You are here:

Pidana Islam: antara Zawajir dan Jawabir

Dewasa ini berkembang pemikiran baru dalam hukum pidana. Banyak pakar hukum yang mengusulkan diubahnya orientasi hukum pidana dari semula yang bersifat retributif (retribution), menuju sebuah orientasi baru yang bersifat preventif (utilitarian prevention, deterrence).

Menurut Herbert L. Packer, pendekatan retribusi menghasilkan salah satu dari dua bentuk berikut: revenge theory. atau expiation/atonement theory. Yang pertama berarti bahwa pidana dianggap sebagai pembalasan mutlak atas perbuatan jahat, sedangkan yang kedua bermakna sebagai pembalasan yang dilakukan dengan cara tertentu sehingga terpidana merasa terbebas dari rasa berdosa dan rasa salah.

Pandangan utilitarian mengkritik konsep klasik ini. Menurut mereka yang mengajukan usul perubahan orientasi hukum pidana berpendapat bahwa pemidanaan sebagai tindakan yang menyebabkan derita bagi si terpidana, hanya dapat dianggap sah apabila terbukti bahwa dijatuhkannya pidana penderitaan itu memang menimbulkan akibat lebih baik daripada tidak dijatuhkan pidana, khususnya dalam rangka menimbulkan efek pencegahan. Packer, sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie (1995: 169-170), membagi teori ini ke dalam dua bentuk. Pertama, Deterrence theory yang efek pencegahan diharapkan timbul sebelum pidana dilakukan (before the fact inhabition), misalnya melalui ancaman, contoh keteladanan dan sebagainya. Kedua, intimidation theory yang memandang bahwa pemidanaan itu merupakan sarana untuk mengintimidasi mental si terpidana. Sebab, menurut teori ini, sekali seorang dijatuhkan hukuman pidana maka secara psikologis ia akan terkondisikan untuk menghindari perbuatan pidana yang bisa membuat ia dikenakan hukuman lagi.

Apakah kedua teori tersebut sudah cukup? Ternyata tidak. Belakangan mucul lagi teori baru yang disebut sebagai Behavioral Prevention. Teori terakhir ini terbagi dua: pertama, incapacitation theory. Artinya, hukuman pidana harus dilihat sebagai cara agar yang bersangkutan tidak lagi berada dalam kapasitas untuk melakukan tindak pidana. Kedua, rehabilitation theory yang berarti pemidanaan dilakukan untuk memudahkan dilakukannya pembinaan, yang bertujuan untuk merahibilitasi si terpidana sehingga ia dapat merubah kepribadiannya menjadi orang baik yang taat pada aturan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: bagaimana teori pemidanaan dalam hukum Islam? Dalam hukum Islam belakangan ini juga diusulkan adanya perubahan orientasi jinayat. Dahulu, pemidanaan dalam Islam dimaksudkan sebagai unsur pembalasan dan penebusan dosa. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya teori jawabir. Namun, seperti telah disebutkan, muncul teori baru yang menyatakan bahwa tujuan jinayat itu adalah untuk menimbulkan rasa ngeri bagi orang lain agar tidak berani melakukan tindak pidana. Teori yang belakangan ini dikenal dengan teori zawajir (Ibrahim Hosen, 1997).

Jadi, bagi penganut teori jawabir, hukuman potong tangan dan qishash itu diterapkan apa adanya sesuai bunyi nash, sedangkan penganut teori zawajir berpendapat bahwa hukuman tersebut bisa saja diganti dengan hukuman lain, semisal hukuman penjara, asalkan efek yang ditimbulkan mampu membuat orang lain jera untuk melakukan tindak pidana. Pada titik ini kita melihat bahwa terjadi kesamaan antara hukum pidana modern dengan hukum pidana dalam Islam. Persoalannya, apakah teori balas dendam dan penebusan dosa itu lebih jelek dibanding teori pencegahan?

Prof. J. Sahetapy pernah menulis bahwa dulu di suatu masa setiap pencopet dikenakan hukuman gantung di tengah kota. Tercatatlah dalam kisah ini ada seorang pencopet yang tertangkap sehingga ia harus digantung di tengah kota. Rakyat diundang untuk meyaksikan eksekusi ini, dengan harapan rakyat menjadi takut untuk melakukan perbuatan nista tersebut. Berduyun-duyunlah datang rakyat dari segala penjuru menyaksikan eksekusi itu, sehingga alun-alun kota menjadi penuh sesak. Rakyat berdesakan menyaksikan eksekusi itu. Pada saat yang sama ditengah-tengah kerumunan rakyat tersebut beraksilah sejumlah tukang copet! Apa pesan dari cerita ini? Ternyata, ditengah eksekusi yang sedemikian keras pun tindak pidana yang sama telah terjadi.

Menurut hemat saya, sebuah hukum ketika diundangkan ataupun ketika disyari’atkan maka ia bersifat kompleks. Tidak mungkin kita mengatakan bahwa satu hukuman itu hanya bersifat pembalasan ataupun penebusan dosa dengan menafikan unsur ancaman sehingga menakuti pihak lain. Sebaliknya, tidak mungkin satu hukum hanya mengandung unsur ancaman semata. Sejarah mencatat ada pihak tertentu yang berdiri pada posisi sedemikian ekstrem sehingga karena semangat ‘non-pembalasan’ yang berlebihan sempat mengusulkan penghapusan sama sekali lembaga pidana. Muncullah yang kitra kenal dengan gerakan modern yang ‘anti-pidana’ (the campaign against punishment).

Kritik lain adalah dilupakannnya unsur korban dalam teori-teori di atas. Teori di atas melulu bicara soal pelaku kejahatan dan bentuk pidana yang patut diberikan. Padahal dalam setiap perbuatan pidana unsur yang paling menderita &endash;dan karenanya amat patut menjadi perhatian&emdash;adalah korban. Dalam perkara pidana, korban biasanya diwakili oleh negara. Sayangnya, negara luput dalam memperhatikan bahwa korban sekarang tidak lagi sendirian. Seorang korban boleh jadi hanyalah merupakan sebuah sub bab dari bab besar yang bertajuk KORBAN. Sebagai contoh, ketika Udin, wartawan Bernas, dianiaya hingga terbunuh, dia telah menjadi seorang korban. Tetapi harus pula diakui ada korban lain akibat pembunuhan itu, bukan saja isterinya yang menjadi stress yang patut kita masukkan dalam daftar ‘korban’, tetapi juga kebebasan pers nasional ikut menjadi korban dengan meninggalnya wartawan tersebut. Sebaiknya hukuman bagi pembunuh Udin mempertimbangkan juga daftar ‘korban’ ini.

Dalam hukum pidana modern, masalah korban sudah menjadi perhatian yang amat serius sehingga melahirkan sebuah disiplin ilmu tersendiri, Victimologi. Pertanyaannya, sudahkah hukum Islam juga memikirkan dengan serius kondisi korban ketika diputuskan hukuman bagi pelaku pidana? Lebih jauh lagi, sudahkah ada perhatian para ulama untuk juga melahirkan semacam disiplin ilmu yang mengupas soal korban ini?

Walhasil, menurut saya, pemilahan hukum pidana ke dalam teori-teori tersebut secara kaku tidaklah memuaskan. Hukum itu sebenarnya sangatlah kompleks dan tak bisa dijawab dengan hanya satu teori. Satu bentuk hukuman pidana haruslah mengandung unsur pelajaran (baik pelajaran itu bersifat ‘ringan’ ataupun ‘keras’) bagi pelakunya, unsur pencegahan (untuk turut melakukan pidana) bagi pihak lain dan unsur perhatian terhadap nasib korban (victim).

RefleksiApakah dengan demikian hukuman dalam pidana Islam harus diterapkan apa adanya? Saya kira kita harus membedakan antara hukum dalam teks dan hukum yang hinggap di meja pengadilan. Boleh jadi, hukuman yang diancamkan dalam kitab hukum terhadap satu perbuatan pidana amatlah keras, namun ketika sudah di bawa ke pengadilan, hakim berkewajiban melihat persoalan dari segala sisi. Disinilah lahir istilah: judge made law. Artinya, hukum dalam kitab hukum memang bersifat obyektif, namun hukum yang hinggap di meja pengadilan, yang sebenarnya juga didasarkan pada hukum dalam kitab hukum, bisa saja bersifat subyektif.

Ibn Qayyim dalam Badai’u al-Fawaid (h, 12-13) menjelaskan bahwa hakim tidak akan dapat mengeluarkan keputusan yang adil kecuali memiliki tiga pengetahuan: pertama, mengetahui dalil masyru’iyyat al-hukm (hukum materiil); kedua, mengetahui dalil wuqu’u al-hukm (ratio legis hukum) sehingga hakim dapat memahami ahwal al-nas, baik itu berupa pengetahuan sosiologi hukum, kriminologi, viktimologi, antropologi hukum dan lainnya. Ketiga, hakim dituntut untuk mengetahui hukum formiil (hukum acara).

Jika kualifikasi hakim yang diinginkan oleh Ibn Qayyim di atas terwujud, maka tidaklah penting apakah hukuman pidana Islam itu menjadi hukuman maksimal ataupun menjadi hukuman apa adanya. Sebab, meskipun hukuman Qishash ataupun hukuman pidana lainnya diancamkan begitu keras dalam al-Qur’an, namun ketika sudah hinggap di pengadilan, seorang hakim tidak bisa begitu saja memutus perkara berdasarkan ketentuan nash. Sekali lagi, hakim harus mempertimbangkan segala segi. Contoh yang paling baik adalah ketika Umar bin Khattab tidak mau memotong tangan pencuri anak unta pada saat paceklik.

Wa Allahu A’lam bishshawab.