Ini kisah seorang ulama besar yang terpaksa harus berurusan hukum dengan seorang kakek berusia 80 tahun. Ibn al-Jawzi adalah ulama mazhab Hanbali, yang dikenal sebagai ahli sejarah, dan juga seorang ahli fiqh. Jelas beliau bukan ulama sembarangan. Lahir pada tahun 1126 Masehi dan wafat pada tahun 1200 Masehi saat berusia 74 tahun. Dia sering dipanggil dengan Imam atau Syekh al-Islam.
Beliau sendiri sangat produktif menulis. Kabarnya ada 200 buku yang dikarangnya. Ada lagi yang meneliti dan menemukan manuskrip tercecer sampai 700 buku. Sayangnya sebagian besar sudah musnah dan tidak sampai ketangan kita. Beruntungnya kita karena 18 jilid buku al-Muntazam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam masih bisa diakses, dan sering saya jadikan rujukan saat mengupas sejarah politik Islam.
Kali ini saya membaca kitab beliau yang berjudul Shaydul Khathir. Kitab ini merupakan catatan dan renungan beliau. Gagasan yang terpenjara dalam benak beliau, beliau lepaskan lewat catatan ringan di kitabnya ini. Unik dan menarik.
Pada halaman 244 beliau berkisah:
ولقد حضر عندي رجل شيخ ابن ثمانين سنةً، فاشتريت منه دكانًا، وعقدت معه العقد، فلما افترقنا؛ غدر بعد أيام، فطلبت منه الحضور عند الحاكم، فأبى، فأحضرته، فحلف اليمين الغموس أن ما بعته! فقلت: ما تدور عليه السنة وأخذ يبرطل لمن يحول بيني وبينه من الظلمة، فرأيت من العوام من قد غلبت عليه العادات، فلا يلتفت معها إلى قول فقيه، يقول: هذا ما قبض الثمن، فكيف يصح البيع؟! وآخر يقول: كيف يجوز لك أن تأخذ دكانًا بغير رضاه؟! وآخر يقول: يجب عليك أن تقيله البيع! فلما لم أقله، أخذ هو وأقاربه يأخذون عرضي، ورأى أنه يحامي عن ملكه.
Ibn al-Jawzi membeli sebuah toko dari seorang kakek berusia 80 tahun. Transaksi sudah selesai. Namun beberapa hari kemudian sang kakek mendatangi kembali Ibn al-Jawzi dan membantah telah terjadi transaksi. Ibn al-Jawzi meminta kakek itu mendatangi pengadilan untuk meminta secara resmi pembatalan transaksi. Kakek ini menolak malah terus mendesak agar transaksi dibatalkan secara sepihak. Bahkan sang kakek mulai menyuap kanan-kiri untuk kepentingannya ini.
Ibn al-Jawzi kemudian mengadukan perkara ini ke pengadilan, dan menyampaikan semua bukti bahwa transaksi telah terjadi. Kakek ini bahkan berani bersumpah palsu bahwa dia tidak pernah menjual tokonya. Hal ini tentu mengherankan Ibn al-Jawzi yang menulis:
فكم قد رأيت هذا الشيخ يصلي، ويحافظ على الصلاة، ثم لما خاف فوت غرضه، ترك الشرع جانبًا!
“Berapa banyak aku melihat orang tua ini shalat dan menjaga shalatnya. Tapi ketika kepentingannya terganggu, dia tinggalkan aturan agama begitu saja.”
Hakim yang melihat semua bukti itu malah menunda keputusannya akibat pengaruh tekanan sebagian pihak: “Kakek ini belum mendapatkan pembayarannya, bagaimana mungkin transaksi ini valid?” Ada lagi yang komentar: “Masak anda mengambil toko kakek ini tanpa kerelaan darinya?” Bahkan ada yang tegas mengatakan “wajib bagi anda membatalkan transaksi ini!”
Celakanya, Kakek ini menggunakan koneksinya melaporkan kasus ini ke Sulthan, dan orang-orang yang sudah kena suap oleh sang kakek, mulai menebarkan berbagai macam fitnah dan tuduhan yang mengagetkan Ibn al-Jawzi. Ibn al-Jawzi pun bergumam: “gak sampai setahun kakek ini bakal wafat”. Kasus ini jadi berlarut dan panjang urusannya.
ثم إن الله تعالى نصرني عليه، وتقدم إلى الحاكم بإنفاذ ما ثبت عنده، ودارت السنة، فمات الشيخ علي قل
Namun, kata Ibn al-Jawzi, Allah memyelamatkannya dari plot mereka ini. Pada akhirrnya hakim memutuskan kemenangan Ibn al-Jawzi dalam perkara ini karena bukti yang disampaikan beliau sangat kuat. Dan benarlah ucapan Ibn al-Jawzi bahwa gak sampai setahun kemudian sang kakekpun wafat.
Sebenarnya dalam konteks fiqh, paling tidak ada tiga hak opsi (khiyar) untuk membatalkan transaksi. Pertama, khiyar majelis, yaitu selama masih berada di tempat yang sama (toko, pasar, kios) transaksi jual beli bisa dibatalkan. Kedua, jika ada persyaratan saat transaksi, misalnya dalam waktu 3 hari, pembeli diberi kesempatan untuk cooling down period (menenangkan diri) apakah mau melanjutkan transaksi atau tidak (khiyar syarat). Setelah berlalu waktu yang disepakati, maka otomatis transaksi berlaku. Ketiga, transaksi dibatalkan kalau ada cacat dalam barang yang dibeli (khiyar ‘aib).
Jadi sebenarnya fiqh Islam mengatur soal perlindungan terhadap konsumen ini. Tidak jelas dalam kisah Ibn al-Jawzi di atas apa beliau menggunakan khiyar majelis, sementara sang kakek menggunakan khiyar syarat. Tidak jelas juga mengapa sang kakek berubah pikiran, apakah anak-cucunya merasa dia tidak lagi cakap atau punya kemampuan dengan jernih untuk melakukan transaksi tanpa sepengetahuan keluarganya, lantas minta transaksi dibatalkan. Atau sang kakek sudah pikun sampai berani bersumpah palsu bahwa transaksi tidak pernah terjadi?
Ibn al-Jawzi juga menyalahkan adat dalam kasus ini. Tidak jelas apakah sang kakek menganggap transaksi tersebut batal berdasarkan adat setempat, sementara Ibn al-Jawzi berpegang pada aturan fiqh. Bukan hanya pendek, tapi kisah ini juga berdasarkan versi Ibn al-Jawzi sendiri. Yang menarik adalah intrik suap-menyuap, tekanan untuk mempengaruhi keputusan hakim, bahkan fitnah sampai koneksi kepada penguasa juga sudah terjadi di masa Khilafah Abbasiyah, periode dimana Ibn al-Jawzi hidup dan berkisah. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kasus di atas.
Nanti saya ceritakan kisah lainnya dari kitab ini kalau saya sudah selesai ngopi dan nyisir.
Tabik,
Nadirsyah Hosen