Haji Rijal, begitulah orang-orang memanggilnya. Sebenarnya beliau bukan lulusan pesantren atau lulusan IAIN, namun semangat keislamannya sangat tinggi. Lemari bukunya penuh dengan buku-buku keislaman. Tidak heran kalau jama’ah Masjid al-Sakinah memintanya menjadi imam di masjid tersebut.
Haji Rijal mengaku berpandangan moderat. Ia sangat membenci jama’ah yang gemar mengkafir-kafirkan orang lain. Baginya, ummat Islam yang fanatik adalah penyebab kemunduran Islam. Ummat Islam yang gemar mengkafirkan orang lain jauh lebih berbahaya ketimbang non-muslim. Kelompok ummat Islam model ini, menurut beliau, bagaikan musuh dalam selimut. Tidak segan-segan Haji Rijal menjuluki kelompok tersebut dengan sebutan partai pisang. Konon, kelompok tersebut sering mengadakan pengajian di dekat kebun pisang.
Sikapnya yang keras terhadap kelompok yg suka main kafir-kafiran itu pada awalnya disukai banyak jama’ah. Banyak jama’ah yang memuji sikap keras Haji Rijal tersebut karena sikap gemar mengkafirkan begitu jelas memperburuk suasana di kampung itu. Akan tetapi, lambat laun Haji Rijal mulai hilang kontrol. Dari semula berdiskusi dan berdebat biasa dengan para tokoh ‘partai pisang’ itu, Haji Rijal tanpa sadar mulai sering mengeluarkan caci maki bukan saja kepada kelompok tsb tetapi juga kepada siapa saja yang berbuat baik dan akrab (dalam rangka menjalankan hablum minan nas) kepada kelompok pisang itu. Dunia menjadi hitam putih: minna wa minkum; lawan atau kawan.
Bagi Haji Rijal siapapun yang berada di tengah-tengah perdebatan itu (atau mencoba menengahi perdebatan itu) akan dianggap sebagai bagian dari kelompok pisang dan pantas untuk di-caci maki. Kelompok pisang sudah jelas salahnya dan kelompok Haji Rijal sudah jelas benarnya. Demikian pandangan Haji yang satu ini.
Baginya, setiap orang yang mencoba mengikuti pengajian di kelompoknya dan sekaligus mengikuti pengajian di kebun pisang adalah orang yg tidak punya pendirian. Orang tersebut dicurigai loyalitasnya.
Tanpa disadari oleh Haji Rijal, hampir setiap forum pengajian yang dihadirinya berakhir dengan keributan. Alih-alih menjadi penyelesai masalah, Haji Rijal malah turut membuat masalah. Kelompok partai pisang, menurut beliau, sering menghalalkan segala cara, untuk itu Haji Rijal pun menghalalkan segala cara, termasuk menuduh tanpa bukti, mencaci maki sesama muslim, menghina ulama yang tidak sepaham dengannya, melecehkan sejumlah organisasi keislaman yang tidak sepaham dengannya, dan lain-lain. Pendek kata, dimana ada Haji Rijal, disitu muncul keributan.
Ada orang yang bilang Haji Rijal ini karakternya memang senang ribut. Boleh jadi falsafah dia adalah: ber-ribut-ribut dahulu bersenang-senang kemudian. Setiap datang saran untuk memperbaiki cara dia berdiskusi, Haji Rijal hanya memicingkan sebelah mata. Baginya, cara dia mengajukan pendapat, cara dia berdebat dan cara dia memojokkan siapapun yang tidak sepaham dengannya adalah bagian dari kebenaran itu sendiri, yang tidak bisa diganggu gugat.
Ini adalah jihad, karena yg haq dan batil telah jelas; hitam atau putih telah jelas sinarnya. Tentu saja yang putih adalah kelompok Haji Rijal dan yg dianggap beliau hitam adalah kelompok kebun pisang. Yang abu-abu pun dia anggap sama dengan hitam.
Satu hal yang luput dari perhatian haji Rijal adalah, alih-alih membuat orang simpati, semakin banyak orang yang tidak bersimpati pada cara perjuangannya. Ia yang mengaku moderat, liberal dan non-fanatik, ternyata jatuh pada sikap fanatik. Tuduhannya pada kelompok pisang itu, ternyata berbalik menerpa mukanya sendiri.
Entah sampai kapan Haji Rijal mau bertahan dengan cara-cara seperti itu…
Pesan moral:
- seringkali kita mengecam orang lain sebagai fanatik, tanpa sadar kita pun jatuh pada lubang yang sama
- memperjuangkan sebuah keyakinan atau kebenaran juga harus dilakukan dengan cara-cara yang benar
- Haji Rijal ini bukan saja berada di sekitar kita, tetapi jangan-jangan ada di dalam diri kita masing-masing.