“Menjaga hal yang lama dan di saat yang sama juga beralih kepada hal yang baru yang lebih baik (aslah)” =Al-Qaidah=
[aswaja_big_letter]Sebagaimana diketahui bahwa dalil dalam Islam itu ada dua: dalil intern dan dalil ekstern. Dalil intern adalah Nash Al-Qur’an dan Hadis, Ijma’, Qiyas, istihsan dan lain sebagainya. Sedangkan dalil ekstern adalah hal-hal yang berada di luar teks Nash namun berakibat langsung ataupun tidak langsung terhadap pemahaman dan penerapan nash. Contoh dalil ekstern adalah lingkungan, kemaslahatan manusia, waktu, tempat, kondisi dan situasi, de el el.[/aswaja_big_letter]
Kedua dalil ini tidak perlu dipertentangkan, justru keduanya bisa saling isi mengisi. Sebagai contoh, ketika Umar r.a menghakimi pencuri tidak dengan potong tangan karena saat itu musim paceklik, Umar sebenarnya telah memainkan dua dalil tersebut dengan secara luar biasa! Hukum ketika diundangkan atau dituangkan dalam teks Nash adalah bebas nilai. Namun ketika hukum sudah berinteraksi dengan pemahaman dan pelaksanaan maka dia tidak lagi bebas nilai.Dalil ekstern sudah mulai memainkan peranannya. Sayangnya, sebagian umat Islam hanya terpaku pada teks nash (dalil intern) semata, dan kurang memperhatikan dalil ekstern. Menurut hemat saya yang awam ini, kalau kita mau kembali ke Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan melupakan peranan dalil ekstern maka hasilnya tidak akan efektif.
Saya mengajak anda untuk meneliti isi kitab fiqh. Akan segera kita temui bahwa ada tiga bagian kandungan setiap kitab fiqh, yaitu: Nash, pemahaman para ulama terhadap Nash dan praktek pelaksanaan Nash. Kalau dibuat prosentasi secara kasar, maka dalam kitab fiqh bagian Nash sekitar 20 &, pemahaman Nash 30 % dan pelaksanaan Nash 50%.
Saya ambil contoh soal musyawarah. Nash menyebutkan “syura bainahum” dan “wa syawirhum fil amr“. Para sahabat memahami konteks Musyawarah itu dan mencoba menerapkannya. Maka terlihatlah oleh kita ketidakseragaman bentuk musywarah dalam pemilihan khalifah. Di tunjuk dahulu baru kemudian dimusyawarahkan kepada seluruh sahabat dan mereka menyetujuinya (kasus terpilihnya Abu Bakar dan Umar), kemudian dibentuk panitia kecil (ahlul halli wal aqdi) untuk bermusyawarah (kasus Utsman) dan segera dipilih oleh sebagain sahabat yang ada di ibu kota tanpa perlu meminta pendapat sahabat lain yang sudah tinggal di mana-mana karena telah luasnya kekuasaan Islam (kasus Ali) dan Putra mahkota (waliyatul ahdi) dalam kasus dinasti umayah dan seterusnya sampai di Saudi Arabia sekarang.
Semua yang dilakukan tersebut beranjak dari nash yang sama, namun ketika dipahami dan diterapkan terjadi ketidakseragaman. Contoh lain soal menutup aurat. Nash mengatur bahwa muslim-muslimah harus menutup aurat. Para ulama lalu membahas dimana batasan aurat itu, sehingga timbul beragam pendapat. Kemudian, ketika mulai diterapkan timbul lagi keragaman dalam bentuk dan jenis penutup aurat itu.
Sampai disini saya baru saja melakukan pemetaan wilayah kajian kita. Dengan memahami ada dua dalil yaitu intern dan ekstern, maka wilayah yang seharusnya dikaji adalah berada pada tataran pemahaman dan penerapan Nash. Reinterpretasi terhadap Nash dilakukan dengan mempertimbangkan pemahaman para ulama dahulu dan penerapan Nash dalam konteks masa lalu. Kita meyakini bahwa dalil intern tak akan berubah, justru dalil ekstern-lah yang akan berubah dan ini menjadi bukti fleksibilitas Islam.