You are here:

Jangan Berhenti Hanya di Anda

Seorang dosen bercerita dia pernah dituduh berbohong dan memalsu artikel di jurnal internasional saat mengurus kenaikan pangkat. Apa pasal? Dia menyodorkan empat artikel, padahal “standar” yang diterapkan institusinya hanyalah dua artikel dalam setahun. Jika anda melampaui standar yang ditetapkan maka anda dianggap bersalah dan dituduh berbohong. Dalam bayangan pembuat kebijakan standar itu tidak ada orang pintar yang menulis lebih dari dua artikel di jurnal internasional dalam setahun.

Pada kesempatan lain, seorang pejabat kampus bercerita bagaimana dana bantuan dari pemerintah berhasil dihemat dan kemudian dibangunkan dua gedung, padahal semula hanya untuk satu gedung. Pejabat ini kemudian dipersoalkan: bukannya dipuji telah mengefisienkan dana sehingga bisa buat dua gedung, bukan satu gedung, namun apa yang dilakukannya dianggap keluar dari standar yang ada. Ini menjadi “temuan” dan pejabat kampus itu mati-matian harus menjelaskan tindakan efisien dan penghematannya itu.

Saya pernah menulis soal kisah Buya Hamka dan Bung Karno. Banyak pembaca yang belum pernah dengar kisah tersebut sebelumnya dan kemudian menuduh saya berbohong. Standar ada di mereka. Kalau mereka belum dengar maka bukan mereka yang bodoh, tapi saya yang dipastikan berbohong. Beberapa waktu lalu saya menulis kisah perang saudara antara Imam Ali dan Siti Aisyah, ada pembaca yang mempertanyakan kebenaran kisah itu. Dasar gugatannya satu: dia belum pernah dengar kisah perang jamal tersebut, karena itu saya dianggap berbohong. Standar kebenaran ada pada dirinya. Tidak mungkin ada orang yang lebih tahu dan lebih paham dari dia. Kalau ada, berarti orang itu berdusta.

Pertanyaannya: yang buat standar semacam itu siapa sih? Standar itu dibuat agar orang bisa memenuhi target. Kalau ada yang melampaui standar maka harus diapresiasi dan dihargai. Ternyata, tidak demikian. Kita menjadikan standar itu sebagai pemisah antara yang haq dan yang batil. Maka yang melampaui standar dianggap salah dan keliru. Salahnya cuma satu: kenapa anda melampaui standar mereka?

Inilah ciri-ciri orang yang menjadikan diri mereka sebagai standar kebenaran. Kebenaran itu didefinisikan hanya seputar diri mereka. Di luar diri mereka, apa yang anda lakukan akan dianggap salah, sesat atau minimal anda dianggap berbohong. Mereka merasa diri mereka sudah hebat, pengetahuan mereka sudah mumpuni, status sosial sudah tinggi, dan karenanya mereka sulit percaya ada orang yang melampaui mereka. Tidak sadarkah mereka, di luar diri mereka, banyak orang lain yang jauh lebih hebat, lebih efisien dalam bekerja, dan lebih produktif berkarya serta lebih banyak membaca ketimbang mereka. Di atas langit masih ada langit.

Begitulah yang dihadapi oleh Muhammad bin Abdullah, lima belas abad yang lampau. Mereka tidak percaya ada orang yang melampaui standar mereka, yang bukan saja orang tersebut mengaku telah bepergian dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, tapi juga kemudian menembus langit ke tujuh, dan kembali lagi sebelum fajar.

Dusta! Sesat! Ngawur! Mengkhayal!

Standar kebenaran berhenti hanya di diri mereka. Itulah sebabnya ayat pertama surat ke-17 al-Isra dimulai dengan menyebutkan “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya”. Itu artinya semua standar kebenaran menjadi luruh dan lumpuh di hadapan Dzat Yang Maha Suci.

Sucikan semua pikiran buruk kita tentang tindakanNya. Sucikan semua prasangka kita tentang kemampuanNya. Sucikan semua standar kebenaran yang telah kita pegang sebelumnya akan kekuasaanNya. Ingat, bagaimana kita bisa berjalan menujuNya, bila standar itu berhenti hanya di diri kita saja. Di luar diri kita sesungguhnya ada Dzat Yang Maha Melampaui semuanya. Dan kalau Dia sudah memanggil kita berjalan menujuNya, kita atau mereka bisa apa sih?

Mari tinggalkan standar diri kita, berhentilah menilai orang lain dengan standar diri kita, karena hanya mereka yang sudah menanggalkan dirinya yang akan diperjalankanNya. Mi’rajkan cinta kami, Ya Rabb.

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School