Imam Suyuthi dalam kitab Tafsirnya Al-Durr Al-Mantsur Fi Tafsir Bil-Ma’tsur menyebutkan dua kisah turunnya surat al-Hujurat:13
أخرج ابْن الْمُنْذر وَابْن أبي حَاتِم وَالْبَيْهَقِيّ فِي الدَّلَائِل عَن ابْن أبي مليكَة قَالَ: لما كَانَ يَوْم الْفَتْح رقي بِلَال فَأذن على الْكَعْبَة فَقَالَ بعض النَّاس: هَذَا العَبْد الْأسود يُؤذن على ظهر الْكَعْبَة وَقَالَ بَعضهم: إِن يسْخط الله هَذَا يُغَيِّرهُ فَنزلت {يَا أَيهَا النَّاس إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ من ذكر وَأُنْثَى} الْآيَة
وَأخرج ابْن الْمُنْذر عَن ابْن جريج وَابْن مرْدَوَيْه وَالْبَيْهَقِيّ فِي سنَنه عَن الزُّهْرِيّ قَالَ: أَمر رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم بني بياضة أَن يزوّجوا أَبَا هِنْد امْرَأَة مِنْهُم فَقَالُوا: يَا رَسُول الله أتزوّج بناتنا موالينا فَأنْزل الله {يَا أَيهَا النَّاس إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ من ذكر وَأُنْثَى}
Kisah pertama: pada saat Rasulullah memasuki kota Mekkah dalam peristiwa Fathu Makkah, Bilal bin Rabah naik ke atas Ka’bah dan menyerukan azan. Maka sebagian penduduk Mekkah [yang tidak tahu bahwa di Madinah Bilal bin Rabah biasa menunaikan tugas menyerukan azan] terkaget-kaget. Ada yang berkata: “Budak hitam inikah yang azan di atas Ka‘bah?” [dalam riwayat lain di kitab Tafsir al-Baghawi al-Harits bin Hisyam mengejek dengan mengatakan: “Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk berazan?”] Yang lain berkata, “Jika Allah membencinya, tentu akan menggantinya.” Lalu turunlah ayat 13 surat al-Hujurat.
Kisah kedua: Abu Hind adalah bekas budak yang kemudian bekerja sebagai tukang bekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah untuk menikahkan salah satu putri mereka dengan Abu Hind. Tapi mereka menolak dengan alasan: “Ya Rasul, bagaimana kami hendak menikahkan putri kami dengan bekas budak kami?” Lalu turunlah ayat 13 surat al-Hujurat.
Inilah ayat yang tengah kita bahas:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal
Pesan langit ini begitu universal; ia menghapus “kasta” dalam masyarakat Arab; menegaskan kembali bahwa sebagai hamba Allah bukan nasab, harta, bentuk rupa atau status pekerjaan yang menentukan keutamaan hamba Allah, tetapi ketakwaan. Dan ketakwaan itu tidak bisa dibeli atau diraih dengan mengandalkan keutamaan nasab, suku atau marga, tapi dengan amal shalih. Sayang belakangan ini malah banyak yang hendak mengembalikan “kasta” masyarakat Arab yang sudah dihapus Nabi ini.
أخرج مسلم وابن ماجه عن أبي هريرة رضي اللَّه عنه قال: قال رسول اللَّه صلّى اللَّه عليه وسلّم: «إن اللَّه لا ينظر إلى صوركم وأموالكم، ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم»
Imam Muslim dan Ibn Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Allah tidak memandang kepada penampilan dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian”
Anda punya nasab yang bagus, alhamdulillah. Anda kemana-mana memakai surban, alhamdulillah. Tapi kalau amal anda jelek dan akhlak anda buruk, maka ingatlah dengan ayat di atas: bekas budak hitam legam seperti Bilal bin Rabah pun bisa jadi jauh lebih mulia. Semoga putihnya surban dan gamis kita itu juga seputih hati dan perbuatan kita. Amin Ya Allah
Potongan ayat di atas juga sangat ‘modern’ sekali: diciptakanNya kita berbeda suku bangsa untuk “saling mengenal”. Apa maksudnya? Keragaman itu merupakan sarana untuk kemajuan peradaban. Kalau anda hanya lahir di suku anda saja, tidak pernah mengenal budaya orang lain, tidak pernah bergaul dengan berbagai macam anak bangsa, dan hanya tahunya orang di sekitar anda saja, maka sikap dan tindak-tanduk anda seperti katak di dalam tempurung.
Kita tidak bisa memilih lahir dari rahim ibu yang beragama apa, atau keturunan siapa atau tinggal dimana. Keragaman tidak dimaksudkan untuk saling meneror, memaksa atau membunuh. Al-Qur’an mengenalkan konsep yang luar biasa: keragaman itu untuk kita saling mengenal satu sama lain. Dengan saling mengenal perbedaan kita bisa belajar membangun peradaban. Dengan saling tahu perbedaan di antara kita maka kita akan lebih toleran; kita mendapat kesempatan belajar satu sama lain. Kesalahpahaman sering terjadi karena kita belum saling mengenal keragaman di antara kita.
Saya bilang di atas ayat ini sangat ‘modern’ karena misalnya di Australia saja ada penelitian yang menyebutkan bahwa mereka yang anti terhadap Muslim ternyata mereka tidak pernah bergaul akrab dengan orang Islam. Artinya, mereka yang mengenal orang Islam di lingkungannya tinggal, di sekolah atau di tempat kerja akan cenderung lebih toleran terhadap perbedaan. Nah, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita “saling mengenal” seperti pesan al-Qur’an terhadap pihak lain yang berbeda dengan kita? Bisakah kita menghargai dan belajar dari mereka yang selama ini kita benci?
Dalam bentuknya yang ‘modern’ ayat di atas bisa dilihat dalam konteks teori psikologi dan sosiologi. Al-Qur’an menggunakan bentuk tafa’ala dalam redaksi lita’arafuu yang bermakna saling mengenal. Fungsinya Lil Musyaarakati baina itsnaini fa aktsara.
Tidak cukup interaksi anda itu hanya untuk mengenal yang lain, mereka pun harus juga mengenal anda. Interaksi kedua belah pihak akan melahirkan tidak hanya simpati tapi juga empati. Kalau anda meminta orang lain memahami anda, maka pihak lain pun meminta hal yang sama. Langkah awalnya persis seperti pesan al-Qur’an: saling mengenal.
Tak kenal maka tak sayang. Di medsos pun seperti itu, banyak yang komentar sembarangan dan seenaknya karena merasa yang dihadapinya hanya layar hp atau komputer yang benda mati dan tidak berperasaan. Bagaimana hendak saling mengenal, kalau sengaja memakai akun anonim? Mereka lupa, medsos ini sesuai namanya –media sosial– adalah juga salah satu sarana kita untuk “saling mengenal” bukan “saling mencaci-maki”. Yuk mari kita saling mengenal
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School