Al-Qur’an merekam peristiwa ketika Nabi Musa berdoa:
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي
“Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku” (QS 20:25)
Sedangkan untuk Nabi Muhammad, Allah befirman:
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَك
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS 94:1)
Ini artinya, sementara Nabi Musa memohon kepada Allah diberi kelapangan dada, Allah telah mengaruniai kelapangan dada itu kepada Nabi Muhammad tanpa diminta. Kelapangan dada ini sangat penting sebagai bekal menjalankan amanah Allah. Mereka yang lapang hatinya akan mampu menyampaikan kebenaran dengan cara-cara yang menyentuh hati pendengar/pembacanya.
Lapang dada adalah ciri mereka yang mendapat petunjuk. Mereka yang sering emosi marah-marah biasanya dadanya sesak lagi sempit. Perasaannya tidak tenang dan serasa hidupnya penuh beban. Akibatnya, jadi mudah tersinggung. Di situlah syetan bersemayam.
Hal ini sebagaimana disinggung dalam firman Allah:
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS 6:125)
**
Nabi Musa melanjutkan berdoa:
وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي
“dan mudahkanlah untukku urusanku” (QS 20:26)
Sementara Allah menegaskan untuk Nabi Muhammad:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS 94:5)
Dan diulang kembali:
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
Ini artinya, dari satu kesulitan, akan lahir dua kemudahan. Karena kata al-‘usr (kesulitan) dalam bentuk isim ma’rifah yang meskipun diulang namun maknanya satu. Sementara kata yusran menggunakan bentuk nakirah, sehingga diulang dua kali menunjukkan ada dua jenis kemudahan yang berbeda.
Luar biasa kan…untuk Nabi Muhammad dan umatnya, Allah berikan dua kemudahan dari satu kesulitan.
**
Allah berfirman untuk Nabi Muhammad:
وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ
الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ
“Dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu, yang memberatkan punggungmu?” (QS 94:2-3)
Artinya seberat apapun beban Nabi, Allah telah hilangkan dari beliau. Namun apakah ini berarti Nabi hidup senang dan santai saja? Tidak, Nabi justru memikirkan beban penderitaan umatnya.
عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ
“.…berat terasa olehnya penderitaanmu…” (QS 9:128)
Inilah Nabi penebar rahmah. Yang dipikirkannya adalah beban umatnya. Beliau tidak ingin umatnya menderita.
حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“…..(beliau) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS 9:128)
**
Allah berfirman:
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
‘Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (QS 94:4)
Allah meninggikan (mengangkat) sebutan nama Nabi Muhammad di dunia dan di akhirat. Maka tiada seorang muadzin pun, tiada seorang khatib Jum’at pun, tiada seorang yang membaca syahadat pun, dan tiada orang yang salat pun melainkan mengucapkannya, yaitu kalimah, ‘aku bersaksi tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Kalau kita bandingkan dengan apa yang Allah limpahkan kepada Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq dan Nabi Ya’qub:
وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا
“Dan Kami anugerahkan kepada mereka rahmat yang sangat banyak beserta kenabian tersebut, dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik yang terus-menerus diperbincangkan oleh manusia.” (QS 19:50)
Itu artinya nama mereka harum dan jadi bahan perbincangan oleh manusia. Ini tentu sesuatu yang baik. Sementara nama Nabi Muhammad lebih baik lagi, yaitu telah Allah tinggikan nama beliau di langit bersama nama Allah Swt.
Perhatikan ayat-ayat al-Qur’an yang menggandeng sebutan nama beliau setelah disebutkan nama Allah:
وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوهُ [التَّوْبَةِ: ٦٢]
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ [النساء: ١٣]
وأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ [النور: ٥٤]
Bahkan di dalam al-Qur’an saat Allah memangil para Nabi, Allah langsung menyapa “Hai Musa” atau “Hai ‘Isa”. Sedangkan saat menyebut Nabi Muhammad, Allah menggunakan istilah Nabi atau Rasul. Ini penghormatan luar biasa.
Abu Na’im di dalam kitab Dala’ilun Nubuwwah mengatakan:
حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الْغِطْرِيفِيُّ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ سَهْلٍ الجَوْني، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْقَاسِمِ بْنِ بَهْرام الْهِيَتِيُّ، حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ حَمَّادٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَطَاءٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَمَّا فَرَغْتُ مِمَّا أَمَرَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ أَمْرِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلْتُ: يَا رَبِّ، إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا وَقَدْ كَرَّمْتَهُ، جَعَلْتَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا وَمُوسَى كَلِيمًا، وَسَخَّرْتَ لِدَاوُدَ الْجِبَالَ، وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ وَالشَّيَاطِينَ، وَأَحْيَيْتَ لِعِيسَى الْمَوْتَى، فَمَا جَعَلْتَ لِي؟ قال: أو ليس قَدْ أَعْطَيْتُكَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ، أَنِّي لَا أُذْكَرُ إِلَّا ذُكِرْتَ مَعِي، وَجَعَلْتُ صُدُورَ أُمَّتِكَ أَنَاجِيلَ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ ظَاهِرًا، وَلَمْ أُعْطِهَا أُمَّةً، وَأَعْطَيْتُكَ كَنْزًا مِنْ كُنُوزِ عَرْشِي: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ”
Dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Setelah aku selesai dari menerima apa yang diperintahkan kepadaku menyangkut semua urusan langit dan bumi, lalu aku bertanya, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya tiada seorang Nabi pun sebelumku melainkan Engkau telah memuliakannya; Engkau telah menjadikan Ibrahim sebagai Khalil (kekasih), Musa sebagai Kalim (yang Engkau ajak bicara langsung), Engkau telah tundukkan gunung-gunung bagi Daud, dan bagi Sulaiman angin dan semua setan, dan Engkau hidupkan bagi Isa orang-orang yang telah mati. Maka apakah yang Engkau berikan kepadaku?’
Allah berfirman, ‘Bukankah Aku telah memberimu yang lebih baik dari hal tersebut seluruhnya, bahwa sesungguhnya tidaklah nama-Ku disebut melainkan engkau disebut pula bersama-Ku; dan Aku telah menjadikan dada umatmu sebagai kitab-kitab, mereka dapat membaca Al-Qur’an secara hafalan, dan hal itu belum pernah Kuberikan kepada suatu umat pun. Dan Aku telah memberimu suatu perbendaharaan dari ‘Arasy-Ku, yaitu kalimah ‘tidak ada daya (untuk menghindar dari maksiat) dan tiada kekuatan (untuk mengerjakan ibadah) kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar‘.”
**
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS 94:7-8).
Ini bermakna, jika telah selesai urusan dunia, kerjakan ibadah. Jika telah selesai shalat wajib, kerjakan shalat sunnah. Jika telah selesai shalat, bekerjalah menjemput rejekimu. Islam menginginkan kita untuk seimbang dunia akherat; hablum minallah dan hablum minan nas. Barulah kemudian hasilnya kita berserah diri pada ilahi.
Surat Alam Nasyrah yang berkenaan dengan Nabi Muhammad di atas bisa diringkas maknanya sebagai berikut:
Wahai Nabi,
Dadamu telah kami lapangkan
Beban yang memberatkan punggungmu telah kami hilangkan
Namamu telah kami angkat dan tinggikan
Ingatlah dibalik satu kesulitan, kami berikan dua kemudahan bagimu
Maka jika telah selesai satu urusanmu, jangan diam saja atau merasa puas,
Kerjakan pula urusan berikutnya
Kepada Tuhanmulah kamu berharap akan hasil perbuatanmu
Tabik,
Nadirsyah Hosen