Seringkali satu kata dalam al-Qur’an mengandung lebih dari satu arti. Akibat perbedaan tafsir satu kata, maka makna satu ayat atau bahkan satu surah dalam al-Qur’an bisa berbeda tafsirannya antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya. Ingat, ayatnya sama, tidak berubah. Tafsinya yang berbeda.
Tulisan-tulisan saya selalu mengajak kita semua untuk menyelami samudera tafsir al-Qur’an dengan mengapresiasi perbedaan pendapat yang ada. Saya tampilkan rujukan yang otoritatif yang diakui dunia Islam, langsung dengan teks dari kitab tafsir, agar bisa sama-sama kita pelajari.
Kali ini saya bahas mengenai ayat pertama dalam surat al-‘Adiyat:
وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا
Terjemahan versi Kemenag: “Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah”
Terjemahan tersebut tidak keliru. Namun itu hanya mengungkap satu versi penafsiran. Apa tafsiran lainnya? Simak terus tulisan ini. Siapkan kopi dan cemilan 😀🙏
Pertama kita ungkap dari kitab Tafsir at-Thabari. Di medsos, ada yang membantah saya dengan mengatakan Imam Thabari ini Syi’ah. Tuduhan ini jelas keliru. Ibn Jarir bin Yazid Thabari yg ahli tafsir & tarikh itu wafat 923M. Beliau Sunni. Ini yg dijadikan rujukan secara luas. Ada nama lain: Ibn Jarir bin Rustum Thabari yang dibilang Syi’ah itu wafat th 940M, dan bikan Thabari ini yang kita jadikan rujukan.
Ibn Hajar al-Asqalani (wafat 1449) mengatakan bahwa kitab Tafsir at-Thabari merupakan yang terbaik dalam jenis tafsir dengan pendekatan riwayah. Ini disebabkan dalam kitab tafsirnya imam at-Thabari mendahulukan mengutip riwayat dari generasi awal. Kitab tafsir setelahnya seperti Ibn Katsir dan Suyuthi seringkali mengutip Tafsir at-Thabari. Jadi, jelas yah Tafsir Thabari ini bukan Syi’ah, Liberal, sesat ataupun orientalis 😀
Dalam ayat pertama surat al-‘Adiyat, beliau menjelaskan perbedaan penafsiran. Pertama, kata al-‘Adiyat dipahami sebagai kuda (al-khayl) yang ada dalam peperangan (huwa fil qital). Pendapat ini berasal dari Ibn Abbas, seperti saya kutip di bawah ini:
ذكر من قال ذلك حدثني محمد بن سعد، قال: ثني أبي، قال: ثني عمي، قال: ثني أبي، عن أبيه، عن ابن عباس، في قوله {والعاديات ضبحا} [العاديات: ١] قال: الخيل
حدثني محمد بن عمرو، قال: ثنا أبو عاصم، قال: ثنا عيسى، وحدثني الحارث، قال: ثنا الحسن، قال: ثنا ورقاء، جميعا عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد، [ص: ٥٧١] في قول الله: {والعاديات ضبحا} [العاديات: ١] قال ابن عباس: «هو في القتال»
Pendapat ini juga diamini oleh kitab tafsir lainnya seperti Tafsir Jalalain:
{ وَٱلْعَٰدِيَٰتِ } الخيل تعدو في الغزو وتضبح
Alasan Ibn Abbas direkam juga oleh Tafsir at-Thabari:
حدثني إبراهيم بن سعيد الجوهري، قال: ثنا سفيان، عن ابن جريج، عن عطاء، قال: «ليس شيء من الدواب يضبح غير الكلب والفرس»
Karena kata selanjutnya adalah “dhabha” maka yang mengeluarkan suara dengusan nafas itu kalau gak kuda atau anjing. Ini artinya kata al-‘adiyat dipahami secara tekstual dengan penggalan kata berikutnya: wal ‘adiyati dhabha. Karena tidak mungkin maknanya anjing, maka ini dipahami oleh Ibn Abbas sebagai kuda yang mendengus saat dipacu dalam peperangan. Tafsir al-Qurthubi juga mengutip pernyataan Ibn Abbas ini. Pendapat Ibn ‘Abbas ini juga diperkuat oleh Ikrimah yang mengatakan: “apakah kamu tidak melihat bagaimana kuda mendengus ketika berlari?”
Pendapat kedua mengatakan bahwa al-‘adiyat ini adakah unta (al-ibil). Yang berpendapat begini adalah Ali bin Abi Thalib.
Ibn Abbas adalah pemuda yang terkenal pintar karena didoakan langsung oleh Nabi Muhammad Saw: Allahumma faqihhu fid din wa ‘alimhut ta’wil. Bahkan Umar bin Khattab sering menanyakan tafsir ayat kepada Ibn Abbas. Sementara itu Ali bin Abi Thalib juga terkenal cerdas. Dalam satu riwayat dikatakan Nabi Muhammad Saw bersabda: “aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.”
Kedua sahabat Nabi yang luar biasa ini ternyata bisa berbeda pandangan dalam mengurai makna ayat ini. Tafsir at-Thabari kemudian menampilkan kisah menarik di bawah ini:
حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: أخبرنا أبو صخر، عن أبي معاوية البجلي، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس، حدثه قال: ” بينما أنا في الحجر جالس، أتاني رجل يسأل عن {العاديات ضبحا} [العاديات: ١] فقلت له: الخيل حين تغير في سبيل الله، ثم تأوي إلى الليل، فيصنعون طعامهم، ويورون نارهم. فانفتل عني، فذهب إلى علي بن أبي طالب رضى الله عنه وهو تحت سقاية زمزم، فسأله عن {العاديات ضبحا} [العاديات: ١] فقال: سألت عنها أحدا قبلي؟ قال: نعم، سألت عنها ابن عباس، فقال: الخيل حين تغير في سبيل الله، قال: اذهب فادعه لي؛ فلما وقفت على رأسه قال: تفتي الناس بما لا علم لك به، والله لكانت أول غزوة في [ص: ٥٧٤] الإسلام لبدر، وما كان معنا إلا فرسان: فرس للزبير، وفرس للمقداد فكيف تكون العاديات ضبحا. إنما العاديات ضبحا من عرفة إلى مزدلفة إلى منى؛ قال ابن عباس: فنزعت عن قولي، ورجعت إلى الذي قال علي رضي الله عنه “
Ibn Abbas berkisah: “ketika aku sedang berada di Hijir Isma’il, tiba-tiba datanglah kepadaku seorang lelaki yang bertanya mengenai makna firman-Nya: wal ‘adiyati dhabha. Maka aku menjawab, bahwa makna yang dimaksud adalah kuda ketika digunakan untuk berperang di jalan Allah, kemudian di malam hari diistirahatkan dan mereka membuat makanan (memasak makanan)nya, dan untuk itulah maka mereka menyalakan api (dapur)nya buat masak.
“Setelah itu lelaki tersebut pergi meninggalkan diriku menuju ke tempat Ali bin Abi Thalib, yang saat itu tengah berada di dekat sumur zamzam. Lalu lelaki itu menanyakan kepada Ali makna ayat tersebut, tetapi Ali balik bertanya, ‘Apakah engkau pernah menanyakannya kepada seseorang sebelumku?’ Lelaki itu menjawab, “Ya, aku telah menanyakannya kepada Ibnu Abbas, dan ia mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah kuda ketika menyerang di jalan Allah.“
“Imam Ali berkata, ‘Pergilah dan panggillah dia untuk menghadap kepadaku.’ Ketika Ibnu Abbas telah berada di hadapan Ali, maka Ali berkata, ‘Apakah engkau memberi fatwa kepada manusia dengan sesuatu yang tiada pengetahuanmu mengenainya? Demi Allah, sesungguhnya ketika mula-mula perang terjadi di masa Islam (yaitu Perang Badar), tiada pada kami pasukan berkuda kecuali hanya dua ekor kuda. Yang satu milik Az-Zubair dan yang lainnya milik Al-Miqdad. Maka mana mungkin yang dimaksud dengan al-‘adiyati dhabha adalah kuda. Sesungguhnya yang dimaksud dengan al-‘adiyati dabhan ialah unta ketika berlari dari ‘Arafah ke Muzdalifah dan dari Muzdalifah ke Mina (saat haji).”
“Ibnu Abbas mengatakan bahwa lalu ia mencabut ucapannya itu dan mengikuti pendapat yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib.”
Ini dialog yang sangat menarik. Tafsir Ibn Katsir, Fathul Qadir Syaukani, Dar al Mansur Suyuthi, al-Qurthubi dan lainnya mengutip dialog di atas.
Kita lihat bagaimana Ibn Abbas mengaitkan makna al-‘adiyat sebagai kuda perang, namun si penanya masih mencari second opinion, dengan mendatangi Imam Ali. Ini indikasi kita diperbolehkan untuk bertanya kepada ulama yang berbeda.
Selanjutnya dalam dialog ini, Imam Ali yang lebih senior menegur Ibn Abbas bahwa pendapatnya itu keliru. Saat di perang badar, pasukan Nabi hanya punya dua kuda perang. Jadi sesuai konteksnya, Imam Ali membantah dengan menggunakan argumen empirik, tidak mungkin maknanya adakah kuda perang. Selanjutnya Imam Ali menyampaikan pandangannya bahwa al-‘adiyat itu unta yang dibawa jamaah haji.
Mendengar bantahan Imam Ali, Ibn Abbas berkata bahwa dia menarik pendapatnya semula dan mengikuti pendapat Imam Ali. Mungkin Ibn Abbas memilih bersikap santun di depan senior, atau boleh jadi saat itu posisi Imam Ali adalah Khalifah yang harus ditaati.
Namun demikian, para ulama masih mencatat pendapat Ibn Abbas ini dalam kitab tafsir mereka. Tafsir al-Mawardi misalnya menyimpulkan adanya kedua pendapat yang berbeda ini, termasuk dengan pendukungnya masing-masing.
أحدهما: أنها الخيل في الجهاد، قاله ابن عباس وأنس والحسن
الثاني: أنها الإبل في الحج، قاله عليٌّ رضي الله عنه وابن مسعود
Yang mengatakan kuda dalam peperangan adalah Ibn Abbas, Anas dan al-Hasan. Yang mengatakan unta saat haji adalah Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas’ud.
Imam at-Thabari dalam tafsirnya berpendapat:
وأولى القولين في ذلك عندي بالصواب: قول من قال: عني بالعاديات: الخيل، وذلك أن الإبل لا تضبح، وإنما تضبح الخيل
Beliau mengatakan yang lebih tepat adalah pendapat yang berkata al-‘adiyat itu adalah kuda. Alasannya adalah hanya kuda yang mendengus. Unta tidak mendengus.
Tafsir Ibn Katsir menceritakan bahwa sebenarnya Ibn Abbas menjelaskan lebih lanjut soal pasukan kuda, yang menurut Imam Ali tidak mungkin karena hanya ada dua kuda (kata al-‘adiyat ini bentuk jamak). Kata Ibn Abbas yg dimaksud adalah pasukan khusus yang dikirim Nabi Muhammad selama sebulan dan tidak ada kabar hingga turunnya ayat ini. jadi, bukan pasukan kuda saat perang badar. Tapi riwayat mengenai pasukan khusus ini dianggap lemah oleh Ibn Katsir.
Tafsir ar-Razi juga menyatakan bahwa dari perspektif teks mengindikasikan ayat ini berkenaan dengan kuda, bukan unta. Sekali lagi, kita melihat sumber perdebatan ini adalah antara teks ayat (Ibn Abbas) dan konteks empirik (Ali bin Abi Thalib).
Jadi, siapa yang benar? Boleh jadi keduanya benar dan kita dipaksa untuk terus belajar menyusuri padang pasir tafsir al-Qur’an, baik dengan mengendarai unta atau kuda. Ilmu al-Qur’an itu begitu luas.
Wa Allahu a’lam bis shawab
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama
Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School