[aswaja_big_letter]Ada komentator yang bertanya mengenai QS 7:199 yang menurut dia sudah jelas maknanya:[/aswaja_big_letter]
[aswaja_translation]”Jadilah engkau engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”[/aswaja_translation]
Lantas dia merujuk pada perdebatan ulama mengenai hukuman buat penghina Nabi, dimana mazhab Hanafi menggunakan ayat di atas. Ini dijadikan bukti buat dia bahwa ulama pun menganggap ayat tersebut sudah “jelas” dan seolah dia mau bilang tidak perlu pakai teori macam-macam utk memahami ayat.
Apa yang disampaikan komentator tersebut justru contoh yang bagus bagaimana kita memang harus mempelajari ushul al-fiqh untuk memahami perbedaan pendapat ulama. Mazhab Hanafi memandang dalalah ‘am itu qat’iyah, sedangkan jumhur ulama memandang dalalah ‘am itu zhanniyah dan karenanya membutuhkan takhsis.
Mazhab hanafi menjadikan ayat yang maknanya umum (dalalah ‘am) ini sebagai dalil qat’i agar rasul memaafkan yang menghina. Karena menganggap dalalah ‘am ini sudah qat’i maka hadis-hadis yang men-takhsis keumuman ayat ini –yang mengindikasikan hukuman buat penghina rasul– tidak dianggap penting oleh mazhab Hanafi.
Jumhur ulama menganggap dalalah ‘am ini tidak dipakai sebagai rujukan karenanya mereka memakai hadis –sesuai fungsinya– untuk men-takhsis keumuman ayat ini. Itulah sebabnya jumhur ulama memandang penting menerima hadis-hadis yang mengindikasikan hukuman buat penghina rasul.
Buat jumhur ayat di atas dan hadis seputar ini tidak bertentangan. Hadis boleh men-takhsis keumuman ayat.
Ayat di atas bukan saja masih berbentuk ‘am, tapi konteksnya juga bukan soal penghinaan thd Rasul. Buat Hanafi, tentu tidak demikian.
Jadi, ini perbedaan metode mengambil istinbath hukum. Kenapa dan apa argumen Hanafi dan jumhur soal status dalalah am itu qat’i atau zhanni tentu panjang dan sudah dibahas oleh kitab-kitab ushul al fiqh.
Kategori “jelas” dalam benak komentator itu sebenarnya masih harus dijelaskan memakai terminologi ushul al fiqh spt: qat’i-zhanni, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, am-khas –lengkap dengan perdebatan para ulama mengenai ini.
Contoh: mazhab hanafi tidak mewajibkan kita membaca surat al fatihah saat shalat karena mereka berpegang pada dalalah ‘am dari QS al Muzammil ayat 20: “bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Qur’an”. Menurut jumhur ulama, ayat itu terlalu umum maknanya dan konteksnya bukan saat shalat. Maka perlu di-takhsis ayat tersebut dengan hadis yang mewajbkan baca al-Fatihah di saat shalat.
Perdebatan ini juga berkenaan dengan korelasi antara al-Qur’an dan hadis: bagaimana mengaitkan petunjuk yang berbeda dari kedua sumber utama?
Jadi, sekali lagi, yang dianggap sudah “jelas” itu masih panjang diskusi para ulama. Lantas komentator memaksa saya untuk memilih pendapat Hanafi atau jumhur? Memilih pendapat dalam fiqh itu tidak sembarangan dan tidak bisa dipaksa-paksa; itu semua ada ilmunya. Ini namanya kita mau men-tarjih. Buat orang awam, tinggal pilih saja pendapat fiqh yang dia mau, buat para ulama tidak akan buru-buru memilih sebelum mengunakan metode tarjih. Memang repot berdiskusi dengan komentator awam yang maunya memaksakan pendapat saja seakan urusan istinbath hukum ini urusan sepele 🙂
Kembali lagi ke ayat di atas yang menurut komentator tersebut sudah jelas maknanya itu.
Setelah saya tunjukkan di atas bagaimana para ulama membahas ayat dengan menggunakan kaidah ushul al fiqh, sekarang saya ingin tunjukkan bagaimana ulama tafsir membahas ayat tersebut. Semoga tergambar perbedaan cara ulama fiqh dan ulama tafsir membahas ayat yang sama, yang dianggap sudah “jelas” oleh komentator itu.
Kalau kita buka kitab tafsir Ibn Katsir, akan kita temui penjelasan ulama berdasarkan riwayat yang ada akan perbedaan mereka memahami ayat tersebut –yang berbeda dengan pemahaman sang komentator yang terhormat 🙂
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Jadilah engkau pemaaf” (Al-A’raf: 199). Yakni ambillah dari kelebihan harta mereka sejumlah yang layak untukmu, dan terimalah apa yang mereka berikan kepadamu dari harta mereka. Hal ini terjadi sebelum ayat yang memfardukan zakat diturunkan berikut rinciannya dan pembagian harta tersebut. Demikianlah menurut pendapat As-Suddi.
Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna Firman-Nya; Jadilah engkau pemaaf. (Al-A’raf. 199), makna yang dimaksud ialah ‘infakkanlah kelebihan dari hartamu‘. Menurut Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan al-‘afwa dalam ayat ini ialah kelebihan.
Nah, sampai di sini saja…sudah terlihat yang saudara komentator anggap sudah jelas dari terjemahannya, ternyata maknanya bisa berbeda dari apa yang dijelaskan dalam kitab tafsir. Ternyata ayat ini dianggap tidak terkait dengan penghinaan terhadap Rasul.
Lanjut lagi yah…penjelasan dari kitab tafsir Ibn Katsir:
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (Al-A’raf: 199) Allah memerintahkan Nabi Saw. agar bersifat pemaaf dan berlapang dada dalam menghadapi orang-orang musyrik selama sepuluh tahun. Kemudian Nabi Saw. diperintahkan untuk bersikap tegas terhadap mereka. Pandapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Lihat deh…kalau cuma baca terjemahan ayat yang kita anggap sudah jelas itu, tidak ada keterangan batasan sepuluh tahun pertama. Inilah pentingnya membuka kitab tafsir. Apa kita mau bilang ulama seperti Ibn Katsir membuat-buat saja penafsiran ayat ini?
Lanjut lagi:
Sejumlah orang telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (Al-A’raf: 199) Yakni terhadap sikap dan perbuatan orang lain tanpa mengeluh.
Hisyam ibnu Urwah telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa Allah Swt. telah memerintahkan Rasul-Nya agar bersifat memaaf terhadap akhlak dan perlakuan manusia (terhadap dirinya). Menurut riwayat yang lain, makna yang dimaksud ialah ‘bersikap lapang dadalah kamu dalam menghadapi akhlak mereka‘.
Ini baru satu kitab tafsir yang kita buka, makna ayat yang dianggap telah “jelas” oleh komentator itu ternyata sudah beraneka ragam penjelasannya.
Kalau anda orang awam, silahkan pelajari al-Qur’an. Kitab suci ini boleh dipelajari oleh semua orang. Tapi kalau anda mau ber-istinbath menetapkan hukum dari ayat Qur’an atau mau memakai ayat untuk menyalah-nyalahkan orang lain ya nanti dulu…serahkan hal itu pada ahlinya.
Tabik,
Nadirsyah Hosen