You are here:

Fatwa Abu Yusuf yang Bikin Takjub Ulama

Ketika membahas tentang pentingnya penguasaan ilmu yang mumpuni, Imam Fakhruddin ar-Razi yang bermazhab Syafi’i menceritakan kisah yang berkenaan dengan fatwa Imam Abu Yusuf yang bermazhab Hanafi:

‎حُكِيَ أَنَّ هَارُونَ الرَّشِيدَ كَانَ مَعَهُ فُقَهَاءُ وَكَانَ فِيهِمْ أَبُو يُوسُفَ فَأُتِيَ بِرَجُلٍ فَادَّعَى عَلَيْهِ آخَرُ أَنَّهُ أَخَذَ مِنْ بَيْتِهِ مَالًا بِاللَّيْلِ فَأَقَرَّ الْآخِذُ بِذَلِكَ فِي الْمَجْلِسِ فَاتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ تُقْطَعُ يَدُهُ. فَقَالَ أَبُو يُوسُفَ: لَا قَطْعَ عَلَيْهِ، قَالُوا لِمَ؟ قَالَ لِأَنَّهُ أَقَرَّ بِالْأَخْذِ وَالْأَخْذُ لَا يُوجِبُ الْقَطْعَ بَلْ لَا بُدَّ مِنَ الِاعْتِرَافِ بِالسَّرِقَةِ فَصَدَّقَهُ الْكُلُّ فِي قَوْلِهِ، ثُمَّ قَالُوا لِلْآخِذِ أَسَرَقْتَهَا؟ قَالَ: نَعَمْ، فَأَجْمَعُوا كُلُّهُمْ عَلَى أَنَّهُ وَجَبَ الْقَطْعُ لِأَنَّهُ أَقَرَّ بِالسَّرِقَةِ فَقَالَ أَبُو يُوسُفَ: لَا قَطْعَ لِأَنَّهُ وَإِنْ أَقَرَّ بِالسَّرِقَةِ لَكِنْ بَعْدَ مَا وَجَبَ الضَّمَانُ عَلَيْهِ بِإِقْرَارِهِ بِالْأَخْذِ فَإِذَا أَقَرَّ بِالسَّرِقَةِ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ بِهَذَا الْإِقْرَارِ يُسْقِطُ الضَّمَانَ عَنْ نَفْسِهِ فَلَا يُسْمَعُ إِقْرَارُهُ فَتَعَجَّبَ الْكُلُّ مِنْ ذَلِكَ

Imam Abu Yusuf merupakan penasehat utama Khalifah Harun ar-Rasyid, bahkan kemudian diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung. Berbeda dengan gurunya, Imam Abu Hanifah yang menjauh dari pusat kekuasaan, Imam Abu Yusuf malah merangkul kekuasaan. Memang sepanjang sejarah kita temui ada ulama yang jauh dari istana, dan ada pula yang dekat dengn istana. Keduanya baik-baik saja selama berjalan dalam koridor keilmuan mereka, bukan politisasi agama.

Dalam kisah di atas diceritakan bahwa saat Khalifah Harun ar-Rasyid bersama Abu Yusuf dan para ulama lainnya, ada seorang pemuda yang didakwa mengambil harta dari rumahnya di malam hari. Orang ini mengakui telah MENGAMBIL harta tersebut. Maka di majelis yang mulia itu, para ulama sepakat bahwa pemuda ini terkena had mencuri, yaitu dipotong tangannya. Namun Abu Yusuf menolak keputusan tersebut.

Ulama yang lain bertanya: “kenapa tidak terkena had.”

Abu Yusuf berpendapat bahwa pemuda tersebut mengakui telah MENGAMBIL bukan mengakui telah MENCURI.

Sampai di sini, jelas Abu Yusuf mengajarkan kehati-hatian dalam bersikap. Mengambil tidak otomatis sama dengan mencuri. Bisa saja mengambil itu atas dasar kesepakatan titipan dengan pemilik harta, atau mengambil untuk meminjam, atau kemungkinan lainnya. Perbedaan pilihan diksi bisa membawa konsekuensi hukum yang berbeda.

Para ulama lainnya kemudian menyadari hal ini dan lanjut bertanya pada pemuda itu: “apakah yang anda maksud mengambil itu MENCURI?

Pemuda itu mengakuinya.

Untuk kedua kalinya sepakat lagi para ulama bahwa atas dasar pengakuan terakhir ini maka pemuda ini terkena had potong tangan.

Abu Yusuf kembali menolaknya.

Bagi beliau, tetap tidak berlaku had potong tangan karena kalaupun ada pengakuan dia mencuri, pengakuan itu terjadi setelah dia harus mengembalikan kerugian (dhaman) akibat harta yg dia ambil.

Saya sempat berdiskusi kewat pesan wa dengan guru saya Dr KH Maulana Hasanudin, wakil ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, soal argumentasi Abu Yusuf ini.

Kak Hasan, begitu saya biasa menyapa santri KH Mahrus Ali Lirboyo dan KH Dimyati Rais Kaliwungu ini, mengingatkan kembali soal relasi dengan harta (Wadi’ah) memang terdapat dua istilah berbeda, yaitu yad amanah dan yad dhaman.

Secara singkat, yad amanah adalah titipan yang berlaku kaidah asal titipan, yakni menjaga amanah. Pada skema ini, penerima titipan tidak mempergunakan barang titipan. Adapun yad dhaman adalah titipan yang ditanggung oleh penerima titipan karena barang titipan tersebut dipergunakan dan/atau dihabiskan, sehingga pihak pengguna titipan harus mengganti titipan seperti semula.

Jadi, dalam kasus Abu Yusuf ini, pilihannya kalau pemuda tersebut mengaku MENGAMBIL maka dia bertanggu jawab harus kembalikan harta tersebut. Kalau dia mengaku MENCURI, maka dia bisa terkena had. Sekarang dia mengaku mencuri, yang boleh jadi agar tidak mengembalikan harta itu. Karena itu pengakuan dia mencuri menjadi gugur, dan dia tidak terkena had. Artinya, motif dia mengaku mencuri itu dipertanyakan oleh Abu Yusuf. Karena pengakuan mencuri terjadi setelah dia mengaku mengambil.

Pada titik ini boleh jadi berlaku kaidah yang berasal dari hadits Nabi Saw: Al-Hudud tasqutu bi Syubhat (hukuman hudud gugur karena ada syubhat atau kesamaran/ketidakjelasan).

Jadi, memutuskan hukuman had itu harus beyond reasonable doubt. Harus yakin 100 persen. Kalau tidak yakin 100 persen, maka lebih baik melepas 100 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah. Kira-kira begitulah argumentasi Imam Abu Yusuf dari nulai soal pilihan diksi saat iqrar (pengakuan), soal dhaman dan motif, dan juga didukung kaidah fiqh. Semua itu berdasarkan keilmuan beliau yang sangat mumpuni.

Maka takjublah semua ulama yang hadir di majelis itu dengan apa yang Imam Abu Yusuf sampaikan di atas.

Ini artinya, menegakkan hukum Islam itu gak cuma modal koar-koar saja. Kita butuh ilmu. Nanti kita akan tahu mana kategori syari’ah dan mana kategori fiqh; bahkan kita pun akan tahu bahwa ada hukum taklifi, dan ada hukum wadh’i yang bisa mempengaruhi implementasi hukum taklifi; kita juga akan hati-hati soal pilihan diksi dalam sebuah pengakuan, dan juga berhati-hati memahami soal harta baik sisi perdata maupun pidana-nya seperti kasus di atas, dan kita harus paham kaidah ushul dan kaidah fiqh.

Jangan sampai penegakkan hukum Islam itu hanya mudah untuk diteriakkan, namun tidak dipahami secara utuh. Akhirnya menjadi karikatur atau kosmetik belaka.

Tabik,

Nadirsyah Hosen