You are here:

Terjemah al-Qur’an

Jargon “kembali kepada al-Qur’an dan Hadis” merupakan hal yang mulia, namun bisa menjadi masalah bila dipraktekkan sebagai: “kembali ke terjemahan al-Qur’an dan Hadis”. Kenapa? karena seringkali kita dapati mereka yang gemar menyalah-nyalahkan pendapat orang lain hanya berdasarkan terjemahan al-Qur’an.

Proses menerjemahkan al-Qur’an sebetulnya bagian kecil dari penafsiran. Penerjemah tidak hanya sekedar menerjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, tapi juga konteks dan pilihan redaksi yang dipilih khususnya pada kata yang mengandung arti bercabang. Tidak jarang penerjemah memasukkan pemahaman dan penafsiran versinya sendiri ke dalam terjemahan al-Qur’an. Itu sebabnya kita lihat berbeda-beda penerjemahan al-Qur’an.

Kalau menerjemahkan saja sudah beragam versinya, bagaimana pula penafsiranya? Tidak ada penafsiran tunggal, Itu sebabnya para ulama menyusun berjilid-jilid kitab tafsir yang berbeda sesuai dengan sudut pandang mereka, disiplin ilmu yg mereka kuasai, maupun kecenderungan mazhab dan situasi politik, sosio-ekonomi mereka hidup. Itu semua akan mempengaruhi cara mereka menafsirkan al-Qur’an.

Sebagai contoh, pernah pada suatu waktu, seorang kawan yang jengkel dengan tulisan saya, kemudian mengecam saya dengan menuliskan terjemah al-Qur’an Surat al-Rum ayat 59: “Demikianlah Allah menutup hati orang-orang yang tidak mau memahami (Al Qur’an)“.

Maksudnya tentu ingin mengatakan lewat terjemah tersebut betapa hati saya telah terkunci sehingga tidak bisa memahami kebenaran al-Qur’an. Alamakkkk mudah sekali memvonis orang lain 🙂

Ketimbang balas ngomel-ngomel, saya memilih untuk menunjukkan penafsiran ayat yang dipakai untuk “mementung” saya itu. Sepintas terjemah ayat yang dikutip itu sudah kita pahami maknanya. Namun kalau kita buka kitab-kitab tafsir maknanya ternyata amat luas. Bahkan kita pun akan menyadari terjemah yang dipilih, baik disadari atau tidak, sudah bagian dari penafsiran si penerjemah.

Ini teks arabnya: kadzalika yathba’ullah ‘ala qulubilladzina la ya’lamun

Kalau kita perhatikan terjemah di atas ada dalam kurung kata al-Qur’an yang diselipkan. Padahal teks asli sama sekali tidak menyebut kata al-Qur’an secara langsung. Darimana penerjemah bisa memasukkan kata al-Qur’an dalam terjemah tsb? Salah satu jawabannya adalah dari konteks ayat-ayat sebelumnya.

Namun itu bukan satu-satunya pemahaman. Tafsir Jalalayn, misalnya, mengatakan: ayat itu bicara soal al-tauhid (keesaan Allah). Jadi, bukan soal mereka tidak mau memahami al-Qur’an. Pemahaman ini juga senada disebutkan dalam Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas. Penjelasan lebih panjang ditulis oleh Tafsir al-Thabary yg mengatakan “mereka tidak mengetahui hakikat apa yang telah didatangkan kepada mereka dari sisi Allah berbagai pelajaran dan ayat yang jelas, tidak mengerti hujjah ttg Allah, tidak paham atas apa yang dibacakan dari kitab Allah, mereka itu ragu-ragu dalam kesombongan mereka.”

Tafsir al-Mizan mengatakan bahwa mereka jahil terhadap Allah dan ayat-Nya diantaranya mengenai soal kebangkitan setelah mati. Jadi, Syekh Thabathaba’i tidak mengatakan mereka jahil terhadap semua isi al-Qur’an, melainkan mereka tidak memahami ayat-ayat kebangkitan setelah mati (al-ba’ts ba’dal maut). Beliau mengaitkan dengan tiga ayat sebelumnya yaitu QS 30: 56.

Begitulah, tafsir lebih luas dari sekedar terjemah, dan kita bisa lihat keragaman penafsiran di atas baru pada satu ayat saja. Jadi, kalau ada yang bilang dengan merujuk pada al-Qur’an maka semua perdebatan ulama akan selesai, maka dapat dipastikan mereka belum terbiasa membaca beragam kitab tafsir al-Qur’an, karena para ulama tafsir semuanya juga merujuk pada al-Qur’an. Metode tafsir yang mereka aplikasikan juga beraneka ragam.

Ketimbang memaksakan hanya satu penafsiran yang benar atau menganggap tafsir ulama lain keliru, mungkin lebih baik kita mulai membiasakan diri untuk hidup dalam naungan satu Al-Qur’an dengan beragam tafsirnya, sehingga apapun persoalan yang kita hadapi, tafsir al-Qur’an akan memberi beragam pilihan.

Jargon “Kembali kepada al-Qur’an” selayaknya dipahami sebagai “kembali kepada beragam penafsiran dalam al-Qur’an”. Jangan dipahami secara sempit sebagai “kembali kepada terjemah al-Qur’an” semata. Kalau saja kita persilakan saudara kita menyelami makna ayat-ayat al-Qur’an, boleh jadi dia mendapatkan makna lebih banyak dari apa yang kita pahami.

Wa Allahu a’lam bis shawab.

 

Nadirsyah Hosen