Secara garis besar ada dua kelompok dalam Islam: mereka yang memahami teks-teks suci dengan pendekatan tekstual atau lebih condong untuk berpegang pada bunyi teks (untuk mudahnya kini disebut sebagai islam fundamentalis atau isfun); dan mereka yang lebih cenderung memahami teks dengan mempertimbangkan konteks dari teks-teks suci tersebut (untuk sederhananya kini disebut dengan islam liberal atau islib). Kedua kelompok ini akar sejarahnya bisa dilacak jauh ke belakang sampai pada masa Nabi masih hidup.
Ada sebuah riwayat yang kira-kira menceritakan sebagai berikut: Ketika sekelompok sahabat tersesat dan tidak mengetahui arah kiblat, sebagian di antara mereka tetap melaksanakan sholat dengan menghadap ke arah yang mereka duga sebagai arah kiblat (dengan resiko dugaan tersebut keliru); sebagian lagi menunggu sampai mereka kembali ke jalur perjalanan yang tepat (dengan resiko waktu sholat akan habis) baru kemudian menunaikan sholat. Ketika mereka kembali ke Madinah dan menceritakan peristiwa tersebut, Nabi yang mulia konon membenarkan kedua ‘ijtihad’ tersebut.
Ketika sekolompok sahabat menuju sebuah perkampungan, Nabi berpesan agar sholat ashar di perkampungan yang dituju tersebut. Rupa-rupanya perjalanan mereka berjalan dengan lambat dan sampai menjelang habisnya waktu ashar mereka belum tiba juga di perkampungan tersebut. Sebagian sahabat memahami tujuan perintah Nabi tersebut adalah agar mereka bergegas dan dapat tiba di kampung tersebut sebelum maghrib. Untuk itu, meskipun belum sampai di kampung tsb, mereka memutuskan untuk sholat ashar di perjalanan. Mereka merasa tidak melanggar perintah Nabi. Sebagian lagi dari mereka memahami perintah Nabi secara harfiah, sehingga mereka tetap menjalankan sholat ashar di kampung tersebut meskipun ketika mereka tiba di kampung itu waktu ashar telah habis. Ketika mereka kembali ke Madinah dan melaporkan peristiwa tersebut, Nabi yang mulia membenarkan kedua kelompok tersebut.
Kita juga mengenal Khalifah Umar bin Khattab yang melarang haji tamattu’, menganggap talak tiga sekali sebut sebagai jatuh talak tiga, tidak memotong tangan pencuri di saat paceklik, dan meng-had peminum khmar dua kali lebih banyak dari yang dilakukan Nabi. Sementara itu kita juga mengenal Imam Ali bin Abi Thalib yang terkenal sangat ‘kaku’ dan ‘apa adanya’ dalam memahami nash. Ada ulama yang melihat bahwa posisi Umar sebagai khalifah dan, saat itu, posisi Ali sebagai hakim membuat mereka ‘terpaksa’ menjalankan ijtihad yang berbeda. Khalifah bergerak dalam fiqh siyasah yang lentur dan fleksibel, sedangkan Hakim bergerak dalam wilayatul qadha yang kaku dan rigid sebagai penjaga gawang keadilan.
Ijtihad Umar (dan Abdullah bin Mas’ud) mendapat sambutan di wilayah Kufah. Posisi Kufah yang jauh dari Madinah memaksa mereka untuk melakukan ijtihad secara lebih luas. Disamping itu, Kufah adalah kota metropolitan yang berbeda karakternya dengan Madinah. Di kota Kufah inilah lahir Imam Abu Hanifah. Beliau sangat terkenal dengan kecenderungannya menggunakan ra’yu atau akal pikiran atau ijtihad. Imam Abu Hanifah memiliki murid-murid seperti Abu Yusuf dan Muhammad. Dalam kitab tarikh tasyri’, ulama Kufah sering disebut dengan ahlur ra’yi.
Sementara itu, di Madinah kita mengenal Imam Malik yang telah melahirkan kitab al-Muwatha’. Problem yang dihadapi Imam Malik tidak jauh berbeda dengan problem yang dihadapi pada masa-masa sebelumnya. Disamping itu para sahabat di Madinah juga meninggalkan ‘jejak’ dan ‘warisan’ serta ‘khazanah’ yang luar biasa untuk menjawab persoalan-persoalan itu. Hal ini ‘memaksa’ Imam Malik untuk cenderung berpegang pada teks secara lebih ketat ketimbang para ulama di Kufah. Para penyusun kitab tarikh tasyri’ menggolongkan kelompok ini dengan ahlul hadis.
Ahlur ra’yi tidak berarti sama sekali meninggalkan hadis, sebagaimana ahlul hadis tidak berarti melupakan peranan akal sama sekali. Tingkat atau rasio penggunaan antara teks dan ijtihad itulah yang membedakan mereka. Ahlul ra’yi cenderung memahami teks dengan melihat substansi, semangat, ruh, jiwa atau konteks sebuah teks suci. Mereka tidak segan mengambil makna tersirat dan meninggalkan makna tersurat, tanpa merasa telah meninggalkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Mereka merasa problem Kufah berbeda dengan problem di Madinah. Andaikata Nabi masih hidup dan tinggal di Kufah, mereka yakin Nabi akan membenarkan mereka. Imam Abu Hanifah melahirkan konsep qiyas dan istihsan, sebagai salah satu, cara menjawab persoalan yang baru muncul.
Ahlul hadis merasa makna tersurat sebuah nash sudah berhasil menjawab persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Jadi, untuk apa meninggalkan bunyi nash dan repot-repot mencari makna dibalik teks. Untuk persoalan tertentu yang telah berkembang sedemikian rupa dan bunyi nash tidak lagi cukup memberikan jawaban, barulah mereka menggunakan konsep qiyas, dan mashalih mursalah [silahkan merujuk pada kitab-kitab ushul al-fiqh untuk mengetahui istilah-istilah ini lebih mendalam].
Imam Syafi’i bolehlah disebut dengan ‘bunglon’, ketika beliau belajar dengan Muhammad (murid Abu Hanifah di Kufah) dan belajar pula dengan Imam Malik di Madinah. Syafi’i mencoba berdiri di kedua kelompok dan merumuskan metode ijtihadnya dengan menggunakan kedua pendekatan tsb. Syafi’i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Namun Syafi’i tidak segan-segan menolak istihsan (Abu Hanifah) dan Mashalih Mursalah (Malik). Syafi’i sendiri tampil memukau dengan pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki nashir al-sunnah (pembela sunnah nabi).
Imam Syafi’i tinggal di Baghdad dan lahirlah ijtihad-ijtihad beliau. Namun ketika beliau pindah ke Mesir, beliau mendapati kenyataan dan problematika yang berbeda dengan suasana Baghdad. Lahirlah ijtihad beliau yang berbeda. Alih-alih menjuluki Syafi’i sebagai ‘bunglon’ atau ‘inkonsisten’, para ulama menjuluki perbedaan itu dengan menggunakan istilah qaul qadim (pendapat yang lama) dan qaul jadid (pendapat yang baru). Kedua qaul itu masih berlaku dan valid sampai sekarang. Qaul jadid tidak berarti menghapus qaul qadim. Jikalau ada kondisi yang cocok dengan qaul qadim, maka digunakanlah qaul qadim untuk merepsonnya. Begitupula sebaliknya.
Imam Syafi’i memiliki murid yang bernama Ahmad bin Hanbal. Belakangan Imam Ahmad –yang telah menguasai hadis dan fiqh sekaligus– banyak berbeda pendapat dengan gurunya (suatu hal yang wajar-wajar saja dalam dunia akademik). Kecnderungan Imam Ahmad adalah lebih kaku ketimbang Syafi’i. Namun demikian Imam Ahmad masih menerima penggunaan qiyas meskipun dengan sangat terbatas. Imam Dawud al-Zhahiri juga murid Imam Syafi’i. Bagi yang terakhir ini, posisinya lebih kaku ketimbang Imam Ahmad dan Imam Syafi’i. Alasan Syafi’i menolak konsep istihsan, misalnya, dikembangkannya sedemikian rupa sehingga dia menolak qiyas. Dia memahami teks suci sangat harfiah dan lahiriah (makanya mazhabnya disebut mazhab zhahiri).
Dalam dunia ushul al-fiqh, Imam Syafi’i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Dalam filsafat ilmu tentu saja dibedakan antara metode dan metodologi. Yang terakhir ini lebih luas cakupannya. Ushul al-fiqh (atau sebut saja metodologi hukum Islam) tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat. Ilmu ini baru lahir ketika Syafi’i menulis al-Risalah.
Mazhab Hanafi juga belum melahirkan metodologi saat itu. Jadi, metodologi Abu Hanifah dibuat belakangan (‘sambil jalan’ kalau istilah aktivis Jaringan Islam Liberal). Ini bukan berarti para sahabat dan ulama sampai masa Syafi’i tidak memiliki metode; mereka punya metode namun belum terumuskan dengan sistematis dan komprehensif untuk pantas disebut sebagai metodologi. Karena itu, kalau Syafi’i merumuskan metodologi terlebih dahulu, baru ber-ijtihad; mazhab Hanafi ber-ijtihad dulu dan baru kemudian para murid Abu Hanifah, berdasarkan ijtihad- ijtihad mazhab mereka, merumuskan ushul al-fiqh mazhab Hanafi. Kedua pendekatan ini sama sahnya dan diterima oleh para ulama.
Saya baru saja menggambarkan –dengan sangat singkat dan sederhana serta mengandung resiko disalahpahami– perjalanan sejarah dua kelompok besar saat ini: isfun dan islib.
Kita sangat berharap akan kejayaan ummat Islam melalui kedua kelompok tsb. Kita juga berharap ada sosok seperti Imam Syafi’i yang mau belajar dari kedua kelompok tersebut. Andaikan jarum jam kita putar kembali dan kedua kelompok tsb tiba di Madinah untuk menemui Nabi yang mulia serta melaporkan perbedaan pendekatan yang mereka ambil, saya menduga kuat Nabi SAW akan membenarkan keduanya. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
salam hangat,
=nadir=