You are here:

Gatra, Nomor 39/V, 14 Agustus 1999 — RESENSI

Fiqh Islam sejajar dengan sistem hukum agama-agama dunia. Dikemas ulang agar menarik untuk dikaji.

HUKUM Islam telah diterima sebagai satu dari sistem hukum di dunia. Rene David dan John E.C. Brierley, misalnya, memasukkan satu bab khusus tentang hukum Islam dalam buku mereka, Major Legal Systems in the World Today (terbit pertama kali di Prancis, 1964). Hal yang sama dilakukan oleh Konrad Zweigert dan Hein Kotz dalam Introduction to Comparative Law (1977).

Kedua buku itu menjadi bahan bacaan wajib bagi para mahasiswa di luar negeri, yang mempelajari sistem hukum yang berkembang dan berlaku di berbagai penjuru dunia. Diterimanya hukum Islam ke dalam salah satu sistem hukum ini mengundang Alan Watson, dari The University of Georgia Press, untuk menerbitkan sebuah buku tentang hukum Islam.

Watson adalah editor yang menyunting serial penerbitan di bawah topik The Spirit of the Laws. Hajat itu kesampaian oleh buku The Spirit of Islamic Law ini, yang ditulis oleh Bernard G. Weiss, profesor di Pusat Timur Tengah, Universitas Utah. Buku ini bersanding dengan The Spirit of Biblical Law (Calum Carmichael), The Spirit of Japanese Law (John Owen Haley), The Spirit of Classical Canon Law (R.H. Helmholz), The Spirit of Traditional Chinese Law (Geoffrey MacCormack), dan The Spirit of Roman Law, yang ditulis oleh Alan Watson sendiri.

Berbeda dengan era Joseph Schacht dan Noel J. Coulson, yang menitikberatkan sejarah hukum Islam, Weiss mengambil spesialisasi dalam bidang Usul al-Fiqh. Sebelum menulis The Spirit, ia sudah dikenal lewat The Search for God’s Law: Jurisprudence in the Writings of Sayf al-Din al-Amidi (1992). Ia tak hanya menerjemahkan karya monumental Al-Amidi, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, melainkan juga memberi catatan penting terhadap karya tersebut, yang merupakan salah satu kitab klasik utama dalam literatur Usul al-Fiqh.

Usul al-Fiqh merupakan entry point untuk menjelaskan hukum Islam kepada khayalak akademik. Dengan demikian, kita -atau para pembaca Barat, sebagaimana pasaran untuk buku ini- tidak terjebak pada persoalan poligami dan potong tangan yang sering dipersoalkan itu. Usul al-Fiqh lebih bicara pada proses dan metode, ketimbang hasil atau bunyi hukumnya.

Weiss mengemas ulang beberapa isu yang berkembang dalam wacana hukum Islam belakangan ini, yang merupakan perdebatan klasik. Kriteria bagi seorang pakar hukum Islam untuk berijtihad, konsep tawatur, kemaslahatan umum, analogi atau qiyas, dan perbedaan mazhab adalah beberapa topik yang disinggung Weiss, dan semuanya beranjak pada literatur Usul al-Fiqh.

Pada titik ini, kemampuan Weiss membaca khazanah klasik (dikenal dengan kitab kuning) sangat menunjang bobot pembahasan bukunya. Weiss cukup akrab mengutip karya-karya klasik dalam bidang Usul al-Fiqh, yang ditulis oleh al-Ghazali, Baydawi, Bihari, Ibn al-Hajib, al-Subki, Ibn Qudama, Juwayni, Mawardi, Razi, Sarakhsi, Syawkani, dan Syatibi.

Kalaupun ada yang harus dikritik dari karya Weiss ini, dia lupa membicarakan dua topik aktual dalam wacana Usul al-Fiqh kontemporer, yaitu ijtihad jama’i dan ruh al-tasyri’. Yang pertama adalah konsep ijtihad yang dilakukan secara kolektif, dan telah diumumkan penggunaannya oleh Majma’ al-Buhus al-Islamiyah di Kairo pada 1964. Menarik dicatat, Nahdlatul Ulama pada 1926, dan Muhammadiyah pada 1929, telah mempraktekkan ijtihad secara kolektif, jauh sebelum Majma’ al-Buhus al-Islamiyah menganjurkan dunia Islam mempraktekkannya.

Sedangkan konsep ruh al-tasyri’ belakangan ini masuk dalam perdebatan antara mereka yang tekstualis dan mereka yang kontekstualis. Jika tekstualis lebih melihat bunyi teks, kontekstualis cenderung “membaca” ruh, atau jiwa suatu teks. Perdebatan soal boleh-tidaknya wanita menjadi presiden, misalnya, merupakan contoh pertentangan antar kelompok di atas. Masalahnya, sejauh mana kita boleh meninggalkan bunyi teks, dan kemudian berpaling pada jiwanya.

Lepas dari kekurangan itu, buku ini berguna bagi mereka yang ingin mendalami hukum Islam, namun tak punya akses ke khazanah klasik. Ia juga mengangkat “derajat” fiqh yang sering dicemooh oleh ahli teologi Islam sebagai biang keladi kemunduran umat. Weiss dengan tegas menulis, “Akar disiplin Usul al-Fiqh sama tuanya dengan akar fiqh itu sendiri.” Fiqh adalah “bisnis” yang tidak pernah berakhir. Karena itu, sudah saatnya dikemas ulang, agar menarik hati banyak orang.

Nadirsyah Hosen
University of New England, Australia