Sebagai pecinta ilmu tentu saja Khalifah al-Makmun (786-833 M), Khalifah ke-7 Abbasiyah, dipuji para ilmuwan. Namun al-Makmun pada saat yang sama hendak menegakkan otoritas keagamaan yang dimiliki khalifah. Sebagai seorang rasionalis, dia cenderung pada pemikiran Mu’tazilah. Dan al-Makmun tidak bisa menahan godaan untuk memaksa para ulama tradisional agar memiliki paham yang sama dengannya. Maka muncullah persitiwa mihnah, yaitu semacam tes keagamaan dimana mereka yang memiliki paham berbeda akan dipersekusi oleh negara.
Pangkal persoalan ada pada perdebatan ilmu kalam: apakah kalamullah yang berbentuk mushaf al-Qur’an itu qadim atau hadits (baru diciptakan dan karenanya dianggap sebagai makhluk). Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat al-Qur’an itu qadim, sedangkan Mu’tazilah berpendapat al-Qur’an itu makhluk.
Kalau ditarik ke belakang, perdebatan ini muncul akibat perbedaan kedua kelompok ini dalam memahami apakah Allah memiliki sifat atau tidak. Bukan pada tempatnya di sini kalau saya jelaskan panjang lebar soal ini. Kita kembali fokus pada masalah mihnah.
Imam Thabari menuliskan ulang surat Khalifah al-Makmun yang memerintahkan dikumpulkannya para ulama dan diinterogasi apakah mereka berpendapat al-Qur’an itu qadim atau makhluk. Sesiapa yang menjawab makhluk, maka amanlah dia. Sementara sesiapa yang menjawab qadim, habislah dia disiksa. Surat lengkap Khalifah al-Makmun kepada Ishaq bin Ibrahim yang memulai mihnah ini bisa dibaca di Tarikh Thabari, juz 8/361-345.
Maka bisa kita simpulkan, Khalifah al-Makmun bukan hanya hendak menegakkan otoritas keilmuan tapi juga otoritas keagamaan sebagai khalifah. Dia memaksakan pahamnya dan ulama harus mengikutinya. Inilah sebabnya para ulama tradisional banyak yang tidak suka dengan al-Makmun. Salah satu yang ngotot bertahan dengan pendapat al-Qur’an itu qadim adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Peristiwa mihnah ini bisa dibaca lebih jauh di Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibn Katsir, juz 10/298.
Kalau di masa Khalifah al-Ma’mun ada peristiwa mihnah, dimana para ulama Sunni disiksa akibat mempertahankan keyakinannya yang berbeda dengan Mu’tazilah, maka sebenarnya pada masa Khalifah Abbasiyah ke 25, yaitu al-Qadiri (947-1031 M) diterbitkan dokumen keyakinan aqidah Sunni. Namanya al-I’tiqad al-Qadiri.
Naskah al-I’tiqad al-Qadiri ini kabarnya ditulis oleh Abu al-Hasan Ahmad al-Karaji, dipersembahkan untuk Khalifah al-Qadir. Naskah ini sering dibacakan ulang di masjid Baghdad bahkan setelah al-Qadir wafat, yaitu pada periode anaknya, Khalifah al-Qaim. Konteksnya pada kedua periode Khalifah terjadi pertarungan teologis dan politis dengan kelompok Syi’ah dan Mu’tazilah.
Ibn Katsir mengatakan doktrin ini berdasarkan thariqah ulama salaf. Saya cenderung sepakat dengan ini, meskipun belakangan para tokoh “salaf” menganggap doktrin ini gak cuma mengakomodir mazhab salaf tapi juga Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun seperti saya bahas di bawah ini, Asy’ariyah juga ikut kena ‘samber’ dalam doktrin al-I’tiqad al-Qadiri. Makanya doktrin lebih beraroma aqidah salaf.
Doktrin aqidah ini berisikan keyakinan pada mazhab Salaf, dan menyerang keyakinan kaum Mu’tzailah, Syi’ah dan juga Asy’ariyah. Misalnya mengenai sifat Allah, ini berbeda dengan pendapat Mu’tazilah. Naskah I’tiqad al-Qadiri menegaksan siapa yang mengatakan kalamullah itu makhluq (diciptakan) maka dia kafir dan darahnya halal. Posisi teologis Khalifah al-Qadiri dalam naskah ini jelas berbeda dengan posisi Khalifah al-Makmun dengan mihnah-nya.
Mengenai ta’wil terhadap sifat Allah, hal itu dilarang oleh Khalifah al-Qadiri, dan ini berbeda dengan keyakinan Asy’ariyah. Sifat dan atribut Allah diterima secara haqiqat oleh I’tiqad al-Qadiri bukan secara majaz atau metafor. Jadi, ayat yang bicara mengenai tangan dan wajah Allah serta istiwa di Arsy diterima tanpa ta’wil. Sementara itu Asy’ariyah menerima sifat Allah tapi kemudian menakwilnya dengan mengatakan “tangan” Allah itu bukan berarti Allah sama dengan manusia yang memiliki tangan, karenanya tangan ini ditakwil: maksudnya adalah kekuasaan Allah.
Kemudian naskah al-I’tiqad al-Qadiri juga menyebutkan kewajiban mencintai Sahabat Nabi, Khulafa ar-Rasyidin dan menghormati Siti Aisyah. Pernyataan ini jelas ditujukan kepada kelompok Khawarij dan juga Syi’ah. Kelompok Khawarij mengkafirkan sjeumlah sahabat Nabi yang terlibat dalam peristiwa tahkim atau arbitrase antara Imam Ali dan Mu’awiyah. Sebagian dari kelompok Syi’ah kerap kali mencaci sahabat Nabi akibat tidak memberikan hak Imam Ali bin Abi Thalib sebagai washi Nabi Muhammad. Mereka juga mencaci Siti Aisyah yang sempat terlibat dalam perang jamal dengan Imam Ali. Naskah I’tiqad al-Qadiri ini menegaskan kewajiban untuk mencintai para sahabat dan istri Nabi.
Menarik bahwa doktrin aqidah al-Qadiri ini juga menyatakan hanya boleh menyebut tentang Khalifah Mu’awiyah hal yang baik-baik saja. Ini bertentangan dengan tradisi kekhilafahan Abbasiyah yang kerap mengecam dan melaknat Mu’awiyah dan keluarga Umayyah. Misalnya kitab Tarikh al-Thabari mencatat pada tahun 284 H diberitakan bahwa dokumen yang melaknat Mu’awiyah atas perintah Khalifah al-Mu’tadhid akan dibacakan di masjid selepas shalat Jum’at. Nah, dokumen al-I’tiqad Khalifah al-Qadiri memiliki sikap yang berbeda.
Mengenai Iman, doktrin keyakinan al-Qadiri ini menyatakan iman itu berupa keyakinan dakam hati, ucapan dan tindakan. Ini berarti berbeda dengan kaum Murji’ah yang menyatakan iman itu hanya keyakinan hati dan lisan saja. Karena aspek amal tidak masuk dalam kategori iman menurut Murji’ah, maka iman itu tidak akan bertambah atau berkurang. Padahal al-i’tiqad al-Qadiri menegaskan bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang.
Dan sejak alinea awal al-I’tiqad al-Qadiri ini menegaskan bahwa ini adalah keyakinan aqidah Umat Islam dan siapa yang memiliki keyakinan berbeda dengan naskah ini dianggap fasiq dan kafir.
Naskah al-I’tiqad al-Qadiri ini disebutkan oleh Ibn al-Jawzi dalam kitabnya al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam (15/279). Dimana naskah ini dibacakan ulang pada tahun 433 H di masa Khalifah al-Qaim. Akibat naskah ini banyak tokoh Mu’tazilah, Syi’ah dan sekte lainnya yang dianggap pelaku bid’ah kemudian diburu dan dihukum serta diusir. Sejarah Mihnah terulang kembali dalam bentuk yang berbeda. Sayangnya literatur Sunni banyak mengungkap tragedi Mihnah di masa al-Makmun, namun tidak banyak mengupas tragedi “mihnah” di masa al-Qadir. Padahal keduanya senada dan seirama hanya saja alirannya berbeda.
Begitulah kalau masalah perdebatan ilmu kalam atau teologi bercampur aduk dengan persoalan kekuasaan. Kalau doktrin ini mau dipakai kembali oleh penguasa, maka selain mazhab Salaf akan dinyatakan kafir. Entah berapa banyak darah yang akan tumpah. Ngeri!
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Catatan: Ini naskah lengkapnya al-I’tiqad al-Qadiri berdasarkan teks Ibn al-Jawzi, al-Muntazham, Juz 15, halaman 279-282:
أخبرنا محمد بن ناصر الحافظ حدثنا أبو الحسين محمد بن محمد بن الفراء قال أخرج الإمام القائم بأمر الله أمير المؤمنين أبو جعفر ابن القادر باللَّه في سنة نيف وثلاثين واربعمائة الاعتقاد القادري الذي ذكره القادر فقرئ في الديوان وحضر الزهاد والعلماء وممن حضر الشيخ أبو الحسن علي بن عمر القزويني فكتب خطه تحته قبل أن يكتب الفقهاء وكتب الفقهاء خطوطهم فيه أن هذا اعتقاد المسلمين ومن خالفه فقد فسق وكفر
وهو، يجب على الإنسان أن يعلم أن الله عز وجل وحده لا شريك له لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد لم يتخذ صاحبه ولا ولدا ولم يكن له [شريك] في الملك وهو أول لم يزل وآخر لا يزال قادر على كل شيء غير عاجز عن شيء إذا أراد شيئا قال له كن فيكون غنى غير محتاج إلى شيء لا اله إلا هو الحي القيوم لا تأخذه سنة ولا نوم يطعم ولا يطعم لا يستوحش من وحده ولا يأنس بشيء وهو الغنى عن كل شيء لا تخلفه الدهور والأزمان وكيف تغيره الدهور [والأزمان] وهو خالق الدهور والأزمان والليل والنهار والضوء والظلمة والسموات والأرض وما فيها من أنواع الخلق والبر والبحر وما فيهما وكل شيء حي أو موات أو جماد كان ربنا/ وحده لا شيء معه ولا مكان يحويه فخلق كل شيء بقدرته وخلق العرش لا لحاجته إليه فاستوى عليه كيف شاء وأراد لا استقرار راحة كما يستريح الخلق وهو مدبر السموات والارضين ومدبر ما فيهما ومن في البر والبحر ولا مدبر غيره ولا حافظ سواه يرزقهم ويمرضهم ويعافيهم ويميتهم ويحييهم والخلق كلهم عاجزون والملائكة والنبيون والمرسلون والخلق كلهم أجمعون وهو القادر بقدرة والعالم بعلم أزلي غير مستفاد وهو السميع بسمع والمبصر ببصر يعرف صفتهما من نفسه لا يبلغ كنههما أحد من خلقه متكلم بكلام لا بآلة مخلوقة كآلة المخلوقين لا يوصف إلا بما وصف به نفسه أو وصفه به نبيه عليه السلام وكل صفة وصف بها نفسه أو وصفه بها رسوله صلى الله عليه وسلّم فهي صفة حقيقية لا مجازية ويعلم أن كلام الله تعالى غير مخلوق تكلم به تكليما وأنزله على رسوله صلى الله عليه وسلم على لسان جبريل بعد ما سمعه جبريل منه فتلاه جبريل على محمد صلى الله عليه وسلم وتلاه محمد على أصحابه وتلاه أصحابه على الأمة ولم يصر بتلاوة المخلوقين مخلوقا لأنه ذلك الكلام بعينه الذي تكلم [الله] به فهو غير مخلوق فبكل حال متلوا ومحفوظا ومكتوبا ومسموعا ومن قال إنه مخلوق على حال من الأحوال فهو كافر حلال الدم بعد الاستتابة منه ويعلم أن الإيمان قول وعمل ونية وقول باللسان وعمل بالأركان والجوارح وتصديق به يزيد وينقص/ يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية وهو ذو أجزاء
وشعب فأرفع اجزائه لا إله الا الله وأدناها إماطة الأذى عن الطريق والحياء شعبة من الإيمان والصبر من الإيمان بمنزلة الرأس من الجسد والإنسان لا يدري كيف هو مكتوب عند الله ولا بماذا يختم له فلذلك يقول مؤمن أن شاء الله وأرجو أن أكون مؤمنا ولا يضره الاستثناء والرجاء ولا يكون بهما شاكا ولا مرتابا لأنه يريد بذلك ما هو مغيب عنه عن أمر آخرته وخاتمته وكل شيء يتقرب به إلى الله تعالى ويعمل لخالص وجهه من أنواع الطاعات فرائضه وسننه وفضائله فهو كله من الإيمان منسوب إليه ولا يكون للإيمان نهاية أبدا لأنه لا نهاية للفضائل ولا للمتبوع في الفرائض أبدا ويجب أن يحب [الصحابة من] أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم كلهم ونعلم أنهم خير الخلق بعد رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأن خيرهم كلهم وأفضلهم بعد رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أبو بكر الصديق ثم عمر بن الخطاب ثم عثمان بن عفان ثم عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ويشهد للعشرة بالجنة ويترحم على أزواج رسول الله صَلى اللهُ عَلَيه وسلم ومن سب سيدتنا عائشة رضي الله عنها فلا حظ له في الإسلام ولا يقول في معاوية رضي الله عنه إلا خيرا ولا يدخل في شيء شجر بينهم ويترحم على جماعتهم، قال الله تعالى: وَالَّذِينَ جاؤُ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنا وَلِإِخْوانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونا بِالْإِيمانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنا إِنَّكَ رَؤُفٌ رَحِيمٌ ٥٩: ١٠ وقال فيهم: وَنَزَعْنا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْواناً عَلى سُرُرٍ مُتَقابِلِينَ ١٥: ٤٧ [٤] وَلا يُكَفَّرُ بِتَرْكِ شَيْءٍ مِنَ الْفَرَائِضِ غَيْرَ الصَّلاةِ الْمَكْتُوبَةِ وَحْدَهَا فَإِنَّهُ مَنْ تَرَكَهَا/ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَهُوَ صَحِيحٌ فَارِغٌ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُ الأُخْرَى فَهُوَ كَافِرٌ وَإِنْ لَمْ يَجْحَدْهَا لقوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْعَبْدِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاةِ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ وَلا يَزَالُ كَافِرًا حَتَّى يَنْدَمَ وَيُعِيدَهَا فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ يَنْدَمَ وَيُعِيدَ أَوْ يُضْمِرَ أَنْ يُعِيدَ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ وَحُشِرَ مَعَ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَقَارُونَ وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ وَسَائِرُ الأَعْمَالِ لا يُكَفَّرُ بِتَرْكِهَا وَإِنْ كَانَ يُفَسَّقُ حَتَّى يَجْحَدَهَا، ثُمَّ قَالَ: هَذَا قَوْلُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ الَّذِي مَنْ تَمَسَّكَ بِهِ كَانَ عَلَى الحق المبين وعلى منهاج الدين والطريق المستقيم ورجا به النجاة من النار ودخول الجنة
ان شاء الله تعالى وقال النبي صلى الله عليه وسلّم وعلم الدِّينُ النَّصِيحَةُ قِيلَ لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ. للَّه وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلائِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلِعَامَّتِهِمْ وَقَالَ عَلَيْهِ السَّلامُ، أَيُّمَا عَبْدٍ جَاءَتْهُ مَوْعِظَةٌ من الله تعالى فِي دِينِهِ فَإِنَّهَا نِعْمَةٌ مِنَ اللَّهِ سِيقَتْ اليه فان قبلها يشكر والا كانت حجة عليه من الله ليزداد بها إثما ويزاد بها من الله سخطا جعلنا الله لآلائه من الشاكرين ولنعمائه ذاكرين وبالسنة معتصمين وغفر لنا ولجميع المسلمين.