Sebut saja namanya Saleh. Seorang alim di kampung saya. Ia diangkat oleh masyarakat sekitar sebagai imam masjid karena kealimannya. Bagaimana tidak, kalau ia memimpin sholat dalam satu rakaat belasan ayat ia baca, kalau khutbah Jum’at lidahnya fasih mengucap dan mengutip ayat maupun hadis. Kurang apalagi? Anehnya, belakangan ini jama’ah masjid mulai kesal dengan Haji Saleh ini.
Saya hanya tukang catat kekesalan mereka. Konon, menurut jama’ah, banyak yg enggan sholat jama’ah di masjid karena Haji Saleh itu kalau sholat lama sekali. Padahal banyak kebutuhan hidup para jama’ah yg harus dipenuhi. Mereka harus berdagang dan pergi ke sekolah, tapi Haji saleh seakan tak peduli bahwa selepas sholat banyak jama’ah yg harus berangkat mencari sesuap nasi.
Jama’ah lain menuduh Haji Saleh telah melakukan monopoli dalam menjadi Imam dan Khatib Jum’at. “Mbok ya sekali-kali, kasih Haji yg lain untuk jadi Imam atau jadi khatib,” gerutu seorang jama’ah.
Seorang Bapak mengeluh pada saya bahwa Haji Saleh bukan hanya sholatnya yg lama, tapi kalau memberi khutbah Jum’at juga sangat panjang. Bayangkan dia tahan memberi khutbah selama 45 menit, padahal banyak jama’ah yg udah mulai gelisah.
Seorang remaja masjid juga mengeluh pada saya, katanya Haji Saleh sering emosional menanggapi pertanyaannya dalam pengajian. Kalau didebat sedikit, mulailah Haji saleh mengatakan bahwa “kalian itu menyimpang, karena itu perlu saya luruskan!”
Seorang mahasiswa s2 sebuah Universitas beken berpendapat bahwa tema pengajian dan khutbah Haji Saleh itu-itu saja; berputar dari itu ke itu.
“Maksudnya apa?” tanya saya tak paham.
“Masa’ dari minggu ke minggu yg diomongkan cuma iman-taqwa, iman-taqwa melulu.
Kalau itu sih kita sudah paham, yg penting kan bagaimana mengaplikasikan iman-taqwa itu untuk kehidupan sehari-hari.”
Saya menarik napas dalam-dalam. Saya mencoba membela Haji saleh. Saya katakan, “Tapi kan semangat beliau pada islam harus kita hargai dan patut kita tiru.”
“Semangat islam? Ah…dia emang terlalu semangat!” sergah seorang Bapak yang tiba-tiba nimbrung.
Bapak tadi melanjutkan, “Pernah dalam satu pengajian isteri saya pulang sambil menangis, pasalnya Haji Saleh mengatakan dengan keras bahwa ushalli itu tak perlu dalam sholat. Bahkan siapa yg mengucap ushalli maka sholatnya tidak sah. Lha…isteri saya itu dari kecil sampai sudah punya anak ini kalau mau sholat ya baca ushalli…artinya selama hidupnya sholatnya tak diterima dong…”
Saya tak kuasa lagi membela Haji Saleh, ketika di suatu perjalanan pulang dari pengajian saya mengajak dia berdiskusi tentang satu masalah. Belum lagi saya selesai mengajukan argumen, Haji Saleh langsung “menyemprot” saya dengan satu napas, tanpa titik tanpa koma, tanpa sempat saya sela.
Jama’ah yg lain mendengar saya disemprot seperti itu tersenyum. Besoknya, ramai orang mengejek saya sebagai pembela Haji Saleh yg akhirnya kena “semprot” juga.
Setelah itu banyak pihak yg memanas-manasi saya untuk melakukan “kudeta” terhadap Haji Saleh. “Bukankah kamu juga sudah Haji,” bujuk seorang Bapak setengah baya.
“Iya…kamu juga cukup ngerti agama kok, nak” kata seorang tokoh kampung sambil memegang pundak saya.
Saya tersenyum, “ah emangnya politik, kok pakai acara “kudeta”. Begini saja, saya tetap menghormati Haji Saleh. Saya yakin ada banyak cara untuk “menyadarkan” Haji Saleh, tapi saya belum menemukan cara yg terbaik. Yg jelas saya memilih jadi makmum saja daripada harus “mengkudeta” beliau” Jama’ah tersenyum mendengar jawaban saya.
PESAN MORAL
*) Godaan terbesar untuk orang shaleh adalah ketika dia merasa Islam yang benar hanya berada pada dirinya dan golongannya. Selebihnya adalah sesat, bid’ah dan kafir. Tanpa sadar, para orang shaleh ini telah mempersempit samudera Rahmat Allah yang luas tak bertepi.