You are here:

Nabi wafat dan meninggalkan dua pusaka, al-Qur’an al-Karim dan Hadis Nabi. Dipesankan oleh Nabi Muhammad saw, bila kita berpegang teguh pada kedua pusaka itu, niscaya kita akan selamat di dunia dan akherat.

Petunjuk suci itu hadir di tengah kita kini dalam bentuk teks. Petunjuk suci itu lahir lima belas abad yang lampau. Kedua pusaka itu telah melintasi ruang dan waktu. Sudah banyak lahir karya ulama besar yang memberi tafsir terhadap kedua teks suci itu sehingga teks suci itu selalu dapat dijadikan petunjuk untuk menghadapi tantangan zaman.

Ya, tafsir merupakan kata kunci dalam usaha “membumikan” kedua teks suci itu. Semakin cerdas kita membaca teks, semakin cerdas pula teks itu memberikan jawaban. Pada titik ini, yang terjadi adalah dialog terus menerus antara si pembaca teks dengan teks suci tersebut. Karena itu kualitas “bacaan” terhadap teks dipengaruhi oleh kualifikasi pembaca.

Ayat-ayat mengenai jihad yang dibaca oleh pejuang di Palestina dan di Bosnia tentu berbeda nuansanya bila dibaca oleh Muslim yang tinggal di kaki gunung yang penuh kedamaian. Ayat mengenai solidaritas sosial tentu menjadi lebih hidup ketika diberi muatan tafsir oleh aktivis sosial. Begitu pula ayat-ayat tentang alam semesta menjadi sumber inspirasi dan konfirmasi bagi ilmuwan.

Semua umat Islam memiliki hak yang sama untuk mengakses kedua pusaka itu; tidak peduli latar belakang dan spesialisasi keilmuan mereka. Sayang, sebagian orang membatasi hak penafsiran itu pada orang tertentu (yang lazimnya dikenal dengan sebutan ulama). Lebih celaka lagi, sebagian orang menyalahgunakan haknya dalam mengakses teks suci itu. Seorang ahli ekonomi tiba-tiba membahas aspek syari’ah dalam kedua teks suci tersebut. Seorang ahli peternakan tiba-tiba tampil membahas ayat-ayat tentang teologi. Seorang pakar hukum Islam keluar dari jalurnya ketika ia bicara ayat dan hadis tentang tekhnologi. Pendek kata, menyalahgunakan hak jauh lebih berbahaya dibanding tidak menggunakan hak itu.

Tafsir adalah kata kunci dalam menjalankan Islam, khususnya ketika kedua pusaka suci mengirimkan sinyal-sinyal yang samar dan remang-remang. Tafsir diperlukan untuk membuat sinyal itu menjadi jelas. Sayang, banyak yang suka melakukan monopoli penafsiran. Banyak yang emoh dengan pluralitas penafsiran. Bahkan, banyak pula yang anti dengan perbedaan pendapat. Tidak jarang sebuah perbedaan pendapat disikapi dengan kecurigaan, tuduhan, dan hamburan emosi.

Membaca teks suci dan mengamalkannya adalah pesan Nabi yang harus diikuti. Namun banyak yang lupa, bahwa perbedaan pendapat dan keragaman penafsiran terhadap kedua teks suci itu justru lahir karena mengamalkan pesan Nabi itu. Selain tafsir, tampaknya kata kunci dalam memahami kedua pusaka peninggalan Nabi adalah pluralitas.

Masalahnya, sudah siapkah kita menerima pluralitas penafsiran terhadap kedua teks suci itu? Atau kita masih saja merasa bahwa tafsiran kitalah yang paling benar, dan orang lain yang berbeda penafsiran dengan kita dianggap mempraktekkan bid’ah, sesat, ataupun kafir?

Armidale, 27 Mei 1998.