1. Pijakan Dasar
Hukum Islam adalah hukum yang berasal dari “atas” dan di luar kemanusiaan kita. Dua hal berikut ini membuktikan hal tersebut.
Pertama, ulama usul al-fiqh mendefenisikan hukum dengan : “Khitab (kalam) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan atau pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang bagi yang lain”. Hukum Islam merupakan kalam Allah karenanya ia berarti berasal dari “atas” dan bukan berasal dari proses interaksi di “bawah” (masyarakat). Patut dicatat bahwa tiada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum Islam berasal dari atas, yang menjadi perdebatan hanyalah apakah ia qadim atau hadis.
Kedua, para ulama sepakat bahwa al-Hakim adalah Allah SWT. Perbedaan mereka hanyalah dalam hal bagaimana mengetahui hukum itu, apakah dengan jalan syara’ (wahyu yang disampaikan pada Rasul) atau akal. Dengan mengenyampingkan perbedaan pendapat di atas maka dapatlah dinyatakan bahwa hukum Islam itu berasal dari “atas” dan dari luar kemanusiaan kita.
Persoalannya mengapa hukum Islam yang berasal dari “atas” itu lahir dan dibebankan (taklif) kepada manusia? Para ulama telah membahas maksud atau tujuan pensyariatan hukum Islam; atau dikenal dengan term maqasid as-syari’ah. Hukum Islam itu dibuat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, baik jangka pendek maupun jangka panjang, demi untuk menarik manfaat ataupun menolak bahaya dan kerusakan (Jalb al-masalih wa daf’u ad-darar wa al-fasad).
Tesis ini membawa kita pada pertanyaan: apakah Allah mempunyai tujuan tertentu/motif (mu’allalah) dalam menetapkan hukum atau tidak? Ar- Razi, pengarang kitab al-Mahsul, berpendapat bahwa seperti dalam perbuatan-Nya maka Allah tidak pula memiliki tujuan tertentu dalam menetapkan hukum. Sedangkan kaum Mu’tazilah menjawab bahwa Allah memang memiliki tujuan tertentu itu, yakni kemaslahatan manusia.
Persoalan ini menimbulkan problem teologi. Kaum Asy’ariyah menolak ide bahwa kemaslahatan adalah motif Allah; tetapi mereka menafsirknnya dengan rahmat Allah, ketimbang sebagai sebab/motif bagi tindakan-Nya. sementara kaum Mu’tazilah berpendapat sebaliknya. Keberatan kaum Asy’ariyah menerima pendapat Mu’tazilah dikarenakan dapat membawa Allah dalam “kausalitas” yang berakibat Allah dibebani sesuatu.
Pilihan terhadap perdebatan ini akan menentukan sejauhmana konsep maslahah ini berperan. Bila memilih Asy’ariyah maka timbul kesan bahwa hukum Islam itu dibuat bukan karena (kemaslahatan) manusia tapi karena (rahmat) Allah semata. Jadi titik sentral ada pada Allah dan bukan pada manusia. Ini berimplikasi runtuhnya argumen para ahli hukum Islam yang ingin merubah ketentuan dalam nash atas dasar maslahah. Karena hukum Islam itu rahmat dari Allah, bagaimana mungkin kita merubahnya?
Akan tetapi benarkah implikasi dari memilih pendapat Asy’ariyah (yang diwakili ar-Razi) sampai sejauh itu? Ar-Razi meskipun menekankan bahwa tidak ada motif atau sebab yang dapat dihubugkan dengan perbuatan atau perintah Allah, tetapi ia mengakui bahwa perintah Tuhan ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Ia memecahkan paradoks ini dengan menganggap bahwa maslahat merupakan kejadian yang secara kebetulan sama dengan perbuatan Tuhan. Jadi, hanya secara kebetulan saja, tidak dalam kerangka sebab akibat. Dan tidak ada korelasi yang dibutuhkan antara maslahah dengan perintah, karena Tuhan tidak diharuskan melalui cara ini. Walhasil, mengatakan bahwa maslahat itu bukan motif Tuhan tetapi sebagai rahmat Tuhan, tidaklah berarti Asy’ariyah mengenyampingkan maslahah.
Imam Syatibi tampaknya sejalan dengan Mu’tazilah dan meletakkan maslahah dalam kedudukan yang penting. Doktrin maqasid as-syari’ah yang dikembangkannya merupakan suatu usaha menegakkan maslahah sebagai unsur esensial bagi tujuan hukum. Ia menyimpulkan bahwa Allah menetapkan tujuan pensyari’atan hukum Islam itu adalah menegakkan kemaslahatan (iqamah al-masalih) dunia dan akhirat.
Dalam perbincangan konsep maslahah seringkali dibahas tentang ad-daruriyat, al-hajjiyah dan at-tahsiniyat. Akan sedikit disinggung tentang ad-daruriyat –karena ini yang terutama dan sangat relevan dengan tema utama tulisan ini. Ad-daruriyat berisikan menjaga/memelihara agama, jiwa/diri, aqal, keturunan dan harta. Urutan ini sebenarnya diperselisihkan para ulama. Malikiyah dan Syafi’iyah mengurutnya : agama, kemudian jiwa dan aqal, lalu keturunan dan harta. Hanafiyah mengurutnya : agama, kemudian jiwa, lalu nasab, kemudian aqal, terakhir harta.
Ada pula yang berpendapat (Wahbah az-Zuhaili tidak menyebutkan siapa yang berpendapat seperti ini) keempatnya didahulukan atas agama, karena itu merupakan haq al-‘adami. Bila kita terima yang terakhir ini, maka implikasinya akan sangat menarik. Qisas didahulukan dari membunuh orang murtad dan dibolehkan meninggalkan sholat Jum’at atau berjama’ah karena menjaga harta. Artinya, bila terjadi bentrokan antara menjaga harta, jiwa, akal, keturunan dengan menjaga agama maka menjaga agama dinomorduakan. Begitu pula bila terjadi bentrokan antara haq Allah dengan haq al-‘adami maka haq Allah tidak diprioritaskan.
Dengan mengenyampingkan perbedaan pendapat di atas kita semua sepakat bahwa hukum Islam itu bertujuan untuk kemaslahatan manusia.
2. Menuju Fiqh Humanis
Apa yang telah ditulis di atas merupakan sebuah pengantar atau pijakan awal guna kita merubah orientasi fiqh selama ini yang sangat berpusat pada Tuhan dan mengalihkannya pada manusia. Persoalan fiqh seolah-olah selalu ditujukan pada al-Hakim. Artinya, ketika kita melakukan atau mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya seolah-olah kita melakukannya untuk kepentingan atau kemaslahatan Tuhan. Padahal Allah SWT tidak rugi atau diuntungkan dengan apapun perbuatan kita. Implikasinya, segala perbuatan yang kita lakukan adalah untuk kemaslahatan kita. Sehingga bila satu ketentuan tidak sesuai dengan kemaslahatan kita maka ketentuan tersebut harus dinomorduakan.
Inilah yang saya maksud dengan fiqh humanis. Fiqh yang berorientasi pada kemanusiaan kita. Fiqh yang memihak pada sisi-sisi kemanusiaan kita. Setiap hukum yang ditetapkan Allah haruslah dipahami dalam kerangka kemanusiaan kita. Dengan cara ini kita dapat membumikan fiqh. Perubahan orientasi ini akan melahirkan hukum yang subyektif, individual, situasional dan kondisional dengan semangat menuju kehendak ilahi.
Setiap ketentuan yang telah digariskan Tuhan dipahami bukan sebagai beban kepada manusia tapi sebagai kebutuhan manusia. Ketentuan dalam nash haruslah dipahami sebagai standar yang harus selalu dirujuk dalam rangka proses menuju ilahi; bukan sebagai standar yang harus dan apa adanya diterapkan tanpa peduli dengan kondisi kita. Penghargaan diberikan bukan karena melakukan teks nash semata, tetapi pada proses melaksanakan ketentuan tersebut.
Dengan fiqh humanis kita dapat menghindarkan klaim-klaim yang tak perlu dalam cara keberagamaan kita. Klaim alim, sesat, ingkar, paling benar dan lainnya dapat diminimalisir. Seorang yang tinggal di masjid selalu shalat lima waktu tepat pada waktunya. Ia begitu alim di mata kita. Tapi bagi fiqh humanis, seorang manajer yang bekerja dilingkungan yang non-islami dan benar-benar dikejar waktu dalam kerjanya (time is money) selalu berusaha untuk shalat lima waktu, tetapi ia hanya berhasil paling tidak dua waktu, subuh dan Isya, dipandang lebih alim daripada contoh sebelumnya.
Orang yang tinggal di Masjid tidak membutuhkan banyak pengorbanan untuk selalu shalat lima waktu; sedangkan seorang manajer, yang sudah berusaha tetapi hanya sempat dua waktu kadang-kadang tiga, pernah juga lima waktu, membutuhkan pengorbanan yang luar biasa untuk mengerjakan perintah Tuhan. Fiqh humanis berpihak pada sang manajer. Ketentuan dalam nash dilihat sebagai proses bukan hukum itu sendiri. Begitu pula tukang becak yang sudah berniat puasa di bulan Ramadan lalu ketika mencari nafkah ia kecapaian dan berbuka pada jam 14.00 maka itu sangat bernilai dan tidak perlu diqada’ apalagi bayar fidyah (seperti ketentuan fiqh). Karena baginya tiada hari tanpa mengayuh becak dan tidak mungkin ia cuti untuk mengqada` apalagi harus membayar fidyah (ia nggak punya duit dong…). Pengorbanan tukang becak untuk melaksanakan ketentuan Allah jauh lebih besar di banding, misalnya, mahasiswa IAIN yang dibulan Ramadan setelah kuliah, kemudian tidur lalu berbuka puasa. Jangan-jangan yang terakhir ini yang harus mengqada` puasanya…
Begitu pula seorang pelacur yang menjual dirinya demi menghidupi anaknya. Setelah ditinggal suami dan ia pun tak punya keterampilan, sementara ia harus memberi makan dan pendidikan buat anaknya, maka melacurkan diri adalah pilihan yang sangat terpaksa. Fiqh humanis tidak semata-mata menyalahkan pelacur tersebut. Bisa saja sanksi dan dosanya ditimpakan pada suami yang pergi entah kemana dan bisa pula dilimpahkan pada kita semua, sebagai dosa komunal, yang bertanggung jawab atas ketimpangan sosial yang terjadi.
Fiqh humanis juga membenarkan euthanasia pada penderita AIDS dan penyait menular lain yang tak mungkin disembuhkan. Fiqh humanis juga membenarkan tidak dilakukannya potong tangan bagi pencuri dengan alasan tertentu dan menggantinya dengan hukuman penjara. Fiqh humanis melihat kasus-kasus dan bukan mengenaralisir. Pada akhirnya, hukum Islam sangat subyektif, tergantung pada individunya, situasional dan kondisional serta melakukan pilihan yang tidak merusak kemanusiaan kita.
Apa yang dikemukakan di atas tidaklah ada yang baru sama sekali. Para ulama telah membuat kaidah, “apabila dua mafsadat bertentangan, maka harus dijaga mafsadat yang lebih besar bahayanya dengan melakukan mafsadat yang lebih ringan bahayanya”. Nabi pun bersabda : “Permudahlah dan jangan mempersulit; gembirakanlah dan janganlah membuat mereka lari.” Juga hadis lain, “Agama ini mudah dan tidaklah seseorang akan memberatkannya kecuali pasti ia dikalahkan”. Allah pun berfirman : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
Tentu saja contoh-contoh di atas akan tidak disetujui banyak pihak. Tapi saya kira kita jangan terjebak pada contoh tapi bagaimana dasar-dasar fiqh humanis, seperti telah diuraikan dibagian awal, dapat kita sepakati bersama terlebih dahulu. Mungkin contoh yang diberikan terlalu ekstrim ataupun penjelasan saya terlalu sederhana dan singkat, karenanya contoh di atas bisa saja dibuang asalkan kita menyoroti secara serius apa yang merupakan inti usulan saya: mencoba menjadikan manusia sebagai titik sentral dalam fiqh; bukan Allah.
Demikian tulisan yang singkat namun terlalu berambisi bicara hal yang besar. Semoga dapat menjadi kajian bersama.
Al-Haq min Allah
Rujukan
- Abu Ishaq as-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul as-Syari`ah, Mesir, al-Matba`ah ar- Rahmaniyah, t.th.
- Wahbah Az-Zuhaili, al-Wasit fi Usul al-Fiqh al-Islami, t.t, Dar al-Kitab, 1977
- Muhammad Khalid Mas`ud, Islamic Legal Philosophy, Pakistan, Islamic Research Institute, 1977.
- Abu an-Nur Zuhair, Muzakarah fi Usul al-Fiqh, al-Qahirah, Dar- at-Tiba`ah al- Muhammadiyah, t.th.