You are here:

Islam yang Tekstual dan Konteksual

[aswaja_big_letter]Memahami Islam tidak cukup hanya lewat teks, tapi juga harus memahami konteks. Keduanya harus dipahami dan tidak bisa ditinggalkan.[/aswaja_big_letter]

Kalau anda melulu melihat teks maka anda akan terpaku dengan teks dan memutar kembali jarum sejarah ke jaman onta. Kalau anda hanya berpegang pada konteks dan melupakan teks maka anda akan seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Sebaik-baik urusan itu yang berada di tengah: memahami teks sesuai konteksnya. Kalau ini yang anda lakukan, maka anda dapat mempertahankan nilai lama yang masih relevan dan terus membuka diri untuk menerima ide dan gagasan baru yang lebih baik. Inilah pegangan para Kiai di pesantren: al-muhafazah ‘alal qadimis shalih wal akhzu bil jadidil ashlah. Para Kiai itu tidak literal dan juga tidak liberal. Dengan menguasai qawa’id ushuliyah dan qawa’id fiqhiyah, para Kiai terlatih untuk bisa “nyetel” dengan pas antara wahyu dan akal; teks dan konteks; Nash dengan budaya; mantuq dan mafhum; azimah dan rukhsah’; serta dalalah dan maqashid.

Cara berpikir ‘wasatiyyah‘ ini membuat para Kiai tidak kesulitan menempatkan diri dalam perubahan jaman. Saya ingin beri contoh: Masih banyak saudara-saudara kita yang 100% hendak mengikuti setiap tindakan dan perilaku Nabi dari soal cara berpakaian sampai cara makan dan tidur. Tentu tidak keliru kalau mau mengikuti Nabi dalam segala hal, namun bahanyanya bagi mereka yang mengikuti secara tekstual adalah sering menganggap orang lain kurang islami atau kurang nyunnah kalau mengikuti Nabi secara kontekstual.

Syekh Mahmud Syaltout (mantan Grand Syekh al-Azhar) kemudian menjelaskan bahwa prilaku dan tindakan Nabi itu ada yang bersifat kemanusiaan belaka dan karenanya tidak memiliki konsekuensi hukum; dan ada yang memang dilakukan Muhammad sebagai seorang Nabi yang karenanya memiliki konsekuensi hukum. dengan kata lain, harus dibedakan antara sunnah ghairu tasyri’iyyah dan sunnah tasyri’iyyah.

Perintah Nabi, “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat“, maka pertanyaannya, seandainya ada sahabat Nabi yang shalat dibelakang Nabi lantas mendengar setelah takbir Nabi batuk 3 kali, apakah batuknya Nabi ini merupakan hal yang harus diikuti atau ini hanya sisi kemanusiaan Nabi yang kebetulan sedang batuk?

Pertanyaan ini akan menjadi panjang kalau contohnya saya ganti: apakah saat mengucapkan tasyahud telunjuk harus digerak-gerakkan atau cukup diam saja? Apakah laporan seorang sahabat yang melihat telunjuk Nabi bergerak itu merupakan hal yang harus kita ikuti atau tidak?

Ada pula kawan yang semangat sekali menyuruh orang lain memakai siwak untuk membersihkan mulut dan giginya. Bahkan untuk memperkuat sunnah yang satu ini dikemukakanlah “penelitian” entah dari mana bahwa terbukti ada manfaat dari kayu siwak itu secara klinis. Pertanyaannya: yang sunnah itu memakai alat siwaknya atau membersihkan mulut dan giginya? Apakah tetap dianggap nyunnah kalau kita ganti siwak dengan sikat gigi?

Repotnya, yang ngotot pakai siwak itu sering menganggap yang tidak bersiwak itu tidak mengikuti sunnah Nabi. Sikap menghakimi ini yang sering jadi masalah dalam interaksi sosial kita sehari-hari.

Lantas kalau mau konsisten, kenapa anda hanya ngotot bersiwak, tapi tidak cebok dengan 3 batu seperti yang dicontohkan Nabi? Siapa tahu akan ada “penelitian” dari orang barat yang akan langsung dikutip umat Islam dan dibroadcast kemana-mana bahwa cebok dengan 3 batu ternyata memberi manfaat luar biasa karena batu secara klinis terbukti lebih joss 🙂

Pertanyaan di atas bisa kita lanjutkan: bagaimana menghilangkan najis dengan 7 kali basuh plus dengan tanah? Bisakah diganti dengan sabun?

Jawaban dari berbagai pertanyaan di atas akan tergantung apakah anda memahami teks semata; atau anda mau melihat konteks saja; atau anda mau “nyetel” dengan pas antara pakai teks dan memahami konteksnya.

Mari kita terus belajar, karena ternyata masih banyak yang harus kita pelajari, bukan?

Tabik,

 

Nadirsyah Hosen