Simplifikasi. Itulah yang sering kita lakukan ketika kita berbicara tentang “barat” dan “timur”. “Barat”, apa boleh buat, seringkali kita lukiskan dengan individualisme, kapitalisme, sekular dan free sex. Sedangkan “timur” kita deskripsikan dengan gotong royong, religius, ramah, dan serba kekeluargaan. Image tersebut sering kita terima tanpa sikap kritis, atau sekurang-kurangnya, mempertanyakan benar tidaknya hal tersebut.
Lebih jauh lagi, kita sering bicara akan “barat” dengan konotasi non-Muslim dan “timur” sebagai Muslim, walaupun kita tahu bahwa “barat” tidak selamanya berarti non-Muslim apalagi anti Islam, sebagaimana “timur” tidak selalu berarti pendukung gerakan Islam.
Celakanya, simplifikasi ini juga digunakan oleh mereka yang sering kita sebut “barat”. “Barat” sering memandang “timur” sebagai sebuah ancaman (sampai-sampai Professor Samuel Huntington pun menjadikannya alasan utk meramal terjadinya the clash of civilisation). “Timur” sering juga dikelirulukiskan sebagai anti modern, tidak berperadaban, etos kerja lemah, tidak rasional dan teroris serta fundamentalis.
Simplifikasi seperti itu sering di hamburkan di media masa, televisi, mimbar Jum’at, dan radio serta internet. Tanpa sadar image tersebut kita wariskan secara turun temerun; antar generasi. Kita bicarakan “barat” dengan penuh sinisme, dan, sebaliknya, kita sebut “timur” dengan romantisme. “Barat” telah menjadi “minkum” (golongan kalian) dan “timur” kita anggap sebagai “minna” (golongan kami). Tiba-tiba kita jadi senang membicarakan dunia kita yang berbeda dengan dunia lain (tentu seraya menepuk dada bahwa dunia lain itu tidak seindah dunia kita).
Hal ini tentu saja bertentangan dengan ayat Qur’an ketika Allah berfirman: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(Qs 2: 115)
Simplifikasi memang terkadang mengasyikkan, namun sering kali menyesatkan kita. Dari simplifikasi biasa lahir generalisasi. Siapa yang kebetulan berbeda dengan kita baik dari cara berpakaian, cara beribadah, cara berdiskusi maupun cara berpikir bukan disebut “minna” tetapi “minkum.” Kita jadi sibuk mengidentifikasi mana golongan kita dan mana golongan di luar kita.
Contoh lain simplifikasi adalah ketika seorang Brother dari jama’ah tabligh menggugat ceramah Professor Howard Brasted di Masjid UNE yang bertajuk “Islam in the Modern World”. Brother asal Maroko itu berkata, “Kami menolak modernisme karena isteri kami tidak boleh mengumbar aurat!” Professor Brasted menjawab sambil tersenyum, “Anda keliru mengartikan modernisme dengan membuka aurat!” Ini sama halnya dengan sebagian remaja putri kita yang memakai pakaian tipis dan ketat serta mini hanya karena ingin mengikuti arus modernisasi.
Lagi-lagi simplifikasi!
Armidale, 31 Mei 1998.