[aswaja_big_letter]Al-Qur’an adalah sebuah mu’jizat tentu semua Muslim percaya. Ada informasi yang harus ditelaah lebih lanjut, dan ada pula kandungan al-Qur’an yang bersifat konfirmasi. Metode memahami al-Qur’an telah diperbincangkan para ulama sejak ribuan tahun lalu. Corak penafsiran al-Qur’an juga sudah dibahas dan diaplikasikan oleh para ulama. [/aswaja_big_letter]
Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan “tafsir bi al-ma’tsur” dianggap sebagai penafsiran yang paling utama. Tafsir model ini bisa dijumpai dalam kitab-kitab tafsir seperti Tafsir al-Thabari, Tafsir ibn Katsir, Tafsir al-Durr al-Mansyur, dan lainnya. Model lainnya adalah “tafsir bi al-ra’yi” yang tidak hanya bertumpu pada jalur periwayatan tapi juga menyajikan hasil ijtihad mufassir. Tafsir model ini bisa kita temui dalam Tafsir al-Kasyaf Zamakhsyari, Tafsir al-Razi, Tafsir al-Manar dan lainnya.
Belakangan berkembang kajian yang hendak mengungkap aspek tertentu dari al-Qur’an, seperti aspek keilmuan, sejarah, sastra, dan berbagai kemu’jizatan kandungan al-Qur’an. Salah satu yang berkembang adalah apa yang disebut dengan al-i’jaz al-adadi atau al-i’jaz al-raqmi yang mengupas soal kesesuaian, keseimbangan ataupun keteraturan numerik dalam al-Qur’an. Sebut saja model ini dengan Tafsir Angka.
Apapun modelnya semua jenis tafsir di atas itu harus menggunakan manhaj dan qawa’id yang telah disusun oleh para ulama. Metode baru sebagai bagian dari ijtihad tentu saja dibenarkan selama sesuai dengan aturan main yang ada. Misalnya, upaya mengungkap huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya membawa kita memahami kemahasucian Allah. Kata hayat (kehidupan) terulang sebanyak kata antonimnya yaitu maut (kematian) masing-masing 145 kali. Begitu juga dengan kata akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia.
Yang mengejutkan kata malaikat terulang 88 kali sebanyak kata setan. Terungkap pula kata yaum (hari) terulang sebanyak 365, sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam setahun. Inilah salah satu kemu’jizatan numerik dalam al-Qur’an.
Sayang sekali, kajian yang luar biasa ini sekarang direduksi menjadi tafsir ghotak-gathik-gathuk. Artinya, bukan melalu kajian yang benar dan serius sesuai manhaj dan qawa’id tafsir tapi asal dicocokkan saja sesuai selera. Misalnya kejadian musibah pada hari tanggal dan tahun tertentu kemudian dicari padanannya dalam al-Qur’an. Tentu tafsir model begini tidak terdapat dalam kitab-kitab tafsir karya para ulama.
Belakangan masalah politik juga membuat al-Qur’an direduksi hanya sekedar angka belaka, tidak lebih sebagai kitab kode atau primbon saja. Ini tentu menyedihkan kita. Misalnya bagaimana demonstrasi yang konon kabarnya hendak membela al-Qur’an dicari-cari makna 411 dalam al-Qur’an. beredar juga hitungan nama calon tertentu yang setelah dijumlah angkanya kemudian dicarikan nama surat al-Qur’an untuk mendelegitimasi kandidat tersebut. Seruan demonstrasi 2 Desember juga dicari-cari baik atau buruknya lewat angka 212.
Saya mengajak semuanya untuk meninggalkan bid’ah dan khurafat penafsiran angka model ghotak-gathik-gathuk ini, Mari jaga kesucian al-Qur’an dengan cara yang benar; bukan malah merendahkan kitab suci ini dan memaksa kepentingan politik kita untuk sekedar mencocok-cocokkan angka. Kalau mau memahami al-Qur’an bukalah kitab tafsir, jangan asal comot ayat sana-sini. Na’udzbillah min dzalik.
Tak bosan-bosannya saya serukan: stop mempolitisir ayat untuk memenuhi syahwat politik!
Ya Allah…saksikanlah, aku berlepas diri dari kejahiliyahan tafsir gothak-gathik-gathuk ini. Maha Suci Engkau, ya Allah.
Tabik,
Nadirsyah Hosen