You are here:

Al-Hikmah min Kung Fun Panda (1): الحكمة من كونغ فو باندا

po_and_shifu_back_from_training

Cuplikan film Kung Fu Panda 1 © DreamWorks Animation

[aswaja_big_letter]Po the Panda tidak disangka-sangka ditahbiskan sebagai the Dragon Warrior oleh Grand Master Oogway. Po tidak punya background kung fu sama sekali. Bagi yang lain penunjukkan ini sebuah kesalahan. Bagi sang Grand Master, penunjukkan ini kehendak langit dan akan ada rahasia tersendiri di kemudian hari.[/aswaja_big_letter]

Untuk melawan Tai Lung sang macan yang begitu hebatnya, setelah melewati berbagai latihan berat, Po dibekali dengan the Dragon Scroll. Semua orang sudah membayangkan akan ada mantra ajaib di dalamnya. Masalahnya begitu gulungan kertas itu dibuka, isinya ternyata kosong, tak ada apa-apa. Bercandakah sang Grand Master meletakkan Scroll yang jadi rebutan dunia per-kungfu-an itu? Apa yang bisa dilakukan Po dengan kertas kosong itu?

Iya. Kosong. Cuma kertas putih.

Bagaimana? Belum paham juga?

Rahasia terbesar dari kemampuan diri adalah mengosongkan segalanya. Kembali ke titik nol. Ulama menyebutnya kembali kepada fitrah bagai kertas putih atau bayi yang baru lahir.  Sejauh mana perjalanan kita tempuh, pada hakikatnya kita tidak pernah beranjak pergi. Yang dicari bukan diluar sana, tetapi ada di dalam diri. Anda tidak akan meraih kebahagiaan dan ketenangan kalau anda mencarinya di luar diri anda –tidak peduli berapa banyak zikir yang anda baca atau berapa kali anda bolak-balik ke tanah suci. Selama anda belum berhasil meleburkan diri anda hingga ke titik nol, anda belum memahami rahasia ini: when you disappear, God will appear. Karena anda kosong, maka anda akan dipenuhiNya.

Grand Master Oogway berkata dengan bijak: “kadangkala orang justru menemukan takdirnya pada jalan yang dia ingin hindari.”  Master Shifu yang menghabiskan semua umurnya di padepokan dan merasa itulah jalan takdirnya masih belum paham juga. Bagaimana orang yang biasa-biasa saja seperti Po kok bisa menjadi Pendekar Naga yang ditunggu-tunggu kehadirannya?

Ini persis dengan ocehan orang kafir Mekkah yang bertanya-tanya: Dan mereka berkata: “Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” (QS al-Furqan ayat 7). Dengan kata lain, kenapa seorang Muhammad yang menjadi rasul terakhir? Dia seorang yatim-piatu, tidak bisa baca-tulis, dan hanya orang biasa yang makan dan berjalan di pasar? Tidak layak. Sungguh tidak layak. Begitu pikiran para pembesar jahiliyah saat itu. Tentu maksud mereka, yang layak itu adalah mereka sendiri.

Takdir sudah memilihkan jalan dengan caraNya yang luar biasa. Grand Master Oogway sesaat sebelum menuju alam baqa berpesan pendek kepada Master Shifu: “anda hanya harus percaya pada ini semua!” Ya, pada titik ini, kita hanya harus percaya.

Jikalau kekosongan itu di-isi dengan keimanan, maka kita akan mampu melakukan sesuatu yang tidak mungkin; membalik kelemahan menjadi sebuah kekuatan; melipatgandakan potensi diri menuju hal-hal yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Masalahnya: bagi orang yang telah mencapai banyak hal dan percaya pada amalan diri, mereka tidak rela kembali lagi ke titik nol –mengosongkan segala yang ada, yang sudah diraih dengan susah payah. Maka tragedi kemanusiaan pun dimulai seperti dilukiskan dalam surat di bawah ini:

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu
sampai kamu kelak masuk ke dalam kubur
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui
dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin.
kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu raih pada hari ini).” (QS. At Takatsur: 1-8).

Tabik,