Lailatul Qadr pertama kali dijumpai Nabi ketika beliau menerima wahyu untuk pertama kalinya. Hal yang amat menarik adalah Nabi sebelum kedatangan jibril sedang menyendiri, bertafakur dan berkontemplasi. Nabi memikirkan keadaan lingkungan sekitarnya yang mempraktekkan adat jahiliyah. Nabi menyingkir dari suasana yang tak sehat itu sambil merenung dan menghela nafas sejenak dari hiruk pikuk kota Mekkah. Nabi menetap di gua hira’ untuk kemudian berkontemplasi guna mensucikan dirinya. Pada saat itulah turun malaikat Jibril alaihis salam.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah ini? Pertama, di tengah masyarakat yang tak lagi mengindahkan etika, moral dan hati nurani, kita harus menyingkir sejenak untuk memikirkan kondisi masyarakat tersebut.
Kedua, di tengah masyarakat yang giat mengerjakan maksiyat, kita harus menghela nafas sejenak dan mencoba untuk mensucikan diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum mensucikan masyarakat luas.
Ketiga, di tengah “kesendirian” kita, kita berkontemplasi untuk mencari solusi terbaik dari persoalan yang dihadapi.
Ketika Nabi menganjurkan kita untuk melakukan i’tikaf di sepuluh malam terakhir ramadhan, khususnya malam yang ganjil, saya menangkap bahwa sebenarnya kita dianjurkan untuk melakukan napak tilas proses pencerahan dan pensucian diri Nabi saat mendapati Lailatul Qadr.
Seyogyanya, i’tikaf yang kita lakukan tidak hanya berisikan alunan ayat suci Al-Qur’an dan dzikir semata. Akan jauh lebih baik bila saat i’tikaf kita pun memikirkan kondisi masyarakat sekitar kita, persis seperti yang telah dilakukan Nabi ratusan tahun yang lalu di gua Hira’. Insya Allah, ketika saat malam yang mulia itu tiba kita sudah siap menyambut dan menjumpainya.
Namun satu hal yang sangat penting untuk diingat bahwa setiap ibadah maupun gerak hidup kita seharusnya ditujukan untuk mencari keridhaan Allah semata.Silahkan anda mencari Lailatul Qadr, namun jangan menjadi tujuan anda yang hakiki. Tujuan kita beri’tikaf dan beribadah di sepuluh malam terakhir nanti adalah untuk mencari keridhaan Allah.
Kalau yang anda kejar semata-mata hanyalah Lailatul Qadr, jangan-jangan anda tak mendapatkannya sama sekali. Tetapi kalau keridhaan Allah yang kita cari, maka terserah kepada Allah untuk mewujudkan keridhaan-Nya itu pada kita; apakah itu berbentuk Lailatul Qadr atau bentuk yang lain.
Bukankah shalat kita, hidup dan mati kita untuk Allah semata? Dan Sungguh Allah jauh lebih mulia daripada Lailatul Qadr!
Armidale, 17 Januari 1998