslahah atau rasa keadilan saat itu.
Pada titik inilah, Abu Yusuf (pemuka mazhab Hanafi) melontarkan ide bahwa jika suatu Nash berasal dari adat setempat, lalu adat yang dijadikan dasar itu berubah maka pemahaman terhadap nash juga berubah. Karena tidak semua Nash berasal dari adat (yang kemudian dilegitimasi oleh al-Qur’an dan hadis) maka saya katakan hanya sebagian Nash yang memiliki rasa maslahah.
Untuk jelasnya saya akan berikan contoh.Hadis Nabi menjelaskan bahwa jual beli gandum dengan gandum dan kurma dengan kurma haruslah sama, dan yang menjadi ukuran adalah takaran bukan timbangan. Hal ini sebenarnya didasarkan oleh adat yang berlaku saat itu. Nah, karena sekarang sudah menggunakan timbangan, maka menurut Abu Yusuf yang dijadikan ukuran adalah timbangan bukan lagi takaran.
Dengan pendekatan ini jugalah kita dapat mengerti nash yang masih membolehkan adanya perbudakan. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk “pemotretan” Nash terhadap fenomena setempat yang diharapkan dapat diakhiri. Belum sempat diakhiri, wahyu sudah tak turun lagi. Nah, ternyata fenomena tersebut berubah, maka hukum memiliki perbudakan dalam Islam menjadi tak dibolehkan, meski wahyu terakhir masih membolehkan.
Juga hadis yang mengatakan untuk melihat bulan dalam awal Ramadhan dan awal Syawal dengan mata telanjang, itu sebenarnya didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya ilmu perhitungan dan teropong saat itu. Nah, sekarang ilmu hisab dan teropong telah berkembang. Sah saja kita menggunakan keduanya.
Saya baru saja menawarkan dua kaidah, tentu saja masih ada beberapa kaidah lain yang bisa kita tawarkan untuk melakukan reinterpretasi nash. Yang penting untuk diingat, pada hakekatnya reinterpretasi nash itu juga merupakan aplikasi jargon “Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Anda boleh setuju, boleh tidak…
Rileks aja…jangan terlalu mapan!