[aswaja_big_letter]Orang tua itu terserang penyakit aneh. Sebagian tubuhnya lumpuh. Ia bermunajat pada ilahi sambil mengucurkan air mata memohon kesembuhan. Tak lupa ia ciptakan sejumlah syair pujian untuk kanjeng Nabi, dengan maksud memohon syafaat.[/aswaja_big_letter]
Malam itu rasa kantuk tak dapat lagi ditahan. Hanya rasa kantuk inilah yg menghalangi bibirnya untuk meneruskan membaca syair cinta untuk Rasul.
Dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpi tsb orang tua itu sempat berdialog dengan Nabi. Ia membacakan syair-syair pujiannya untuk Nabi, namun sampai pada bait ke 51: “fama balaghul ilmi fihi annahu basyarun…” [The extent of what we know of him is this: He is a man…] ia tidak sanggup meneruskannya. Konon Rasul menyuruhnya meneruskan “wa annahu khayru khalqillahi kullihimi” [And yet, without exception, he is the best of God’s creation].
Kemudian Nabi memberikan jubah (burdah) kepada orang tua itu. Nabi mengusap bagian tubuh yang mengalami kelumpuhan. Ketika esok paginya orang tua ini terbangun, tiba-tiba ia bisa berjalan dan pulih seperti sedia kala. Dengan ceria ia berjalan-jalan di pasar sambil membacakan syair-syair pujian untk Rasul.
Orang tua itu bernama Imam Bushiri, yang lahir pada tahun 1212 (sekitar 800 tahun yang lalu). Syair pujian yang diciptakan oleh Bushiri kemudian dikenal dengan Kasidah Burdah.
Inilah puisi cinta untuk Rasul yang sangat terkenal di dunia Islam, dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa (Persia, India, Pakistan, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Indonesia, Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol dan Italia).
Dalam bulan Rabi’ul Awwal ini dapat dipastikan Ummat Islam dari berbagai penjuru dunia akan membaca kasidah burdah ini sebagai ekspresi rasa cinta mereka kepada kanjeng Nabi.
Kasidah Burdah terdiri atas 162 sajak dan ditulis setelah Bushiri menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dari 162 bait tersebut, 10 bait tentang cinta, 16 bait tentang hawa nafsu, 30 tentang pujian terhadap Nabi, 19 tentang kelahiran Nabi, 10 tentang pujian terhadap al-Qur’an, 3 tentang Isra’ Mi’raj, 22 tentang jihad, 14 tentang istighfar, dan selebihnya (38 bait) tentang tawassul dan munajat.
Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, Bushiri bukan saja menanamkan kecintaan umat Islam kepada Nabinya, tetapi juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral kepada kaum Muslimin. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika Kasidah Burdah senantiasa dibacakan di pesantren-pesantren salaf.
Dalam khazanah sufi, jubah merupakan simbol yang sangat penting.
Sejarah jubah milik Nabi juga menarik untuk diketahui.
Pada mulanya, burdah (jubah atau mantel) milik Nabi Muhammad SAWdiberikan kepada Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma, seorang penyair terkenal Muhadramin (penyair dua zaman: Jahiliyah dan Islam). Ka’ab yang semula kafir kemudian bertobat dan menggubah syair pujian untuk Nabi. Berdasarkan ungkapan pertama dalam bait pertamanya, syair itu terkenal dalam literatur sastra sebagai syair Banat Su’ad.
Ka’ab memperoleh sambutan penghormatan dari Rasulullah. Begitu besarnya rasa hormat yang diberikan kepada Ka’ab, sampai-sampai Rasulullah melepaskan jubahnya dan memberikannya kepada Ka’ab, sebagai simbol bahwa dosa-dosa Ka’ab telah diampuni oleh Allah.
Beberapa tahun kemudian, jubah yang telah menjadi milik keluarga Ka’ab tersebut akhirnya dibeli oleh Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan seharga duapuluh ribu dirham, dan kemudian dibeli lagi oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dari dinasti Abbasiyah dengan harga empat puluh ribu dirham. Oleh khalifah, burdah itu hanya dipakai pada setiap shalat ied dan diteruskan secara turun temurun.
Melalui jubah Nabi, Ka’ab diampuni dosa-dosanya, dan Bushiri disembuhkan dari penyakitnya.
Duh Gusti,
di bulan Rabi’ul Awwal ini,
saksikanlah bahwa kami mencintai Muhammad SAW
dan ijinkan kami mencium jubah Rasulullah SAW
“Maula ya shalli wa sallim daiman abada,
‘Ala habibika khairil khalqi kullihimi”
Salam,
Nadirsyah Hosen