[aswaja_big_letter]Raden Ajeng Kartini bertanya akan makna sebuah ayat al-Qur’an pada guru ngajinya. Gurunya marah. Kartini tidak puas. Hasratnya untuk belajar begitu menggebu, tapi apa daya ia tak pandai bahasa Arab, sementara pada masa itu penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa non-Arab masih dipersoalkan oleh sejumlah ulama.[/aswaja_big_letter]
Beruntung pada suatu waktu Kartini menyimak pengajian KH Sholeh Darat. Maka Kartini pun terpukau. Ia memohon ijin menemui Sang Kiai. Di depan beliau, Kartini mengatakan:
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
Kiai Sholeh Darat bukan sembarang Kiai. Beliau adalah guru dari KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. Sanad keilmuan pendiri Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama bertemu salah satunya pada samudera keilmuan dan kearifan Kiai Sholeh Darat.
Saya sekali sowan ke makam KH Sholeh Darat. Itulah “pertemuan” pertama saya dengan Romo Kiai, guru RA Kartini. Tiba-tiba minggu lalu saya menerima titipan sebuah buku dari seorang kawan, Ustadz Jailani, di Kalimantan Selatan. Sebelumnya beliau yang alumni Yaman ini meminta saya menerimanya sebagai murid karena telah “bertemu” lewat mimpi dengan saya. Saya jadi sungkan karena rasanya saya yang harus berguru kepadanya. Untuk daftar jadi santri saya beliau katanya mau mengirim buku. Melalui estafet titipan maka buku kiriman Ustadz Jailani sampai juga di tangan saya di Melbourne.
Ternyata buku yang dihadiahkan untuk saya itu merupakan karya Kiai Sholeh Darat yang men-syarh kitab al-Hikam. Aslinya kitab ini ditulis dalam bahasa Arab pegon. Saya bersyukur pernah sowan ke makam Ibn Athailah, pengarang al-Hikam, di Mesir –itulah “pertemuan” yang sangat membekas. Maka melalui kiriman buku ini tiba-tiba terhubunglah berbagai “pertemuan” sebelumnya antara Kiai Sholeh Darat, Ibn Athailah, saya dan Ustadz Jailani.
Nah, yang belum terwujud adalah “pertemuan” dengan Raden Ajeng Kartini. Yah siapa tahu besok-besok bisa sowan ke makamnya atau sekedar “bertemu” lewat mimpi. Selamat Hari Kartini. Semoga kita semua mengalami ‘habis gelap terbitlah terang’; minadzulumati ilannur….dari kegelapan menuju cahaya ilahi.
Untuk Kiai Sholeh Darat, Ibn Athaillah dan RA Kartini….al-fatihah…
Tabik,
Nadirsyah Hosen