Imam al-Ghazali dan Ibn Rusyd itu beda generasi, tetapi kritikan Ghazali thd filsafat, dibantah oleh Ibn Rusyd. Buku dibantah buku. Namun yg menarik, karya monumental Ghazali dlm bidang Ushul al-Fiqh, yaitu kitab al-Mustashfa, ternyata dibuat ringkasannya oleh Ibn Rusyd.
Ini artinya Ibn Rusyd bukanlah ‘hater’ dari al-Ghazali. Tidak mencaci atau membenci. Tetap kritis, tapi juga apresiatif. Semalam saya unduh kitab ad-Dharuri fi Ushul al-Fiqh – karya beliau yg meringkas al-Mustashfa.
Menarik bukan khazanah keislaman klasik ini?
Contohnya, al-Ghazali menulis:
أما التمهيد فهو أن الحكم عندنا عبارة عن خطاب الشرع إذا تعلق بأفعال المكلفين،
Sedangkan Ibn Rusyd meringkas plus memodifikasinya:
أما حد الحكم عند أهل السنة فهو عبارة عن خطاب الشرع إذا تعلق بأفعال المكلفين
Saat al-Ghazali menyodorkan definisi hukum beliau menulis kata ‘indana (menurut kami). Kata ini diubah dengan diperjelas oleh Ibn Rusyd, yaitu ‘inda Ahlis Sunnah (menurut Ahlus Sunnah). Modifikasi ini terlihat sepele tapi sesungguhnya Ibn Rusyd telah memperjelas kutipan ini.
Pertama, dg mengubah kalimat ‘indana Ibn Rusyd meluaskan audiens yg dituju oleh kitab al-Mustashfa ini. Kedua,pembahasan berikutnya, al-Ghazali mengupas perbedaannya dg Mu’tazilah ttg al-husn wal qubh (baik & buruk). Jadi wajar Ibn Rusyd menegaskan posisi Ghazali yg Ahlus Sunnah.
Lagipula sebenarnya masalah khitab syar’i ini juga melibatkan perdebatan ilmu kalam antara Ahlus Sunnah dan Mu’tazilah. Kalau kita baca salah satu kitab babon ushul fiqh yg berjudul Nihayah as-Sul karya Imam Isnawi, ada diskusi menarik soal definisi hukum ini.
Apakah khitabullah itu qadim (lama) spt klaim Ahlus Sunnah, atau hadits (baru) spt klaim Mu’tazilah. Ahlus Sunnah blg khitabullah itu kalamullah. Sifat Allah itu qadim. Mu’tazilah serang balik: kalau khitabullah qadim, apakah hukum jadi hadits krn berkenaan dg perbuatan mukallaf?
Diskusinya akan panjang soal ini, sementara kitab al-Mustashfa tdk menyinggung sedetil itu, namun Ibn Rusyd paham konteks diskusinya, maka beliau memperjelas kalimat ‘indana dari Imam al-Ghazali menjadi ‘inda ahlis sunnah.
Selain meringkas, khazanah keilmuan klasik Islam juga dipenuhi dg tradisi memberi syarh (penjelasan) terhadap matan (teks asli). Misalnya Nihayah as-Sul yg saya kutip di atas, itu merupakan Syarh (penjelasan) Al-Isnawi thd kitab al-Baidhawi yg meringkas al-Mahsul karya ar-Razi.
Selain itu ada pula eksplorasi lebih lanjut dari kitab syarh. Catatannya makin panjang. Namanya hasyiyah. Dalam bidang ushul al-fiqh, contohnya kitab al-Waraqat karya Imam al-Haramain, diberi syarh oleh al-Mahalli. Lantas syekh Ahmad ad-Dimyathi menulis hasyiyah-nya.
Tradisi inilah yg dijaga dalam khazanah keilmuan Islam klasik. Ada buku teks rujukan, yang bisa diberi ringkasan, atau diberi tambahan penjelasan, dan kemudian diberi eksplorasi lebih jauh. Bacaan kitab jg bertingkat sesuai tingkatan belajar para santri. Tertib dlm disiplin ilmu.
Sama aja dg belajar biologi di SMP dan belajar biologi di pasca sarjana pasti beda kedalamannya meskipun sama-sama belajar biologi. Keilmuan klasik Islam jg demikian. Belajarnya gak bisa lompat, harus tertib. Semoga coretan sederhana ini bisa mendorong kita utk terus rajin belajar.
Medium penyampaian ilmu boleh saja menggunakan tool modern spt di medsos ini, namun belajar dg tertib keilmuan harus kita jaga tradisi ini. Kalau tidak, pengetahuan kita hanya comot sana-sini, dan tdk mengenal kedalaman ilmu dg baik. Medsos itu cuma tool saja, jangan jadi yg utama 🙏
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama
Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School