Tahukah anda kekuatan sebuah cinta? Sadarkah kita bagaimana cinta bisa menjelma menjadi energi yangtiada habisnya? Qais, yang kemudian dikenal sebagai Majnun, membuktikan itu semua.
Qais mencintai Laila sepenuh hati. Ketika orang tua Laila menghalangi cinta mereka, Qais bukannya mundur malah ia berubah menjadi Majnun, pecinta yang tergila-gila pada Laila sehingga hidupnya berubah total.
Hakim Nizhami, sufi agung yang menuliskan kisah ini, melukiskan bagaimana cinta tak mengenal lelah, bagaimana lapar dan dahaga tak dihiraukan oleh Majnun, bagaimana energi cinta yang dihasilkan Majnun mampu menundukkan segenap binatang buas di hutan tempat persembunyiannya.
Loyalitas Laila pun tak bergoyang meskipun ayahnya menikahkannya dengan paksa kepada seorang bangsawan. Sampai akhir hayatnya bangsawan itu tak berhasil menyentuh Laila, yang notabene telah dipersuntingnya.
Ketika datang rasa rindu, bibir Majnun kering melantunkan tembang pujian dan syair kerinduan untuk Laila, ketika pagar rumah orang tua Laila menghalangi komunikasi mereka, Laila menulis surat cinta di potongan kertas kecil lalu ia biarkan angin membawanya sampai ke Majnun.
Ayah Majnun mencoba memberikan alternatif untuk Majnun. Dibuatlah pesta yang dihadiri segenap gadis cantik, namun bukanlah Majnun kalau tak mampu bersikap loyal pada kekasihnya. Majnun menampik semua tawaran itu.
Banyak orang yang percaya, bahwa kisah Laila Majnun itu merupakan simbol belaka. Hakim Nizhami sebenarnya hanya menunjukkan bagaimana sikap seorang pecinta sejati kepada kekasihnya. Ketika Laila dan Majnun telah tiada, konon, seorang sufi bermimpi melihat Majnun hadir dihadapan Tuhan. Tuhan membelai Majnun dengan penuh kasih sayang seraya berkata, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggi-Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum anggur Cinta-Ku?”
Seperti Majnun yang mengeluarkan energi yang tiada habisnya, di bulan Ramadhan ini kita pun belajar untuk menaikkan maqam cinta kita kepada Allah.Energi cinta yang kita pancarkan dibulan puasa seyogyanya mampu menundukkan nafsu buas di sekeliling kita.
Bibir kering dan perut lapar bukanlah alasan untuk menampik sebuah cinta ilahi. Dari tenggorokan yang kering justru keluar Bacaan Yang Mulia dan asma Kekasih Sejati kita, Allah swt. Ketika disekeliling kita banyak yang menyodorkan alternatif kebahagiaan, sebagaimana Majnun menolak tawaran ayahnya, kita pun bersikap setia pada kebahagiaan yang dijanjikan Allah kelak.
Ketika banyak yang mencoba memagari cinta kita dengan “pagar duniawi”, seperti Laila yang mengungkapkan isi hatinya lewat potongan kertas yg dibawa angin, kita ungkapkan cinta sejati kita di bulan Ramadhan ini ke seluruh penjuru angin. Gema kalam ilahi di mana-mana, gema takbir terus mengalun, gema cinta terus dibawa angin menembus dinding perkantoran, pasar swalayan, gedung sekolah, taman perkotaan, rumah makan dan pusat-pusat perbelanjaan. Pagar-pagar itu tak akan mampu menghalangi cinta kita.
Di bulan Ramadhan ini sudahkah kita ukur cinta kita pada Allah swt. Malukah kita bila Majnun menegur kita, “sampai dimana pengorbananmu untuk Kekasih Sejatimu?” Bulan Ramadhan adalah media membuktikan cinta sejati itu, insya Allah!
Armidale, 15 Januari 1997