Ini kisah seorang ulama besar bernama Ahmad Ibn Nashr al-Khuza’i yang mengalami nasib tragis di tangan Khalifah al-Watsiq, sebagaimana dikisahkan oleh Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah (juz 10, hal 334-336)
Pangkal persoalannya adalah Khalifah al-Watsiq meneruskan mihnah (ujian keimanan) yg dilakukan dua khalifah sebelumnya (al-Ma’mun dan al-Mu’tashim). Mereka yang berbeda paham dengan Khalifah akan mengalami nasib mengerikan.
Khalifah al-Watsiq adalah khalifah kesembilan Abbasiyah. Dia sendiri yang menginterogasi Khuza’i. Tanya jawab diantara mereka tercatat oleh Ibn Katsir.
Bayangkan seorang Khalifah yang tidak punya kapasitas ilmu keagamaan berani menginterogasi ulama sekaliber Khuza’i. Padahal al-Watsiq sendiri pecinta budak pria, sebagaimana pernah disampaikan Imam Suyuthi.
Ketika al-Watsiq tidak mendapat jawaban yang diharapkan dari Khuza’i mengenai al-Qur’an dan apakah kita akan melihat Allah di akherat kelak, dia menjadi murka.
Ucapan ulama Mu’tazilah, Abdurrahman ibn Ishaq (hakim di propinsi barat), bahwa darah Khuza’i telah halal rupanya memicu al-Waysiq untuk menarik pedang terkenal berjuluk Samsamah dengan tangannya sendiri.
Bahkan Abu Abdillah al-Armini menyahut, “Berikan aku darahnya Khuza’i agar aku bisa meminumnya, wahai Amirul Mu’minin.” Benar-benar brutal kondisi saat itu.
Khuza’i yang sudah bisa menebak nasibnya hadir dengan memakai hanut (wewangian campuran cendana dan kapur barus yang biasa digunakan untuk jenazah). Digelarlah karpet dari kulit—mungkin agar lantai istana tidak kotor oleh tumpahan darah Khuza’i.
Yang jelas Khuza’i dipaksa berlutut di atas karpet dan al-Watsiq berjalan menghitung langkah menujunya dan seetttt suara kilatan pedang telah memisahkan kepala Khuza’i dari tubuhnya. Inna lilahi wa inna ilaihi raji’un.
Puaskah al-Watsiq selaku Khalifah membunuh ulama dengan tangannya sendiri? Ternyata belum. Imam Suyuthi melaporkan dalam kitabnya Tarikh Al-Khulafa bagaimana kepala Khuza’i dikirim ke Baghdad sementara tubuhnya diperintahkan untuk digantung di gerbang kota Samarra.
Lantas, menurut keterangan Ibn Katsir, al-Watsiq tinggalkan tulisan yang berbunyi:
هَذَا رَأْسُ الكافر المشرك الضال أحمد بن نصر الخزاعي، مِمَّنْ قُتِلَ عَلَى يَدَيْ عَبْدِ اللَّهِ هَارُونَ الْإِمَامِ الْوَاثِقِ بِاللَّهِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ بَعْدَ أَنْ أَقَامَ عَلَيْهِ الْحُجَّةَ فِي خَلْقِ الْقُرْآنِ، وَنَفْيِ التَّشْبِيهِ وَعَرَضَ عَلَيْهِ التَّوْبَةَ وَمَكَّنَهُ مِنَ الرُّجُوعِ إِلَى الْحَقِّ فَأَبَى إِلَّا الْمُعَانَدَةَ وَالتَّصْرِيحَ، فَالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَجَّلَهُ إِلَى نَارِهِ وَأَلِيمِ عِقَابِهِ بِالْكُفْرِ، فَاسْتَحَلَّ بِذَلِكَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ دَمَهُ وَلَعَنَهُ.
“Inilah kepala orang kafir yang musyrik dan lagi sesat Ahmad ibn Nashr al-Khuza’i yang dibunuh oleh tangannya Abdullah Harun al-Imam al-Watsiq billah Amirul Mukminin setelah dia menegakkan hujjah atas kemakhlukan al-Quran dan menolak penyerupaan (tasybih) Allah. Khuza’i menolak bertaubat dan kembali pada kebenaran. Maka segala puji bagi Allah yang memasukkannya ke neraka dan siksa yang pedih atas kekufurannya, dimana Amirul Mukminin telah menghalalkan darahnya dan melaknatnya.”
Kemudian sekitar 29 orang pengikut dan keluarga Ahmad ibn Nashr al-Khuza’i juga diburu dan dimasukkan ke penjara oleh al-Watsiq, tidak boleh dikunjungi siapapun, dirantai dengan besi dan tidak diberi makanan.
Ibn Katsir menuturkan bahwa Khuza’i ini seorang pemuka mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dimana ayahnya juga terkenal di kalangan ahli Hadits, dan kakeknya juga seorang terhormat yang merupakan pendukung Dinasti Abbasiyah.
Konon bibirnya sempat berucap la ilaha illa Allah sesaat sebelum kepalanya ditebas. Dan dikabarkan juga oleh Ibn Katsir bahwa saat tubuhnya digantung terpisah, kepala Khuza’i masih berucap:
Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji lagi? (QS al-Ankabut: 1-2).
Kelak di masa Khalifah al-Mutawakkil barulah tubuh Ahmad ibn Nashr
al-Khuza’i yang telah terpisah dari kepalanya dan digantung selama 6
tahun di gerbang kota oleh Khalifah al-Watsiq, untuk diturunkan,
dishalatkan dan kemudian dikuburkan.
Tidakkah hati kita semua bergetar membaca episode berdarah ini?
Lahul Fatihah….
Tabik,
Nadirsyah Hosen