You are here:

Benci tapi Tetap Berlaku Adil: Pesan Langit!

balance

Salah satu hal yang membuat saya kukuh mengimani bahwa al-Qur’an itu bukan buatan manusia tapi merupakan pesan ilahi adalah kandungan ayatnya yang menembus batas kemanusiaan kita dan melintasi zaman. Lima belas abad lampau bahkan hingga kini masih banyak di antara kita yang tidak fair dan tidak adil bersikap hanya karena kita membenci suatu kelompok atau individu tertentu. Namun pesan al-Qur’an begitu dahsyat menembus stereotyping akan pihak lain: boleh tidak suka terhadap perbuatan mereka tapi tetap harus berlaku adil kepada mereka.

Surat al-Maidah turun pada tahun ke delapan Hijriah setelah perjanjian Hudaibiyah yang berlangsung pada tahun keenam Hijriah. Dalam peristiwa Hudaibiyah, rombongan Rasul yang hendak pergi ke Baitullah dihalangi memasuki kota Mekkah. Singkat cerita, ada rasa dendam dan kebencian di kalangan sebagian pihak atas peristiwa itu: dulu mereka halangi kita, sekarang kita pun bisa menghalangi mereka, maka turunlah petikan surat al-Maidah:2:

“Dan jangan sekali-kali kebencian (kalian) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram, mendorong kalian berbuat aniaya (kepada mereka)”

Tafsir Ibn Katsir menjelaskan kandungan petikan ayat ini:

لَا يَحَمِّلَنَكُمْ بُغْضُ قَوْمٍ قَدْ كَانُوا صَدُّوكُمْ عَنِ الْوُصُولِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَذَلِكَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ، عَلَى أَنْ تَعْتَدُوا [فِي] )حُكْمِ اللَّهِ فِيكُمْ فَتَقْتَصُّوا مِنْهُمْ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا، بَلِ احْكُمُوا بِمَا أَمَرَكُمُ اللَّهُ بِهِ مِنَ الْعَدْلِ فِي كُلِّ أَحَدٍ “Jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum yang dahulunya pernah menghalang-halangi kalian untuk sampai ke Masjidil Haram yang terjadi pada tahun perjanjian Hudaibiyah mendorong kalian melanggar hukum Allah terhadap mereka. Lalu kalian mengadakan balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Tetapi kalian harus tetap memutuskan apa yang di­perintahkan oleh Allah kepada kalian, yaitu bersikap adil dalam per­kara yang hak terhadap siapa pun.”

Luar biasa bukan pesan ilahi ini? Bahkan kita harus berlaku adil terhadap mereka yang pernah menghalangi kita memasuki Baitullah. Tafsir al-Misbah menyebutkan riwayat lain dikisahkan bahwa larangan ini turun berkenaan dengan rencana merampas unta yang dibawa rombongan Yamamah di bawah pimpinan Syuraih bun Dhubai’ah al-Hutham yang menuju Baitullah dengan alasan unta-unta itu dulu milik umat Islam yang dirampas mereka. Ayat di atas turun melarang umat Islam berbuat kezaliman yang sama.

Kata “Syana-an” dalam ayat di atas itu maknanya al-baghd al-syadid, yaitu kebencian yang telah mencapai puncaknya. Musuh yang sudah kita benci sampai ke ubun-ubun lantaran menghalangi pelaksanaan agama, masih harus kita perlakukan secara adil. Kita dilarang berbuat zalim kepada mereka. Ini pesan keadilan dari langit!

Ketentuan membolehkan kaum Musyrikin memasuki Baitullah itu kemudian dihapus pada tahun kesembilan Hijriah saat turun Surat al-Taubah ayat 28: “Jangan mereka (orang Musyrik) mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini”. Namun demikian pesan ilahi untuk berbuat adil tetap abadi.

Ibn Katsir mengutip pernyatan sebagian ulama salaf:

وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَامَلْتَ مَنْ عَصَى اللَّهَ فِيكَ بِمِثْلِ أَنْ تُطِيعَ اللَّهَ فِيهِ. وَالْعَدْلُ بِهِ قَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ “Selama ka­mu memperlakukan orang yang durhaka kepada Allah terhadap diri­mu dengan sikap berdasarkan taat kepada Allah dan selalu berlaku adil dalam menanganinya, niscaya langit dan bumi ini masih akan tetap tegak.”

Pesan keadilan di atas begitu pentingnya sehingga ditegaskan kembali dalam surat yang sama yakni al-Maidah ayat 8:

“Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil­lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”.

Kebencian itu tidak menjadi alasan pembenar untuk bisa menzalimi pihak lain. Kita tidak boleh keluar dari aturan main dan tidak boleh membalas kezaliman di luar batas-batas keadilan dan hukum. Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menegaskan:

‎إن كفر الكافر لا يمنع من العدل في معاملته، وفي الآية الآمرة بالعدل والتقوى دلالة أيضا على أن يقتصر في المحاربة على المستحق للقتال، وأن المثلة بالأعداء غير جائزة وإن قتلوا نساءنا وأطفالنا وآذونا بذلك، فليس لنا أن نقتلهم بمثلة قصدا لإيقاع الغم والحزن بهم. “Kekufuran orang kafir itu tidak menghalangi kita berbuat adil dalam berinteraksi dengan mereka. Dalam ayat perintah untuk berbuat adil dan taqwa ada petunjuk untuk membuat batasan dalam pertempuran, misalnya mereka membunuh para wanita kita dan anak-anak kita, maka kita tidak dibenarkan melakukan pembunuhan yang serupa.”

Bahkan dalam pertempuran pun ada seperangkat etika dan aturan yang harus ditaati tentara Muslim. Kebencian tidak dibalas dengan kebencian. Kezaliman tidak dihapus dengan kezaliman lainnya. Dalam keadilan, bukan saja ada kasih sayang, tapi juga ada ketakwaan.

Majallat al-Ahkam al-Adillah, yang merupakan kitab undang-undang hukum perdata Islam pertama yang dikodifikasi pada tahun 1293 H/ 1876 M oleh pemerintah Turki Usmani, memuat ketentuan nomor 921 yang berdasarkan prinsip ayat di atas:

‎لَيْسَ لِلْمَظْلُومِ أَنْ يَظْلِمَ آخَرَ بِسَبَبِ كَوْنِهِ قَدْ ظُلِمَ ; مَثَلًا: لَوْ أَتْلَفَ زيدٌ مَالَ عمرو مقَابَلَة بما أنه أَتْلَفَ مَالِهِ يَكُونُ الِاثْنَانِ ضَامِنَيْنِ. كَذَلِكَ لَوْ أَتْلَفَ زيَدٌ مال عمرو الذي هو مِنْ قَبِيلَةٍ طي بمَا أن بكرا الذي هو من تلك القَبِيلَةٍ أَتْلَفَ ماله يَضْمَنُ كُلٌّ منهُمَا الْمَالَ الَّذِي أَتْلَفَهُ كما أنه لَوْ انخدع أَحَدٌ فأخذ دراهم زائفة من أحد فَلَيْسَ لَهُ َنْ يَصرِفَهَا إِلَى غَيْرِهِ. “Tidak dibolehkan bagi orang yang dizhalimi untuk menzhalimi orang lain karena itu termasuk salah satu bentuk kezaliman. MIsalnya, jika Zaid merusak harta Amru, lalu Amru membalas merusak harta Zaid, maka keduanya dihukum untuk membayar ganti rugi. Begitupula jika ada yang ditipu dimana dagangannya dibayar dengan uang palsu, maka dia tidak boleh menggunakan uang palsu untuk transaksi dengan pihak lain.”

Keadilan itu salah satu prinsip utama dalam ajaran Islam. Meski kita dirugikan, dizhalimi dan dianiaya sehingga membuat kita sangat benci kepada orang tersebut –baik orang Islam maupun non-Muslim– kita tidak boleh membalas kezaliman dengan kezaliman kepada orang tersebut ataupun kepada pihak ketiga. Kita tetap harus berbuat adil dan mengikuti proses hukum yang berlaku.

Kita boleh saja membenci perbuatan mereka, tapi kita jangan menzalimi pribadi mereka, keluarga mereka, harta dan kedudukan mereka. Ini pesan langit yang melintasi zaman, yang hanya bisa diterapkan oleh mereka yang diajarkan untuk menebar rahmat pada semesta. Saya, anda dan kita kah itu?

Tabik,

Nadirsyah Hosen