Ya, benar. Cinta itu sesungguhnya berada pada satu titik.
Titik antara khauf dan raja.
Titik antara cemas dan harap.
Titik antara keraguan dan keyakinan
Titik antara keinginan dan kepasrahan
Ketika Nabi Muhammad didatangi Malaikat Jibril di gua hira, dan cinta ilahi berupa kalamNya masuk menembus dada sang Nabi, beliau memulainya dengan sebuah keraguan, hingga Khadijah menyelimuti dan menenangkan beliau. Kisah ‘keraguan’ Muhammadini menakjubkan seorang Psikolog yang juga Teolog, Lesley Hazleton, ketika ia memulai menulis biografi Nabi Muhammad. Hazleton mengapresiasi reaksi manusiawi Muhammad SAW yang memulai keimanannya dengan keraguan.
Menurut Lesley Hazleton, dalam link presentasinya yang dikirim oleh kawan saya Pak Ahmad Sofyan di group Telegram Isnet, ‘keraguan’ ini menjadi fondasi penting dalam proses penerimaan Nabi Muhammad akan misi yang diembannya. Ini jelas berbeda dengan kaum fundamentalis yang begitu yakin akan apa yang diimaninya sehingga seolah ia pasti benar, suci dan layak masuk surga.
“Bukankah kalau saya sudah mengikuti apa pesan dalam kitab suci maka Allah pasti memasukkan saya ke dalam surganya?” Begitu alasan mereka. Jelas mereka mengacaukan antara mengikuti petunjuk dengan penerimaan amalan. Yang pertama adalah kewajiban makhluk sedangkan yang kedua adalah hak Allah. Allah terlepas dari sebab-akibat. Makhluk tak dapat membebani Sang Khaliq dengan kepastian. Di antara keduanya sebenarnya ada titik cinta. Dan tanpa dimulai dari keraguan, cinta tak akan pernah bersemi.
Keraguan spiritual juga dialami oleh Nabi Ibrahim seperti direkam dalam QS 2:260. Riwayat sahih dari Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah pernah bersabda: Kami lebih berhak untuk ragu ketimbang Nabi Ibrahim, ketika ia berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman, “Apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab, “Saya telah percaya, tetapi agar bertambah tetap hati saya.”
Para ulama bermaksud ‘meluruskan’ makna keraguan dalam Qur’an dan Hadis ini agar jangan terjadi salah paham. Buat saya, keraguan yang dimaksud bukan seperti keraguan orang awam yang enggan percaya. Bukan itu. Keraguan yang mendatangkan keyakinan itu berada pada sebuah titik cinta. Ketika api cinta mulai membakar kalbu, segala pengetahuan Nabi Ibrahim sebelumnya tentang Tuhan, dimana beliau mengamati mentari, bintang dan rembulan, menjadi sirna. Sang Maha Cinta telah menyentuhnya dengan cara yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Maka pengetahuan yang lama berganti dengan pengetahuan yang baru. Keyakinan yang lama berganti dengan keyakinan yang baru, disinilah keraguan, yang kita maksud, bemula pertama kali.
Terhadap sahabat Nabi yang mengadukan keraguannya akan wujud Allah, Nabi menjawab: “Apakah kalian telah merasakan itu? Alhamdulillah. Itulah iman”. Maka iman yang benar selalu bergerak dinamis. Yazid wa Yanqus. Bertambah dan berkurang. Saat keyakinan menguat sehingga berpotensi membawa makhluq melintasi batas kemanusiaanya, maka sang Khaliq hadirkan keraguan. Setiap keraguan menguat, maka Allah kuatkan para pecintaNya dengan berbagai nikmat dan kasih sayangNya. Cinta yang monoton dan tidak diperbarui setiap hari akan menjelma menjadi kebiasaan belaka. Cinta yang terlalu menguasai akan menjelma menjadi pemaksaan. Dan itu bukan lagi cinta.
Cinta itu sejatinya berada pada satu titik.
Titik antara Iyyaka Na’budu dan Iyyaka Nasta’in
Titik antara Anta Maqshudi dan Ridhaka Matlubi
Cinta itu sungguh berada pada satu titik.
Titik antara hati ini menjadi tentram saat mengingat diriMu (QS 13:28), dan hatiku bergetar saat menyebut namaMu (QS 8:2).
Tabik,
Nadirsyah Hosen