You are here:

Apa yang menarik dari Sophie’s World (Dunia Sophie)? Buat sebagian orang, novel filsafat itu menarik karena berhasil menyederhanakan pembahasan filsafat yang rumit ke dalam bahasa yang sederhana. Buat sebagian yang lain, Sophie’s World, yang ditulis oleh Jostein Gaarder dan menjadi best seller di manca negara, menjadi menarik karena pengarangnya berhasil memainkan rasa penasaran pembaca.

Buat saya, yang mendapat buku itu di toko buku bekas di kampus saya, buku itu menarik karena dua alasan. Pertama, saya amat terkesan ketika Albert Knox menulis untuk Sophie, gadis berusia 14 tahun, “Banyak manusia yang hidup di dunia dengan cara yang sama anehnya dengan pesulap yang menarik seekor kelinci keluar dari topi yang kosong. Dalam kasus kelinci itu, kita tahu pesulap telah mengerjai kita. Yang ingin kita ketahui adalah bagaimana dia melakukannya. Berbeda dengan dunia kita. Kita tahu bahwa dunia bukanlah tipuan tangan sebab kita ada didalamnya; kita bagian dari dunia itu.

Sebenarnya, kitalah kelinci putih yang ditarik keluar dari topi. Bedanya, kelinci itu tak sadar bahwa itu bagian dari sebuah tipuan sulap. Tidak seperti kita, kita menyadari bahwa kita adalah bagian sesuatu yang misterius dan kita ingin tahu bagaimana itu semuanya berjalan.” (Jostein Gaarder, Sophie’s World, Phoenix House, London, 1991, hal. 13)

Rasa ingin tahu yang dilukiskan di atas membawa kita untuk menggunakan akal kita. Hanya saja, Gaarder secara cerdik menulis cerita Sophie’s World itu dengan sejumlah daya imajinasi yang sama sekali tak masuk akal. Bagaimana tokoh kartun bisa hidup di depan Sophie, bagaimana dunia bisa berubah ketika ia minum salah satu cairan dan bagaimana Sophie dan gurunya, Albert Knox, bisa lenyap dan ganti memata-matai Hilde dan ayahnya. Tapi justru inilah alasan ketertarikan saya yang kedua.

Dunia Sophie merupakan perpaduan dunia rasional dan dunia irrasional sekaligus. Saya kembali teringat akan Dunia Sophie di bulan Ramadhan ini. Bulan Ramadhan seyogyanya bisa membawa kita menyadari, bahwa di tengah hidup kita yang kompetitif dan selalu berpacu dengan hal-hal rasional, ada sebuah ruang luas yang menyediakan tempat untuk dunia irrasional (baca: dunia mistis).

Bisakah kita merasionalkan mengapa kita harus puasa? Mampukah akal kita menjelaskan bagaimana kita tidak boleh bergaul dengan perempuan, yang sudah sah kita nikahi, saat siang hari Ramadhan namun dibolehkan di waktu malam? Sanggupkah akal menjelaskan bahwa makanan dan minuman yang halal itu tiba-tiba tidak boleh kita nikmati untuk sementara waktu. Adakah penjelasan yang memuaskan rasio kita ketika dalam hadis Qudsi Allah berfirman, “puasa itu untuk-Ku!”

Dunia Sophie mengajarkan kita bahwa hidup ini tidak melulu berdasarkan hitungan rasional. Bulan puasa menjadi momen kita untuk menghela nafas sejenak dan merenungi sikap kita yang selalu mendewakan rasionalitas.

Di atas saya sudah mengutip Dunia Sophie, lalu bagaimana dunia menurut Fariduddin Aththar? Sufi besar yang hidup pada abad ke-12 ini menulis, “Dunia ini ibarat tenda kafilah dengan dua pintu: engkau masuk dari satu pintu dan keluar dari pintu lainnya…Meskipun engkau seorang Iskandar Agung, dunia sementara ini kelak akan memberikan kain kafan bagi segenap keagunganmu…”

Aththar benar! Karena akal yang kita dewa-dewakan pun akan berujung pada sebuah kain kafan.

Armidale, 16 Januari 1998