Ini kisah seorang lelaki yang pergi bersama keluarganya. Ketika Matahari mulai tenggelam. Di saat udara dingin mulai menyengat.
Sang lelaki berkata pada keluarganya “Tunggulah di sini…aku melihat ada secercah cahaya di kejauhan sana. Mudah-mudahan apinya bisa aku bawa untuk menghangatkan kita.”
[tidakkah kita ingat bahwa kadangkala kitapun berkata pada keluarga kita, “sabarlah adinda…tunggulah sejenak. Aku akan pergi untuk sebuah harapan, dan akan kubawa kembali harapan itu untuk penghidupan kita selanjutnya kelak. Kita harus melakukan “safar” untuk mengejar cita-cita]
Berjalanlah sang lelaki tertatih-tatih bertumpu pada tongkatnya melawan kepekatan malam dan tamparan angin dingin yang menusuk tulang.
[tidakkah kita rasakan betapa perjuangan itu membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan bagi keluarga dan pengorbanan bagi kita semua]
Ketika sang lelaki mendekati titik cahaya, tiba-tiba terdengarlah suara. “Lepaskan sendalmu. Engkau tengah memasuki lembah yang suci!”
[bukankah Sang Pencipta hanya bisa didekati dengan kesucian. Maka tinggalkanlah semua atribut duniawimu. Tinggalkan sendalmu, copotlah semua gelar akademikmu, tanggalkan semua perhiasan dirimu. Di tempat yang suci semua itu tak ada gunanya]
Lelaki itu terkejut. Boleh jadi ia tak menduga bahwa secercah cahaya yang dilihatnya hanyalah sebuah simbol belaka. Dan suara Maha Dahsyat itu terdengar lagi. “Akulah Tuhanmu!”
Musa, nama lelaki itu, kini tengah berada dalam puncak ekstase; sebuah puncak tertinggi kesadaran seorang hamba ketika berhadapan dengan sang Pencipta; sebuah penyatuan antara alam dunia dengan alam malakut; sebuah pertemuan yang hanya bisa ditandingi oleh peristiwa Mi’raj seorang hamba lainnya yang bernama Muhammad ribuan tahun yang akan datang.
Ketika Musa tenggelam dalam lautan cinta ilahi. Sang Suara menghentak kembali kesadarannya, “Musa, apa yang ada ditangan kananmu?”
[para ahli tasawuf terpukau dengan pertanyaan ini. Di tengah kedalaman samudera cinta ilahi, pertanyaan yang diajukan benar-benar sangat konkrit dan men-duniawi. Tertamparlah mereka para pencari cinta ilahi yang ingin hidup diawang-awang]
Musa menjawab, “Oh…ini tongkatku. Aku gunakan untuk menahan tubuhku.”
“Lemparkan tongkat itu Musa?”
Maka Musa melempar tongkat itu, tanpa bertanya mengapa dan untuk apa. Sebuah perintah Ilahi yang diterima apa adanya.
Tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi ular yang bergerak kesana-kemari. Musa pun lari ketakutan. Dia alpa seolah-olah tidak menyadari tengah berada dimana dan tengah berhadapan dengan siapa.
[Bukankah kita sering seperti Musa, yang berlari ketakutan dan menjauh dari-Nya ketika ditimpa ketakutan, bencana dan musibah?]
Suara Maha Dahsyat terdengar kembali, “Berhenti Musa! Tidak patut bagi seorang Rasul pergi berlari ketika tengah berhadapan dengan Tuhan!”
Musa pun terdiam. Entah apa maksud Allah SWT memilih Musa sebagai Rasul. Musa lidahnya cadel dan tidak fasih berbicara; Musa takut dengan ular meskipun tengah berdialog langsung dengan Tuhan [Musa takut dengan mu’jizatnya sendiri!!! Ini adalah sebuah kelemahan yang sekaligus menjadi kekuatan. Seperti Muhammad yang buta huruf namun mendapat perintah, “bacalah!”. Sebuah paradoks yang luar biasa]; dan ketika berhadapan dengan para penyihir Fir’aun, Musa pun ketakutan melihat sihir ular-ular Fir’aun. Ketika Tuhan memerintahkan, “lemparkan tongkatmu Musa!” Musa masih ketakutan, “Jangan takut Musa…lemparkanlah tongkatmu!”
[Untuk kita semua yang sedang diliputi rasa takut dan pernah berlari meninggalkan-Nya, untuk kita semua yang tengah ketakutan akan problem yang tengah kita hadapi, untuk kita semua yang memiliki sejumlah kelemahan dan tengah berusaha membaliknya menjadi sebuah kekuatan, untuk kita semua yang tengah melakukan “safar” baik rohani maupun jasmani, ingatlah kisah Musa ini ketika dia bermunajat, “Duh Gusti, lapangkanlah hatiku, dan mudahkanlah semua urusanku…”]
salam hangat,
=nadir=