You are here:

Tiga Ulama Klasik: Apa Syarat Menjadi Pemimpin?

[aswaja_big_letter]Khazanah pemikiran politik Islam itu luar biasa. Para ulama klasik telah melahirkan pemikiran yang bernas dan cerdas pada masanya. Namun apakah semua pemikiran yang brilian itu bisa kita aplikasikan semuanya ke masa kini atau kita membutuhkan modifikasi dan adjustment agar cocok untuk kondisi saat ini?[/aswaja_big_letter]

Kita perhatikan pandangan ketiga tokoh di bawah ini dalam hal syarat menjadi Khalifah.

 

1. Al-Mawardi (972-1058)

Beliau ulama top pada masanya. Sangat dekat dengan dua khalifah, yaitu al-Qadir dan al-Qaim bi Amrillah (khalifah ke-25 dan ke-26 Abbasiyah di Baghdad). Imam al-Mawardi pernah diangkat menjadi duta besar, bahkan menjadi Ketua Mahkamah Agung. Pada masa Khalifah al-Qa’im, Imam al-Mawardi menulis kitabnya yang terkenal al-Ahkam al-Sulthaniyah.

Imam al-Mawardi memberikan tujuh syarat untuk menjadi Khalifah:

1. Rasa keadilan (‘adalah);
2. Pengetahuan (‘ilm);
3. Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraan;
4. Sehat tubuh tidak cacat, yang dapat menghambat pelaksanaan tugas;
5. Berwawasan luas dalam hal administrasi negara
6. Punya keberanian untuk melindungi wilayah Islam dan melaksanakan jihad;
7. Punya garis keturunan dari Quraisy

 

2. Al- Ghazali (1058 – 1111)

Pada saat wafatnya Imam al-Mawardi tahun 1058, pada tahun yang sama telah lahir mutiara ilmu lainnya. Dialah Imam al-Ghazali. Kitab Ihya yang ditulis beliau pada masa tuanya sangat dikenal dan dipelajari oleh para santri. Namun sebelum ia memasuki dunia tasawuf, al-Ghazali adalah seorang professor yang menguasai berbagai bidang berbeda, seperti filsafat dan ushul al-fiqh.

al-Ghazali sangat dihormati oleh dua Khalifah, yaitu al-Muqtadi dan al-Mustazhir Billah (Khalifah Abbasiyah ke -27 dan ke-28 di Baghdad). Seperti juga al-Mawardi, Imam al-Ghazali pernah menjadi duta besar dan pandangan serta fatwanya sangat berpengaruh pada kedua khalifah di masanya masing-masing. Dilaporkan itulah masa keemasan al-Ghazali yang sangat kaya raya dengan berbagai fasilitas kenegaraan.

Pada masa Khalifah al-Mustazhir, muncul perlawanan dari Kaum Batiniyah (salah satu sekte syi’ah). al-Ghazali menulis buku yang berisi polemik dengan sekte Batiniyah tersebut. Nama kitabnya Fada’ih al-Batiniyyah wa Fada’il al-Mustazhiriyyah (dikenal kemudian dengan kitab Mustahziri).

Salah satu bab yang ditulis Imam al-Ghazali adalah argumentasi beliau bahwa Khalifah al-Mustahzir, yang diangkat menggantikan ayahnya saat berusia 16 tahun, adalah khalifah yang sah dan memenuhi semua persyaratan. Pada point ini Imam al-Ghazali menuliskan 10 persyaratan menjadi Khalifah:

1. Baligh
2. Berakal (tidak gila)
3. Merdeka (bukan budak)
4. Lelaki
5. Keturunan suku Quraisy
6. Sehat panca indera
7. Keberanian untuk perang
8. Punya kompetensi (kifayah)
9. Punya pengetahuan
10. wara’

 

3. Ibn Khaldun (1332 – 1406).

Dua ratus kemudian kondisi umat sudah berbeda, dan penguasa Muslim sudah terpecah-pecah ke dalam beberapa kesultanan kecil. Ibn Khaldun lahir pada masa kepemimpinan Hafsiyyun (Hafsid Dinasti) di Tunisia. Ini adalah pecahan dari Kekhalifahan al-Muwahiddun (almohad empire).

Dalam al-Muqaddimah, kitabnya yang terkenal itu, Ibn Khaldun menuliskan 5 syarat untuk menjadi khalifah:

1. berilmu
2. adil
3. kompetensi
4. sehat panca indera
5. memiliki sifat suku quraisy

Kita perhatikan dari ketiga ulama klasik itu, semuanya menuliskan syarat pemimpin itu harus dari suku Quraisy. Ini berasal dari Hadis “al-aimmah min qurasy” (kepemimpinan itu dari suku quraisy). Berbeda dengan al-Mawardi dan al-Ghazali, Ibn Khaldun tidak memahami teks Hadis ini secara lahiriah belaka. Ia memahami bahwa yang ditekankan adalah sifat dan kemampuan suku Quraisy yang pada masa Nabi di atas suku lain. Suku Quraisy merupakan suku Arab paling terkemuka dengan solidaritas yang kuat dan dominan serta berwibawa. Jadi teks itu haruslah dibaca: Kepemimpinan itu berada pada mereka yang memiliki ciri-ciri suku Quraisy–dan tidak musti harus selalu orang Quraisy.

Ibn Khaldun melakukan re-interpretasi terhadap Hadis tersebut karena kondisi satu hal: sudah semakin sulit mencari orang dari suku Quraisy pada masa Ibn Khaldun hidup di abad ke-14 masehi dimana Islam sudah tersebar ke penjuru dunia. Kalaupun ketemu orang dari suku Quraisy belum tentu dia memenuhi persyaratan lainnya. Walhasil perubahan kondisi membuat Ibn Khaldun menafsirkan ulang persyaratan Khalifah yang ada.

Itu di abad ke-14, bagaimana dengan kita sekarang di abad 21? saya tanya kepada mahasiswa saya asli Arab, “apakah orang dari suku Quraisy saat ini mendapat posisi terhormat di Saudi?” jawabannya mengejutkan saya: “Tidak. Bukan saja kita sulit mencari mereka sekarang tapi mereka umumnya dianggap kalangan bawah. Berbeda dulu di masa Nabi yang mereka suku dominan dan terhormat”.

Khalifah tentu saja sudah bubar tahun 1924. Kita berada di era nation-state. Tapi anehnya sebagian kalangan masih saja menyitir persyaratan menjadi khalifah untuk pemilu di Indonesia. Dan yang diambil persyaratannya cuma soal Islam-nya saja –padahal ketiga ulama klasik di atas tidak tegas-tegas menyebut Islam sebagai salah satu syarat menjadi khalifah. Tapi syarat “dari suku Quraisy” yang jelas2 disebutkan oleh Imam al-Mawardi dan Imam al-Ghazali kok gak dibahas saat pemilu dan pilkada di Indonesia? smile emoticon

Konteksnya tentu sudah berbeda. Wewenang dan kekuasaannya juga berbeda antara Presiden dan Khalifah, apalagi Gubernur dan Bupati. Gak cocok lagi mencari-cari justifikasi menolak kandidat tertentu dengan merujuk kondisi masa lalu. Ini Indonesia tahun 2016, bukan jaman Khilafah seribu tahun yang lalu.

Kalau di Indonesia persyaratan klasik di atas mau diterapkan, saya khawatir satu-satunya yang memenuhi syarat jadi khalifah adalah Professor Quraish Shihab –dari namanya saja, saya menduga beliau ada hubungannya dengan suku Quraisy. smile emoticon smile emoticon

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Monash Law School


Catatan akhir:

Kenapa tidak ada syarat Muslim dalam ketiga karya klasik tersebut? boleh jadi, spt disinggung kawan2 lain, para ulama menganggap ini sudah syarat yang “taken for granted”. Tapi kalau ketiga ulama tersebut mau mencantumkannya juga mudah saja sebetulnya, tapi kenapa gak dimasukkan? Kenapa gak disebut saja dengan tegas? Gak tahu saya, saya cuma kutip apa adanya saja smile emoticon

Kalau dibaca dg jernih,point tulisan saya bukan soal ada atau tidak adanya syarat Muslim untuk jadi khalifah, saya ingin kita berhenti mempolitisir agama untuk kepentingan politik sesaat. Agama seharusnya menjadi inspirasi untuk kebaikan bersama, bukan untuk menyerang pihak lain dan merusak tenun kebangsaan kita.

Apapun syarat jadi khalifah, baik dicantumkan dg tegas soal syarat Muslim atau tidak, atau soal keturunan suku quraisy, persyaratan tsb tidak bisa diaplikasikan begitu saja ke konteks negara-bangsa saat ini. Karena khilafah sudah bubar! Konteksnya sudah berbeda. Kalau mau ngotot pakai syarat khalifah untuk gubernur di Indonesia, kenapa gak sekalian cari suku quraisy heheheh

Ini Indonesia tahun 2016. Bukan Baghdad seribu tahun silam!

 

Jadi, mari berhentilah mempolitisir agama utk kepentingan politik sesaat. Mari kita jaga kedamaian bangsa dan negara kita. Semoga tidak ada konflik dan kekerasan atas nama agama. Yang mau pilih kandidat A atau B atau C silahkan saja. Kita kembalikan kepada masing2 pemilih saja. Yang penting rukun, damai, dan tidak menjadikan agama sebagai alat kampanye. Ini tulisan terakhir saya soal fiqih siyasah. Sudah cukup bahas tema ini. Kita akan bahas hal-hal lain saja. Masih banyak tema lain yang perlu kita kaji dan pelajari bersama dg santai tanpa harus tegang. Salam sejahtera dg penuh kehangatan untuk semuanya.