You are here:

Vannesa Mae adalah sebuah fenomena yang amat menarik. Gadis remaja ini telah menghentak dunia dengan gesekan biolanya. Album pertamanya laris satu juta copy, dan diduga kesukesan akan juga mendatangi album keduanya, “Storm”.

Apa yang menarik dari “badai” Vannesa Mae ini? Di tangannya, nomor-nomor klasik dari Vivaldi dan Bach menjadi berbeda. Dengan berani dia kawinkan tembang klasik tersebut dengan sentuhan modern. Lagu klasik dan lagu instrumental biasanya cenderung membuat kita mengantuk. Tapi energi dari Vannesa Mae telah merubah citra itu.

Kalau musik Vannesa Mae terasa “aneh” di telinga anda. Mungkin lagu-lagu dari Kitaro bisa mengobatinya. Kitaro yang pernah datang ke Jakarta ini (sayang saya tak punya uang untuk menonton konsernya) pandai menyayat hati perasaan pendengarnya dengan sentuhan tradisional. Kita bisa menangkap nuansa magis dan tradisionalis Jepang pada Kitaro.

Pemusik lain yang saya kagumi adalah Yanni. Pria berambut gondrong dan berkumis melintang ini membawakan lagunya dengan sentuhan modernis. Di dukung oleh kelompok orkestra yang luar biasa, Yanni memainkan lagu instrumentalnya dengan “menaruh jiwanya” di setiap lagu-lagunya.

Bagi saya ketiganya mewakili tiga kelompok di dunia saat ini. Kitaro mewakili mereka yang hendak melestarikan nuansa tradisional. Yanni menawarkan cita rasa modern, sedangkan Vannesa Mae mencoba menggabungkan unsur klasik dan modern sekaligus.

Ada satu kaidah terkenal, “pelihara nilai-nilai lama yang baik, sambil mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”. Saya setuju dengan kaidah ini. Saya pun setuju dan menghargai keragaman warna musik yang dimainkan Mae, Yanni dan Kitaro.

Bukankah kita beruntung bisa mendengar warna musik yang beragam. Sayang, banyak yang memilih satu warna saja. Ada yang hanya memilih musik tradisional, ada yang merasa seleranya hanya bisa dipuaskan oleh nuansa modern. Ada yang senang dengan gabungan keduanya. Ada juga mereka yang sudah merasa senang dengan satu warna musik saja, lantas emoh mendengar warna musik lain.

Untung saja, tidak seperti “warna-warna” kelompok dalam Islam, saya belum mendengar penggemar musik saling “kafir-mengkafirkan” hanya karena berbeda pilihan dan berbeda selera. Bagi orang lain, masalahnya musik dan agama memang berbeda. Saya maklum hal itu. Tetapi, bukankah orang lain punya hak untuk berbeda dengan kita, baik berbeda dalam selera musik maupun berbeda dalam menjalankan apa yang kita yakini. Mari kita hormati hak tersebut.

salam,
Nadirsyah Hosen