[aswaja_translation]“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”[/aswaja_translation]
[aswaja_big_letter]Ayat di atas telah dijadikan dasar bagi ulama ahlus sunnah wal jama’ah untuk bertawasul di makam Nabi Muhammad SAW. Para pendosa yang berziarah ke makam Nabi mengaplikasikan potongan ayat di atas sebagai bagian dari keyakinan mereka akan kebenaran wahyu ilahi dan ketaatan mereka kepada Nabi. Kalau dulu Nabi masih hidup, para sahabat mendatangi Nabi, maka kini para penziarah mendatangi makam beliau SAW. Doa Nabi itu makbul, maka sesiapa yang didoakan Nabi pasti manjur. Maka kalau Rasul memintakan ampunan Allah untuk kita, maka yakinlah Allah akan mengampuni kita seperti bunyi ayat di atas.[/aswaja_big_letter]
Berikut penjelasan yang saya sarikan dari berbagai kitab.
Tafsir Ibn Katsir:
[aswaja_arabic display=”block”]وقد ذكر جماعة منهم: الشيخ أبو نصر بن الصباغ في كتابه “الشامل” الحكاية المشهورة عن العُتْبي، قال: كنت جالسا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم، فجاء أعرابي فقال: السلام عليك يا رسول الله، سمعت الله يقول: { وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا } وقد جئتك مستغفرا لذنبي مستشفعا بك إلى ربي ثم أنشأ يقول: يا خيرَ من دُفنَت بالقاع أعظُمُه … فطاب منْ طيبهنّ القاعُ والأكَمُ … نَفْسي الفداءُ لقبرٍ أنت ساكنُه … فيه العفافُ وفيه الجودُ والكرمُ … ثم انصرف الأعرابي فغلبتني عيني، فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم في النوم فقال: يا عُتْبى، الحقْ الأعرابيّ فبشره أن الله قد غفر له[/aswaja_arabic]
Disebukan oleh banyak orang, diantaranya Syekh Abu Nasr al-Sabagh dalam kitabnya al-Syamil, sebuah kisah yang masyhur berikut ini: Syekh Uthbi sedang berada di sisi makam Rasulullah SAW, tiba-tiba datanglah Arab Badui dan berkata: ”Assalaamualaika ya Rasulallah, aku telah mendengar ayat allah (lalu dibacakan QS al-Nisa: 64 di atas), maka sekarang aku datang ke hadapanmu berharap agar dosaku diampuni, aku mohon syafaatmu ke hadirat Tuhanku.
Kemudian Arab Badui ini mengucapkan syair: “Wahai sebaik-baik orang yg dimakamkan di lembah ini lagi paling agung, telah menjadi harum semua lembah dan pegunungan ini berkat keharumanmu, ingin aku tebus diriku dihadapan qubur yang didalamnya penuh kebaikan, kedermawanan, dan kemurahan ini.” Setelah itu berlalulah orang tersebut.
Berikutnya, saat aku (Syekh Uthbi) tidur, tiba-tiba aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, dan beliau bersabda: “Hai Uthbi, orang tadi itu betul, beritahulah dia, bahwa Allah SWT telah mengampuninya.”
Kisah di atas juga disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kedua kitab beliau yaitu al-Majmu’ (Juz 8, halaman 217) dan al-Idhah (halaman 498). Imam al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir (juz 4 hal 214-215) mencantumkan kisah yang sama. Begitu pula dengan Imam al-Qarafi dalam al-Dzakhirah (juz 3 hal 275-276).
Imam Ibn Qudamah juga mencatumkan riwayat ini dalam kitab al-Mughni. Bahkan beliau mengajarkan tata cara memohon ampunan kepada Allah saat berziarah ke makam Nabi sesuai QS al-Nisa ayat 64. Setelah membaca shalawat, maka kita dianjurkan membaca:
[aswaja_arabic display=”block”]اللَّهُمَّ إنَّك قُلْت وَقَوْلُك الْحَقُّ : { وَلَوْ أَنَّهُمْ إذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا } . وَقَدْ أَتَيْتُك مُسْتَغْفِرًا مِنْ ذُنُوبِي ، مُسْتَشْفِعًا بِك إلَى رَبِّي ، فَأَسْأَلُك يَا رَبِّ أَنْ تُوجِبَ لِي الْمَغْفِرَةَ ، كَمَا أَوْجَبْتهَا لِمَنْ أَتَاهُ فِي حَيَاتِهِ ، اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ أَوَّلَ الشَّافِعِينَ ، وَأَنْجَحَ السَّائِلِينَ ، وَأَكْرَمَ الْآخَرِينَ وَالْأَوَّلِينَ ، بِرَحْمَتِك يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ .[/aswaja_arabic]
(al-Mughni juz 7, hal 420)
Ulama modern yang mengutip riwayat dari Ibn Katsir itu diantaranya Sayyid Thantawi dalam kitab Tafsirnya (juz 1, hal 985). Semasa hidupnya beliau adalah Grand Syekh al-Azhar.
Ada riwayat yang senada yang dicantumkan oleh Tafsir al-Qurtubi (juz 5 hal 266) ketika menjelaskan QS al-Nisa ayat 64:
[aswaja_arabic display=”block”]رَوَى أَبُو صَادِقٍ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: قَدِمَ علينا أعرابي بعد ما دَفَنَّا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، فَرَمَى بِنَفْسِهِ عَلَى قَبْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَثَا عَلَى رَأْسِهِ مِنْ تُرَابِهِ، فَقَالَ: قُلْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَمِعْنَا قَوْلَكَ، وَوَعَيْتَ عَنِ اللَّهِ فَوَعَيْنَا عَنْكَ، وَكَانَ فِيمَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ) الْآيَةَ، وَقَدْ ظَلَمْتُ نفسي وجئتك تَسْتَغْفِرُ لِي. فَنُودِيَ مِنَ الْقَبْرِ إِنَّهُ قَدْ غُفِرَ لَكَ [/aswaja_arabic]
[aswaja_translation]Abu Shadiq meriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib: Setelah tiga hari dimakamkannya Rasulullah SAW, datanglah seorang Arab Badui. Dia menjatuhkan dirinya ke makam sambil menyiramkan debunya ke kepalanya. Kemudian dia berucap: “Engkau telah katakan kepada kami, Ya Rasulallah, dan kami mendengarkan ucapkanmu itu, engkau telah mendapat penjelasan dari Allah SWT, dan kami mendapatkannya darimu, bahwa ada ayat Allah kepadamu yang berbunyi –Badui ini kemudian membacakan QS al-Nisa ayat 64, lantas mengucapkan: “Sungguh aku mengakui telah berbuat zalim kepada diriku sendiri, dan sekarang aku datang kepadamu agar engkau berkenan memintakan ampunan Allah untukku. Tiba-tiba dari makam terdengar suara: “sesungguhnya kau telah diampuni.”[/aswaja_translation]
Kisah di atas juga tercantum dalam Tafsir al-Nasafi (Juz 1 hal 236) dan Tafsir al-Bahr al-Muhit karya Abu Hayyan Al-Andalusi (juz 4 hal 180). Sanad yang lebih lengkap dicantumkan dalam Kanzul Umal (Juz 2 hal 386 dan Juz 4 hal 259).
Berdasarkan sejumlah rujukan di atas itulah kita mengetahui Habib Abdullah al-Haddad (shahibur ratib) menuliskan syair yang begitu menyentuh dan sampai sekarang dilantunkan oleh para santri di seluruh dunia:
“Ya sayyidi ya Rasulallah. Ya man lahul jaah indallah. Innal musii’ina qad jauk. lidz dzanbi yastaghfirunallah,”
(Wahai pemimpinku Wahai utusan Allah. Wahai orang yang punya kedudukan khusus di sisi Allah. Sungguh orang yang berdosa ini telah datang kepadamu. Berharap kepada Allah SWT agar diampuni dosanya).
Syekh ‘Uthbi, Ibn Katsir, Imam Nawawi, Imam al-Mawardi, Ibn Qudamah, Imam al-Qurtubi, Imam al-Qarafi, Sayyid Thantawi, Imam al-Nasafi, Abu Hayyan, Habib al-Haddad dan masih banyak lagi ulama ahlus Sunnah wal jama’ah yang percaya bahwa baik masih hidup ataupun saat beliau SAW sudah wafat, kalau kita datang menemui beliau dan meminta tolong agar beliau SAW memohonkan ampunan kepada kita, maka Allah sesuai dengan janjiNya pada surat al-Nisa ayat 64 akan mengampuni kita.
Kalau anda pernah berkesempatan belajar di pondok, madrasah atau perguruan tinggi Islam, anda pasti tahu kualitas para ulama yang saya sebutkan di atas lengkap dengan judul kitab dan halamannya. Mereka jelas bukan orang sembarangan. Tidak mungkin mereka mau melanggar Qur’an dan Hadis atau mencantumkan cerita dusta soal ini. Kalau kita mau lihat latar belakang mazhab para ulama di atas juga komplit: Imam Nawawi dari mazhab Syafi’i, Imam al-Qarafi dari mazhab Maliki, Imam Ibn Qudamah dari mazhab Hanbali, Imam al-Nasafi dari mazhab Hanafi dan Abu Hayyan dari mazhab Zhahiri. Semuanya berpendapat yang sama. Hanya ada satu aliran yang tidak sepakat. Apa alirannya?
Ya, seperti yang sudah bisa ditebak, lantas datanglah Syekh al-Albani yang menolak semua riwayat di atas. Beliau menganggap sanadnya dhaif dan perawinya tidak dikenal, serta kandungan kisahnya bertentangan dengan aqidah Wahabi sehingga yang melakukannya masuk ke dalam perbuatan syirik. Maka dimata tokoh Wahabi ini, para ulama yang sudah disebutkan di atas dianggap salah semua. Masak percaya dengan kisah yang tidak jelas? Masak percaya dengan mimpi? Rasul sudah wafat dan sudah tidak bisa memberikan manfaat apapun. Begitu sanggahan Wahabi.
Ya enggak apa-apa…kita masing-masing menempuh jalan yang berbeda saja. Cinta kepada Rasul ini termasuk perkara yang ajaib dan ghaib. Saya meyakini bahwa andaikan saja para ulama kekasih Allah diijinkan menuliskan apa yang mereka alami saat berziarah ke makam Rasul, kita akan tahu bahwa cinta kepada Rasul telah menembus batas-batas riwayat.
Saya tutup catatan ini dengan mengutip syair burdah yang begitu menggetarkan hati:
Ya Rabbi bil Mushtafa balligh maqasidana, waghfirlana ma madha, Ya Wasi’a Karami.
#jumahmubarak
Tabik,
Nadirsyah Hosen