Oleh ALISSA WAHID
Kompas, 7 Juli 2019
Beberapa tahun terakhir ini, di media sosial Gus Nadirsyah Hosen sangat aktif mengutip dalil-dalil agama Islam dengan menyertakan potret kitab-kitab klasik (kitab mu’tabar) yang menjadi rujukannya. Terutama saat ia sedang beradu pandangan dengan akun-akun lain dalam pembahasan tentang hukum Islam atau pendapat berlandaskan agama Islam, misalnya tentang khilafah.
Gus Nadir selalu merujuk kepada kitab-kitab klasik tersebut untuk mengajarkan kepada publik dan lawan berdebatnya bahwa kita perlu selalu mempertanggungjawabkan pendapat kita, tidak asal bicara, apalagi menyimpulkan ayat-ayat Tuhan secara literal tanpa landasan keilmuan. Gus Nadir memilih menantang pandangan segelintir orang yang dipandangnya tidak memiliki keilmuan yang cukup tetapi begitu gigih meyakini dan menyebarkan tafsirnya atas Firman Tuhan tersebut.
Berkembangnya media sosial dan teknologi informasi memang memunculkan fenomena yang tidak hanya menarik, tetapi juga menjungkirbalikkan situasi: banyak orang tanpa kompetensi profesional atau keilmuan yang adekuat mendadak menjadi pakar isu tertentu (subject matter expert). Semisal, orang awam yang membahas tentang gejala dan diagnosis penyakit tertentu, bahkan, bisa menyarankan obat tertentu untuk mengobatinya. Atau yang lebih mutakhir bagi publik Indonesia adalah munculnya analis-analis politik awam yang merasa tak awam sepanjang pesta demokrasi 2019.
Dalam bukunya Death of Expertise (Matinya Kepakaran, 2017), Tom Nichols membahas berkembangnya media sosial yang mendorong demokratisasi (lebih spesifik: egalitarianisme) informasi. Setiap orang bisa menjadi sumber informasi tanpa batas, baik batas pemahaman maupun batas jangkauan pengaruhnya.
Pengetahuan dapat diakses semudah mengetukkan jempol sehingga setiap orang dapat merasa menguasai sebuah topik dengan berbekal akses kepada internet. Echo chamber yang disediakan mesin teknologi informasi semakin membombardir sekaligus mengurung individu dengan banjir informasi yang sesuai dengan fokusnya, tanpa terekspos dengan informasi penyeimbang.
Dampak perkembangan teknologi informasi ini berkelindan dengan kecenderungan alamiah manusia yang disebut Efek Dunning-Kruger. David Dunning dan Justin Kruger menunjukkan kecenderungan individu untuk menilai diri lebih rendah atau lebih tinggi dari kompetensi sejatinya.
Menariknya, individu yang kompeten justru cenderung menilai dirinya lebih rendah dari kemampuannya, sedangkan individu yang inkompeten cenderung menilai dirinya lebih tinggi dari kapasitas kompetensi obyektifnya.
Al-Ghazali juga menyebutkan empat jenis manusia: yang tahu dan paham apabila ia tahu, yang tahu dan tak paham bahwa ia tahu, yang tak tahu dan paham bahwa ia tak tahu, serta yang tidak tahu dan tak paham bahwa ia tak tahu.
Sering kali jenis keempat inilah yang menimbulkan persoalan. Ketidakpahamannya, didukung bias kognitif Efek Dunning-Kruger, menyebabkan ia merasa menguasai sebuah topik, dan ia menilai dirinya lebih tinggi daripada kapasitas obyektifnya karena itu ia menjadi cukup percaya diri untuk menilai dirinya sebagai pakar.
Di sisi lain, semakin dalam ilmu yang digali para profesional, semakin kuat kesadaran mereka bahwa segala hal tidak sesederhana tampak luarnya, dan karenanya mereka lebih berhati-hati dan lebih rendah hati. Semakin berisi, padi semakin merunduk. Maka dengan mudahnya, para profesional yang menghabiskan sumber daya selama bertahun-tahun untuk mendalami ilmu tertentu menjadi seakan gelagapan menghadapi gelombang manusia awam yang meyakini kepakarannya. Otoritas pemahaman atas sebuah perkara tak lagi menjadi kemuliaan para pakar.
Dan dalam beberapa konteks, dinamika ini membawa dampak yang merusak. Misalnya pengaruh gerakan antivaksin yang menguat dalam dasawarsa terakhir ini menyebabkan beberapa negara bagian di Amerika Serikat dilanda wabah cacar air yang sebelumnya sudah diberantas. Begitu juga tahun 2017 di Indonesia, di mana 95 kabupaten dari 20 provinsi mencatat meningkatnya kasus difteri, dua pertiganya terjadi pada anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi difteri.
Dan tentu saja, dampak merusak terbesar dari Efek Dunning-Kruger dan matinya kepakaran terjadi dalam konteks agama dan politik/ideologi. Pesta demokrasi Indonesia dibanjiri kabar palsu yang disengaja untuk memengaruhi publik, dan para pengidap bias kognitif ini pun dengan percaya diri menyebarluaskannya bak pakar atau analis politik profesional.
Puncaknya adalah pertandingan saksi pakar yang hadir dalam persidangan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi.
Hamburan pendapat atas nama agama dari para ”ahli agama” yang tidak mendalami ilmu agama menyebabkan kaum awam bertransformasi menjadi kaum yang memahami tuntunan agama secara dangkal. Sebuah contoh konyol tidak lama ini adalah foto yang viral dari Tasikmalaya: plang Dinas Sosial Kabupaten Tasikmalaya yang ditulis dengan huruf arab pegon tanpa mengikuti kaidah penulisan abjad pegon yang tepat, entah siapa pakar yang menuliskannya.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa perselisihan di dunia ini diakibatkan oleh tak mampunya kaum bodoh berhenti menanggapi hal yang tidak ia kuasai. Namun, dalam kondisi saat ini, agaknya problem ini juga disebabkan ketidakmampuan para pakar untuk memenangi pertarungan pengaruh di ruang publik.
Sejauh mana kita akan membiarkan kecenderungan ini menciptakan kerusakan- kerusakan, baik kecil maupun besar, dalam masyarakat kita? Bagaimana demokrasi menjelma dalam demokratisasi di segala lini yang dipicu teknologi informasi? Semoga para pakar yang arif bijaksana dapat segera mencerahkan kita.