You are here:

Imam Mahdi dan Khilafah

Di bawah ini dua tulisan saya soal topik Imam Mahdi dan Khilafah. Keduanya sudah dimasukkan dalam buku saya Islam Yes, Khilafah No. Maaf tulisan ini agak sedikit panjang 😀

Untuk menyimak bahasan menarik lainnya, silakan pesan bukunya ke wa 0812 915 33141

Memahami Hadits Khilafah dan Imam Mahdi Dalam Perspektif Lintas Disiplin

Bagian Pertama:

Belakangan ini para pendukung khilafah pusing. Argumentasi mereka berguguran satu demi satu. Dari soal ketidakbakuannya sistem khilâfah, lemahnya riwayat mengenai bendera yang mereka klaim sebagai bendera Rasulullah, kritik sanad dan matan terhadap hadits khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, dan fakta bahwa UUD Khilafah yang mereka persiapkan hanya berdasarkan dalil umum yang penafsirannya mereka paksa mengikuti paham mereka dan bukti konkret bahwa UUD Khilafah itu juga mengambil materi dari sejarah dan kondisi kekinian demokrasi–sesuatu yang mereka tentang selama ini.

Walhasil, mereka mengeluarkan argumen pamungkasnya, yaitu menyorongkan hadits seputar munculnya Imam Mahdi, di mana dalam sejumlah teks hadits tersebut ada indikasi bahwa khalifah hadir sebelum datangnya Imam Mahdi.

Tulisan saya ini akan mengupas masalah hadits tersebut dengan pertama-tama menggunakan kajian disiplin ilmu hadits yang menilai kualitas sanadnya, dan kemudian saya akan jelaskan bagaimana memahami matan hadits dalam peta sejarah politik Islam masa lalu. Kajian ini menggunakan perspektif lintas disiplin keilmuan: ilmu hadits, tarikh, dan fiqh siyasah.

Perdebatan Awal

Ada lebih dari 50 hadits dalam hal Imam Mahdi, di mana kualitas sanad hadits itu beragam, ada yang sahih, hasan, dha’if, dan ada pula yang palsu. Sebagian ulama mengatakan banyaknya riwayat tersebut membuat hadits seputar ini masuk dalam kategori mutawatir maknawi. Artinya, secara makna kabar akan keberadaan Imam Mahdi diakui secara mutawatir karena jumlahnya banyak, meski tidak semua riwayatnya kuat.

Namun demikian, sejumlah ulama lain keberatan dengan kesimpulan “mutawatir maknawi” ini dengan dua alasan utama. Pertama, al-Qur’an tidak menyebutkan soal Imam Mahdi, dan info keberadaannya diketahui hanya lewat hadits. Di samping itu, kedua kitab hadits utama (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) tidak mengulas soal Imam Mahdi ini. Riwayat yang dianggap “mutawatir” itu bertebaran di kitab-kitab hadits selain keduanya.

Meski tidak semua hadits sahih hanya terdapat dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim dan bisa juga terdapat dalam kitab hadits lainnya, tidak dapat dihindari kesan bahwa saling bertentangannya sejumlah riwayat tentang tema ini membuat kedua kitab utama ini enggan mencantumkannya.

Seperti telah saya sebutkan, banyak hadits sahih lainnya yang tidak terdapat di dalam kedua kitab utama ini. Ini artinya kita harus menelusuri sejumlah riwayat hadits tentang Imam Mahdi untuk menilai sahih atau tidaknya riwayat tersebut satu per satu. Ibn Khaldun (1332-1406) dalam kitabnya, Muqaddimah, telah merangkum catatan para ulama hadits tentang riwayat seputar Imam Mahdi. Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa mayoritas tidak berkualitas sahih, dan hanya sedikit sekali yang bisa “diselamatkan”.

Sampai di sini, kesimpulan Ibn Khaldun langsung membuat berang sejumlah ulama. Maklumlah tema Imam Mahdi ini menjadi rebutan banyak pihak. Banyak aliran dalam Islam yang berpegangan pada keberadaan Imam Mahdi. Kalau ini didha’ifkan, bagaimana dengan pokok ajaran mereka? Runtuhkah? Maka, Ibn Khaldun pun diserang dengan mengatakan bahwa dia bukan seorang ahli hadits. Seperti saya bilang, sebagai sejarawan Ibn Khaldun mengumpulkan komentar para ulama tentang sanad riwayat tersebut, jadi bukan beliau yang memberi penilaian secara langsung.

Ibn Khaldun sendiri kelihatannya memang tidak suka dengan konsep Mahdi dalam ajaran Syiah. Maka, kita dapati komentarnya sering cukup sengit terhadap Syiah dalam kitab Muqaddimah-nya itu. Satu lagi yang “ditembak” oleh Ibn Khaldun adalah kelompok sufi-mistis yang kemudian mengaku sebagai Imam Mahdi, yaitu kelompok al-Muwahhidun di bawah tokohnya, Ibn Tumart (1077-1130).

Dengan kata lain, upaya Ibn Khaldun mengkritisi sanad hadits seputar Imam Mahdi ini tidak dalam konteks menyerang doktrin Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.

Penelusuran saya sendiri terhadap sejumlah riwayat seputar Imam Mahdi ini mengindikasikan: semakin detail ceritanya, semakin ditemui kejanggalan. Semakin rinci, maka semakin saling berbenturan info yang kita dapat mengenai asal usul keturunan, namanya, bentuk fisik, lokasi kehadirannya, berapa lama memerintah, dan peristiwa sebelum dan sesudah kemunculannya. Banyak sekali riwayat yang saling bertabrakan.

Misalnya, kita akan dapati paling tidak 5 informasi berbeda mengenai sosoknya:

1. Imam Mahdi keturunan Rasulullah dari jalur Sayyidina Hasan.
2. Imam Mahdi keturunan Rasulullah dari jalur Sayyidina Husein.
3. Imam Mahdi keluarga Rasulullah dari jalur Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib.
4. Imam Mahdi berasal dari umat Islam (tidak spesifik).
5. Imam Mahdi itu sama dengan Nabi Isa.

Kelimanya memiliki hadits pendukung. Itu sebabnya kita harus membaca riwayat seputar ini dengan kritis.

Imam Mahdi dan Khalifah

Konteks diskusi kita kali ini bukan bicara soal Imam Mahdi secara umum, tetapi dalam konteks khalifah yang hadir sebelum kedatangan Imam Mahdi. Logika pendukung khilafah itu sederhana saja: kalau khalifah sudah selesai dan tidak akan tegak kembali, kenapa keberadaan khalifah disebutkan dalam hadits datangnya Imam Mahdi. Nah, benarkah demikian?

Diskusi ini juga kita batasi dalam kajian Ahlus Sunnah wal-Jama’ah. Saya tidak akan menyoal konsep dan riwayat Imam Mahdi dari Syi’ah. Lain kali saja kita bahas soal Syi’ah.

Saya akan sebutkan dua riwayat yang relevan dalam diskusi ini:

Hadits pertama:

“Ada tiga orang yang akan saling membunuh tentang simpanan kalian; mereka semua adalah putra khalifah, kemudian tidak satu pun akan mendapatkannya. Akhirnya muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lalu mereka akan memerangi kalian dengan peperangan yang tidak pernah dilakukan oleh satu kaum pun… (lalu beliau SAW menutur-kan sesuatu yang tidak aku ingat, kemudian beliau SAW berkata:) Jika kalian melihatnya, maka bai’atlah dia! Walaupun dengan merangkak di atas salju, karena sesungguhnya ia adalah Khalifatullah al-Mahdi.”

Riwayat ini terdapat dalam sejumlah kitab hadits seperti Sunan Ibn Majah (II/1367), Mustadrak al-Hakim (IV/463-464).

Imam al-Hakim mengklaim bahwa sanad riwayat ini sahih sesuai standar Bukhari-Muslim, meski keduanya tidak mencantumkannya dalam kitab mereka. Al-Bazzar dalam kitab Dala’il an-Nubuwwah (6/515) mengatakan riwayat ini sahih. Ibn Katsir dalam an-Nihayah fil Fitan wal Malahim (hal. 17) mengatakan hadits ini marfu’ (hadist yang disandarkan kepada Rasulullah SAW). Tapi dalam al-Bidayah wan Nihayah beliau katakan ini hadits mawquf (hadist yang disandarkan seseorang kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah) yang berhenti di Tsauban Radhiyallah anhu.

Akan tetapi Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-‘Ilal (2/325) mengatakan riwayat ini dha’if. Imam Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal (3/128) mengatakan hadits ini munkar. Yang menarik adalah ungkapan Syekh al-Albani yang mengatakan sanadnya munkar karena Abu Qilabah itu tadlis tapi matannya bisa diterima kecuali kalimat akhirnya yaitu “khalifatullah Mahdi”. Kita akan kembali ke soal istilah “khalifatullah Mahdi” nanti.

Hadits kedua:

Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnul Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam berkata, telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Qatadah dari Shalih Abu Al Khalil dari sahabatnya dari Ummu Salamah isteri Nabi SAW, dari Nabi, beliau bersabda: “Akan terjadi perselisihan saat matinya khalifah, lalu seorang laki-laki akan keluar dari Madinah pergi menuju Mekkah. Lantas beberapa orang dari penduduk Mekkah mendatanginya, mereka memaksanya keluar (dari dalam rumah) meskipun ia tidak menginginkannya. Orang-orang itu kemudian membaiatnya pada suatu tempat antara Rukun (Hajar Asawad) dan Maqam (Ibrahim). Lalu dikirimlah sepasukan dari penduduk Syam untuk memeranginya, tetapi pasukan itu justru ditenggelamkan oleh (Allah) di Al-Baida, tempat antara Mekkah dan Madinah. Maka, ketika manusia melihat hal itu, orang-orang saleh dari Syam dan orang-orang terbaik dari penduduk Irak membaiatnya antara rukun dan maqam. Lalu tumbuhlah seorang laki-laki dari bangsa Quraisy, paman-pamannya dari suku Kalb, dia lalu mengirimkan sepasukan untuk memerangi mereka (orang-orang yang berbaiat kepada lelaki itu) namun mereka dapat mengalahkan mereka (pasukan yang dikirim oleh lelaki Quraisy dari suku Kalb). Alangkah ruginya orang yang tidak ikut serta dalam pembagian ghanimah perang melawan suku Kalb. Dia lalu membagi ghanimah, dan membina manusia dengan sunnah Nabi mereka dan menyampaikan Islam ke semua penduduk bumi. Ia berkuasa selama tujuh tahun, kemudian wafat dan disalati oleh kaum muslimin.”

Abu Dawud berkata, “Sebagian mereka menyebutkan dari Hisyam, “selama sembilan tahun.” Dan sebagian yang lain menyebutkan, “Selama tujuh tahun.” Telah menceritakan kepada kami Harun bin Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Abdus Shamad dari Hammam dari Qatadah dengan Hadits yang sama. Beliau mengatakan, “sembilan tahun.” Abu Dawud berkata, “Selain Mu’adz menyebutkan dari Hisyam, “selama sembilan tahun.”

Sunan Abi Dawud (Hadits nomor 3737) dan Musnad Ahmad (6/316) memuat riwayat ini. Syekh al-Albani megatakan riwayat ini dha’if. Ibn Khaldun mencatat bahwa ada perawinya yang majhul (jati dirinya tak diketahui/ketidaktahuan akan perawi) dan mudallis (perawi tidak mendengar atau bertemu langsung). Persoalannya ada pada Qatadah. Syekh Arnaut mengatakan dha’if, namun Ibn Jauziy dalam al-‘Ilal (1444) mengatakan sanadnya hasan. Al-Haytsami dalam Majma’ Zawaid (7/35) mengatakan perawinya sahih.

Seperti bisa dilihat, baik hadits pertama maupun kedua diperselisihkan statusnya oleh para ulama. Tidak ada kesepakatan. Di samping itu, kedua hadits di atas menyebut soal perselisihan khalifah, dan kondisi kacau balau sebelum munculnya Imam Mahdi. Itu sebabnya para pendukung keberadaan khilafah yang menggunakan logika bahwa akan ada khalifah sebelum Imam Mahdi harus mendapati kenyataan bahwa suasana saat itu kacau balau dan tidak mungkin suasana kacau balau dan perselisihan itu terjadi dalam khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khilafah yang sesuai dengan metode kenabian).

Kalau begitu, apa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah itu setelah hadirnya Imam Mahdi? Wah, kalau gitu sih sudah kiamat, dong. Bukankah munculnya Imam Mahdi (dan juga turunnya kembali Nabi Isa dan muncullnya Dajjal) merupakan tanda-tanda kiamat.

**

Memahami Hadits Khilafah Dan Imam Mahdi Dalam Perspektif Lintas Disiplin

Bagian kedua:

Konteks Hadits Pertama

Setelah mengurai kedua hadits di atas dari sisi sanad, kita akan telusuri keduanya dari sudut matan dengan melihat kajian sejarah dan siyasah. Kenapa kajian teks hadits harus kita legkapi dengan kajian lintas disiplin? Kajian sanad semata membicarakan kualitas perawi dan ketersambungan di antara mereka, namun tidak mempersoalkan konteks sejarah politik Islam di mana riwayat-riwayat itu beredar.

Saya beberapa kali singgung dalam tulisan-tulisan sebelumnya, bagaimana terjadi politisasi ayat dan hadits dalam sejarah Islam. Termasuk ke dalamnya muncul riwayat-riwayat palsu yang mendukung para pihak yang bertikai di masa lalu. Kajian sanad yang kita lengkapi dengan memahami konteks matan hadits dengan bantuan ilmu sejarah dan fiqh siyasah akan semakin membuat kita terang benderang memahami riwayat-riwayat seputar politik.

Asumsi yang kita gunakan: semakin detail dan rinci riwayat yang bicara prediksi politik, semakin kita harus kritis bahwa riwayat tersebut diriwayatkan secara post-factum—untuk tidak mengatakan semua riwayat tersebut palsu.

Hadits pertama yang sanadnya sudah saya tunjukkan bermasalah itu bercerita mengenai konflik tiga orang putra khalifah. Siapakah mereka? Saya menggunakan asumsi bahwa riwayat ini sebenarnya bukan berkenaan dengan akhir zaman menjelang kiamat tapi sebenarnya muncul saat masa transisi Dinasti Umayyah yang mengalami konflik internal dan munculnya kekuatan baru dari luar, yaitu Dinasti Abbasiyah. Mari kita uji.

Kita akan temui fakta menarik di bawah ini jikalau hadits pertama di atas kita bedah dengan asumsi ini. Ketiga putra khalifah yang saling perang itu adalah para khalifah terakhir dari Dinasti Umayyah, yaitu Khalifah al-Walid II dibunuh oleh Khalifah Yazid III. Dan Khalifah Marwan II membalas dendam atas kematian Khalifah al-Walid II. Khalifah Marwan II ini merupakan khalifah terakhir dari Umayyah. Inilah fakta sejarah pertarungan ketiga putra khalifah.

Hadits pertama kemudian menyebut akan muncul pasukan dengan membawa bendera hitam dari Timur. Fakta sejarah mengatakan Jenderal Abu Muslim membawa bendera hitam memberontak dari wilayah Khurasan kepada Dinasti Umayyah. Lanjutan teks hadits pertama mengatakan “lalu mereka akan memerangi kalian dengan peperangan yang tidak pernah dilakukan oleh satu kaum pun”. Ini merujuk kepada khalifah pertama Abbasiyah yang bernama Abul Abbas dan digelari as-Saffah, sang penumpah darah. Sejarah mencatat kekejamannya tidak terkira (Baca di sini: As-Saffah (Sang Penumpah Darah): Khalifah Pertama Abbasiyah)

Lantas Tsauban, sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits ini, mengatakan dia tidak hafal ucapan Nabi berikutnya. Saya menduga bahwa yang dia tidak sampaikan adalah periode Khalifah Abbasiyah kedua, yaitu Abu Ja’far al-Mansur. Justru nama Mansur ini masuk dalam riwayat lain tentang Imam Mahdi di bawah ini:

Harun berkata, “Telah menceritakan kepada kami Amru bin Abu Qais dari Mutharrif bin Tharif dari Abu Al Hasan dari Hilal bin Amru dia berkata; Aku mendengar Ali RA berkata, “Nabi SAW bersabda: “Akan keluar seorang laki-laki dari seberang sungai (seperti Bukhara dan Samarqan), dia bernama Al-Harits bin Harrats, lalu setelahnya akan keluar seorang laki-laki bernama Mansur. Dia memperkokoh keluarga Muhammad sebagaimana bangsa Quraisy memperkokoh Rasulullah. Maka wajib atas setiap mukmin menolongnya, atau beliau mengatakan: “memenuhi seruannya.”

Hadits Sunan Abi Dawud (3739) ini penggalan hadits panjang mengenai Imam Mahdi yang berasal dari keturunan Sayyidina Hasan.

Nah, nama Mansur di atas apakah maksudnya nama Khalifah Mansur? Lalu siapakah al-Harits dalam riwayat ini, apakah maksudnya al-Harits bin Surayj, seorang tokoh yang juga terlibat dalam pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah? Wa Allahu A’lam. Yang menarik, para pendukung Osama bin Laden mengklaim bahwa al-Harits ini maksudnya adalah Osama dan Mansur itu Zawahiri. Akhirnya, siapa pun bisa mengklaim sebagai para pembantu Imam Mahdi.

Kembali ke hadits pertama. Tsauban RA kemudian meriwayatkan, “Jika kalian melihatnya, maka bai’atlah dia! Walaupun dengan merangkak di atas salju, karena sesungguhnya ia adalah khalifatullah al-Mahdi.”

Mekkah dan Madinah jarang sekali turun salju (untuk tidak mengatakan mustahil), sedangkan wilayah Khurasan, Suriah, dan, Baghdad–tempat lokasi perebutan kekuasaan Umayyah dan Abbasiyah) sering terkena turunnya salju saat musim dingin. Jadi, jelas lokasi yang sedang dibicarakan dalam hadits pertama ini di luar Mekkah dan Madinah—ini berbeda dengan hadits kedua di mana lokasi Imam Mahdi di kedua kota suci ini.

Lantas disebut dalam hadits pertama mengenai Khalifatullah Mahdi. Khalifah ketiga Abbasiyah “kebetulan” bergelar al-Mahdi. Pernah saya bahas di sini kisahnya bagaimana keuntungan politik yang diraih Abbasiyah dengan menggunakan titel al-Mahdi saat berhadapan dengan kelompok Syiah (Baca di sini: Khalifah Ketiga Abbasiyah: Klaim sebagai Mahdi)

Istilah khalifatullah ini dipersoalkan oleh Syekh al-Albani. Sebagai seorang Wahabi tulen, beliau keberatan seolah Allah membutuhkan “pengganti”. Istilah khalifatullah itu merusak akidah, kata beliau. Bukan pada tempatnya di sini saya membahas pernyataan al-Albani ini secara teologis.

Kita fokus pada isu utama. Memang, sejarah istilah khalifah menarik kita telusuri. Singkatnya begini, istilah khalifah di awal penggunaannya itu adalah Khalifatur Rasul (pengganti Rasul). Ini ditujukan untuk Sayyidina Abu Bakar. Kemudian pas beliau wafat, istilahnya menjadi Khalifah Khalifatir Rasul, merujuk kepada Umar. Karena ribet memanggilnya, maka cukuplah tetap menjadi Khalifah saja. Umar sendiri juga sering dipanggil Amirul Mu’minin.

Istilah Khalifatur Rasul ini dipertahankan di masa Umayyah, tapi di masa Al-Mahdi ini perlahan titel khalifah bergeser, dari semula sebagai khalifah penerus Rasul, kini menjadi Khalifatullah fil Ardh (Khalifah Allah di muka bumi). Ini seolah menjadi bayang-bayang kekuasaan Allah di bumi. Maka, perlahan Khalifah Al-Mahdi duduk di balik tirai dan sejumlah urusan penting diserahkan kepada wazirnya. Posisi khalifah menjadi agung dan berjarak dengan rakyat serta kukuh secara spiritual. Posisi wazir menjadi sangat menguat.

Syekh al-Albani boleh saja keberatan dengan istilah itu. Tapi fakta bahwa istilah itu yang dipakai dalam hadits pertama semakin menunjukkan bahwa asumsi kita di atas benar, bahwa riwayat ini bukan mengenai Imam Mahdi di akhir zaman kelak, tapi berkenaan dengan kondisi politik transisi kekuasaan dari Umayyah menuju Abbasiyah. Itulah sebabnya digunakan istilah Khalifatullah al-Mahdi.

Kelihatannya Ibn Katsir paham bahwa ada indikasi riwayat ini berbau politik dan sudah terjadi di masa transisi di atas. Itu sebabnya Ibn Katsir mencoba menghidupkan kembali riwayat hadits pertama ini untuk konteks menjelang hari kiamat. Ibn Katsir mengatakan:

“Bendera hitam yang di bawa pasukan ini bukan milik Abu Muslim Khurasan yang menggulingkan Dinasti Umayyah, tapi ini bendera hitam yang akan mendampingi al-Mahdi menjelang hari kiamat kelak.” (an-Nihayah 1/29)

Bantahan Ibn Katsir ini menarik karena beliau kukuh berpegang pada teks hadits dan menutup mata terhadap fakta sejarah. Saya ulangi status sanad hadits ini menurut Ibn Katsir mawquf dalam al-Bidayah wan Nihayah, tapi dalam kitabnya yang lain, an-Nihayah fil Fitan wal Malahim, dikatakan marfu’. Ini saja menunjukkan betapa problematisnya hadits ini.

Akibat pembelaan Ibn Katsir di atas, maka hadits yang sebenarnya sudah terjadi pada masa lampau itu menjadi rebutan berbagai kelompok. Taliban, Al-Qaeda, ISIS sampai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berebut soal bendera hitam yang disebut dalam hadits pertama ini. Kalau asumsi kita di atas yang lebih bisa diterima, maka masalah bendera dan masalah khalifah sebelum munculnya Khalifatullah Mahdi sudah selesai. Wa Allahu a’lam.

Konteks Hadits Kedua

Sekarang kita bahas hadits berikutnya. Asumsi yang saya ambil adalah riwayat ini juga sudah terjadi di masa lampau, dan tidak berkenaan dengan kemunculan Imam Mahdi menjelang kiamat nanti. Lafaz dalam hadits kedua menggunakan kata rajul (seorang lelaki), bukan Mahdi.

Hadits kedua yang sudah saya sebutkan di atas bicara soal wafatnya seorang khalifah, dan kemudian diba’iatnya seorang lelaki yang pergi dari Madinah menuju Mekkah. Semula menolak, namun kemudian dia menerima bai’at. Ini semua sesuai fakta sejarah berkenaan dengan Abdullah bin Zubair RA yang melakukan pemberontakan dan mengklaim sebagai Khalifah di Mekkah. Semula beliau tinggal di Madinah, namun kemudian diam-diam pergi ke Mekkah menghindari desakan Gubernur Madinah al-Walid yang memaksanya berbai’at kepada khalifah kedua Umayyah, yaitu Yazid bin Mu’awiyah.

Khalifah yang diindikasikan wafat dalam hadits kedua juga kuat merujuk kepada Yazid, di mana Yazid wafat saat pasukannya di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah menggempur Abdullah bin Zubair di Mekkah. Lantas Khalifah Marwan mengirim pasukan dari Syam (lagi-lagi fakta pasukan Syam ini sesuai dengan teks hadits kedua). Banyak penduduk Syam yang berbai’at kepada Abdullah bin Zubair, sepeninggal Marwan (sekali lagi fakta ini juga cocok dengan Hadits kedua). Kemudian Khalifah Abdul Malik bin Marwan mengirim Jenderal al-Hajjaj bin Yusuf memerangi Abdullah bin Zubair. Inilah yang dimaksud peperangan dengan suku Kalb.

Abdullah bin Zubair berkuasa selama 9 tahun. Ini juga cocok dengan teks hadits kedua yang mayoritas rawinya menyebutkan 9 tahun kekuasaan ‘lelaki’ itu. Jadi, khalifah yang dimaksud dalam hadits ini adalah Yazid bin Mu’awiyah bukan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Imam Mahdi yang dimaksud di sini bukan Imam Mahdi menjelang hari kiamat tetapi Abdullah bin Zubair.

Fakta sejarah dan suasana perselisihan politik pada masa Abdullah bin Zubair ini memang menimbulkan persoalan serius. Saya pernah jelaskan di sini: Tragedi Abdullah bin Zubair dalam Perebutan Khalifah.

Seperti saya jelaskan juga dalam Perseteruan Khalifah: Abdullah bin Zubair Versus Muawiyah II, wafatnya Yazid membuat Abdullah bin Zubair di Mekkah menerima bai’at dari penduduk Hijaz (Mekkah dan Madinah). Maka, sejarah Islam mencatat ada dua khalifah saat itu. Penduduk Damaskus dan Mesir membai’at Muawiyah II, sedangkan penduduk Hijaz, Yaman, Irak, dan Khurasan membai’at Abdullah bin Zubair. Bagaimana menyelesaikannya?

Beredarlah kemudian riwayat Hadits: “Apabila dua orang khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang paling terakhir dibai’at di antara keduanya.” Meski riwayat ini terdapat dalam kitab Shahih Muslim, sanadnya menurut sebagian ulama bermasalah. Dua rawinya, Jurairy dan Khalid, mendapat sorotan para ahli hadits.

Nama pertama disebut mengalami ikhtilat (kerancuan) dalam periode akhir hidupnya. Nama yang kedua diragukan apakah dia mendengar hadits ini pada kondisi Jurairy itu tsiqah atau ikhtilat.

Ini saja satu contoh bagaimana persoalan politik dicoba diselesaikan lewat beredarnya riwayat yang berbau politis ini. Contoh lain adalah bagaimana beredarnya riwayat hadits dari Abdullah bin Zubair sendiri tentang lawan politiknya, yaitu keluarga Marwan bin Hakam. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa para perawi di atas telah berbohong, namun jelas memahami hadits yang bersinggungan dengan peristiwa politik kita harus berhati-hati menelaahnya dan tidak terburu-buru mengambil kesimpulan.

Saya baru membahas dua hadits tentang keberadaan khilafah sebelum munculnya Imam Mahdi. Tujuan saya bukan untuk menafikan sosok Imam Mahdi, tetapi hendak menunjukkan logika yang dibangun oleh pendukung khilafah modern itu cukup lemah karena bersandar pada teks hadits yang secara sanad bermasalah, dan secara matan juga dapat dipertanyakan.

Hadits yang berkenaan dengan prediksi pertarungan politik pasca wafatnya Nabi Muhammad memang harus kita kaji terus menerus agar kita mendapat gambaran yang lebih komprehensif lewat kajian lintas disiplin, yaitu ilmu hadits, tarikh, dan fiqh siyasah.

Lagipula, perdebatan mengenai Imam Mahdi ini sudah terjadi sejak periode awal sejarah Islam, dan betapa banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai Imam Mahdi sampai saat ini. Sulit kemudian mau berdiskusi membangun argumen dan logika tentang khilafah dalam konteks kemunculan Imam Mahdi yang problematis ini–seperti yang belakangan ini getol dimainkan oleh kelompok almarhum Hizbut Tahrir Insonesia (HTI). Absurd!

Wa Allahu a’lam bish-shawab

Tabik,

Nadirsyah Hosen