You are here:

Ayatnya Sudah Jelas, Mengapa Masih Diperdebatkan Juga?

[aswaja_big_letter]Seringkali saya mendapati komentar sebagian pihak yang keheranan kenapa ayat Qur’an yang menurut mereka sudah jelas bunyi dan terjemahannya, tapi kenapa masih saja diperdebatkan? Bukankah kita cukup sami’na wa atha’na terhadap perintah atau larangan Allah?[/aswaja_big_letter]

Benar kita harus taat dan patuh pada ketentuan ilahi, tetapi ayat yang sering dianggap sudah jelas bagi orang awam itu dianggap jelas hanya karena membaca terjemahannya. Tidak cukup hanya dengan copas ayat lantas langsung bisa menyimpulkan status hukumnya. Tidak sesimpel itu dalam ber-istinbath.

Sama dengan dokter dalam mendiagnosa penyakit tidak sesimpel menempelkan tangan di jidat untuk tahu apa penyakit kita. Bahkan kalaupun memang demam tinggi, dokter akan mencari tahu penyebabnya. Semua ada ilmunya.

Al-Qur’an adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Semua pendapat mereka merujuk kepada al-Qur’an. Hanya saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya. Hal ini disebabkan:

a. Ada sebagian lafaz al-Qur’an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak).

Contoh lafaz “quru” dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan “suci”; dan sebagian lagi mengartikan dengan “haid”. Akibat perbedaan lafaz “quru” ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas’ud dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai iddahnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini.

Ada ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata “quru'” sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya, kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata “quru” yang mngandung dua arti dalam bahasa Arab.

b. Susunan ayat Al-Qur’an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat.

Huruf “fa”, “waw”, “aw”, “illa”, “hatta” dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya. Sebagai contoh, huruf “FA” dalam QS 2:226-227 mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf “FA” itu berfungsi “li tartib dzikri” (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf “FA” dalam ayat di atas berfungsi “li tartib haqiqi” (susunan menurut kenyataan).

Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah ‘ila (melakukan sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan. Konsekuensi hukum bisa berbeda-beda hanya gara-gara huruf FA.

c. Perbedaan memandang lafaz ‘am – khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh.

Lafaz al-Qur’an adakalanya mengandung makna umum (‘am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh ‘am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya khusus tapi yang dimaksud adalah general (lafzh khas yuradu bihi al-‘umum).

Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata “amwal” (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan “ah” pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan “ah” itu digeneralkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).

Jadi, lain kali, mohon kita (termasuk saya sendiri) untuk lebih berhati-hati menganggap “ayat ini sudah terang benderang maknanya” atau “ayat ini sudah jelas artinya”. Periksa dulu ke kitab-kitab tafsir bagaimana para ulama memahaminya, Cek dulu asbabun nuzul ayatnya untuk memahami konteks turunnya ayat, terus periksa kaidah bahasa Arabnya, lihat lagi bagaimana para ulama dalam berbagai mazhab berargumen memahami ayat tersebut, dan seterusnya, dan seterusnya…..

Ayat al-Qur’an yang terlihat sudah jelas bagi orang awam, sebenarnya masih menyimpan berbagai mutiara yang harus diselami sampai ke dasar samudera ilahi. Tidak semua orang bisa berenang, apalagi menyelam sampai ke dasar laut.

Di situlah kita harus menahan diri untuk berkomentar –apalagi sampai lancang untuk mencaci maki– jikalau kita tidak memiliki ilmunya atau jikalau bidang kajian kita bukan berkenaan dengan dirasah islamiyah (studi keislaman).

Tabik,

 

Nadirsyah Hosen