Seorang ulama besar dalam bidang hadits, sejarah dan fiqh yang bernama Abu Bakr Ahmad bin Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Mahdi as-Syafi’i (1002 – 1071 M) menulis kitab berjudul al-Faqih wal Mutafaqqih. Ulama ini masyhur dengan julukan al-Khatib al-Baghdadi (pengkhutbah dari Baghdad) karena posisi ayahnya yang terkenal sebagai khatib di Baghdad.
Dalam kitabnya juz 1, halaman 404, nomor riwayat 738 tercantum pernyataan
Umar bin Abdul Azis:
ما سرني لو أن أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم لم يختلفوا، لأنهم لو لم يختلفوا، لم تكن رخصة،
“Aku tidak bahagia seandainya para Sahabat Nabi Muhammad Saw tidak berbeda pandangan, karena sungguh jikalau mereka tidak berbeda, tidaklah akan terjadi rukhshah (keringanan dalam beragama).”
Pernyataan Umar bin Abdul Azis ini masyhur di kalangan ulama. Maksudnya adalah karena para sahabat Nabi itu orang-orang yang adil (kulluhum ‘udul), dan mereka paling paham mengenai ajaran Islam yang dibawa Rasulullah, maka mengikuti salah satu pendapat sahabat Nabi itu dibenarkan. Jadi, jika di antara para sahabat Nabi terjadi perbedaan pandangan, kita mengalami berbagai opsi alternatif dalam memilih pendapat mereka.
Inilah yang disebut dengan rukhshah atau keringanan dalam pernyataan Umar bin Abdul Azis. Kalau para sahabat Nabi tidak pernah berbeda pendapat, maka kita hanya mendapat warisan satu pendapat saja, dan tidak ada alternatif lainnya.
Tetapi benarkah para sahabat Nabi itu berbeda pandangan? Ada sementara pihak yang merasa kalau merujuk kepada pemahaman masa salafus shalih (300 tahun pertama dalam sejarah Islam), maka semua perselisihan umat saat ini menjadi selesai. Faktanya ternyata dalam 300 tahun pertama itu banyak sekali terjadi perselisihan pendapat, bahkan pada periode Sahabat Nabi.
Pernah ada yang marah dan mencaci saya ketika saya katakan para sahabat Nabi pun terkadang berbeda pandangan. Bagi kawan itu, mustahil para sahabat Nabi berbeda pendapat. Islam itu hanya satu. Tidak ada perbedaan pendapat. Kebenaran cuma satu.
Saya akan tunjukkan beberapa contoh perbedaan di antara 4 sahabat utama yang menjadi al-khulafa ar-rasyidun.
Pertama, Abu Bakar berpendapat kakek dapat menghalangi para saudara lelaki dari warisan, sebagaimana mereka tidak mendapat warisan jika bersama dengan ayah. Umar berpendapat bahwa kakek dalam makna sebenarnya tidaklah sama dengan ayah. (Al-Madkhal li Dirasat al-Fiqh al-Islamiy, 40)
Utsman berkata kepada Umar dalam soal warisan untuk kakek: “jika kami ikuti pendapat anda, maka itu benar. Namun jika kami mengikuti pendapat orang tua itu (Abu Bakar) sebelum anda, maka ia memang sebaik-baik orang yang memiliki pendapat” (Sunan Darimi, 2789)
Namun demikian, Zaid bin Tsabit dikabarkan mendukung pendapat Umar.,
Kedua, dalam kasus talak, pada masa Abu Bakar tetap berlaku “talak tiga dalam satu majelis” hanya dianggap jatuh talak satu. Pada masa Umar, beliau menetapkan talak tiga dalam satu waktu jatuh pada talak tiga. Para sahabat lainnya seperti Ali, Abu Musa al-Asy’ari, Zubair dan Ibnu Abbas menolak pendapat Umar ini. (I’lamul Muwaqi’in 3/24-25)
Ketiga, ada kasus perempuan yang belum selesai iddahnya tapi sudah menikah dengan lelaki lain. Umar membatalkan pernikahan tersebut dan menyatakan lelaki itu haram menikahi perempuan tersebut selamanya. Ali bin Abi Thalib menyangkal keharaman ini. Menurut beliau, setelah selesai masa iddahnya, lelaki tersebut boleh menikahi kembali perempuan itu. Al-Fikr as-Sami, 2/47)
Keempat, pada masa khalifah Umar, unta yang hilang dibiarkan saja sampai unta tersebut ditemukan oleh pemiliknya. Pada masa Khalifah Utsman, beliau menyuruh mengumumkan unta tersebut, jika tidak ditemukan pemiliknya maka boleh dijual dan uang hasil penjualan disimpan hingga pemiliknya datang. (Al-Muwaththa’, 2/129)
Kelima, dalam hal pembagian harta kepada rakyat, Abu Bakar melakukan pembagian sama rata. Ketika tiba pada masa Umar, beliau mengubah keputusan Abu Bakar. Umar memilih pembagian harta secara berbeda berdasarkan jasa dan kontribusi mereka terhadap Islam, maupun kebutuhan mereka. (Tarikh Tasyri’ Khudhari Bek, 126)
Perbedaan pendapat di kalangan keempat sahabat utama itu nyata dalam panggung sejarah. Alih-alih menganggap ini sebagai sebuah cela, Khalifah Umar bin Abdul Azis justru menyenangi fakta sejarah ini.
Terakhir, saya ingin mengutip teks dalam Sunan ad-Darimi (riwayat nomor 626):
Dikatakan kepada Umar bin Abdul Aziz: “Seandainya saja kamu mau satukan manusia dalam satu paham“.
Kemudian Umar bin Abdul Azis berkata: “Tidaklah menggembirakanku jika mereka tidak berbeda pendapat“. Lantas ia menulis surat ke seluruh penjuru daerah agar setiap kaum berhukum dengan apa yang disepakati oleh para ahli fikih mereka (pada daerah masing-masing).
Itulah sebabnya fiqh di masing-masing negeri berbeda-beda sesuai dengan mazhab dan konteks setempat.
Sekali lagi, keragaman itu sebuah keniscayaan. Jangan hendak menyeragamkan yang beragam. Mari yuk kita terus belajar menghormati perbedaan pandangan di antara kita.
Tabik,
Nadirsyah Hosen