Sekarang kita bahas soal Sunnah. Kita tahu Sunnah Nabi itu defisininya adalah perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan penetapan (taqrir) dari Nabi Muhammad. Kita fokus pada perbuatan Nabi, sebagaimana diulas dalam kitab karya Syekh Wahbah az-Zuhaili yang berjudul Ushul al-Fiqh al-Islamiy (jilid 1, halaman 478-440). Saya skrinsut isi kitabnya untuk kawan-kawan yang mau menelaah lebih lanjut.
Mari kita ngaji sama-sama
Perbuatan Nabi itu ada tiga macam. Kita akan simak mana yang merupakan perbuatan yang berimplikasi syar’i kepada kita selaku umatnya.
Pertama, perbuatan jibliyah yang dilakukan beliau SAW dalam kapasitas sebagai manusia biasa, seperti duduk, berdiri, makan-minum.
Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan tidak wajib mengikuti perbuatan Nabi yang dilakukan secara fitrah kemanusiannya. Namun ada yang berpendapat hal itu tetap dianjurkan untuk mengikuti Nabi seperti yang dicontohkan oleh sahabat Nabi, Abdullah bin Umar RA.
Nah, sampean mau ikut jumhur ulama gak? Kalau ikut jumhur, berarti perbuatan Nabi kategori pertama ini tidak wajib kita ikuti. Namun kalau sampean ingin mengikutinya silakan saja, karena hal itu juga sudah dicontohkan oleh Abdullah bin Umar RA. Hanya jangan memaksa orang lain untuk mengikuti pemahaman sampean atau menganggap orang lain tidak nyunnah karena tidak ikut cara duduk, berdiri, tidur, makan-minumnya Nabi Muhammad SAW. Boleh jadi kawan sampean itu justru mengikuti pendapat mayoritas ulama.
Kedua, perbuatan khusus yang dilakukan oleh Nabi saja dan bukan kewajiban untuk umatnya. Misalnya Nabi puasa terus menerus, wajib shalat tahajud, boleh menikah lebih dari 4, dan seterusnya. Perbuatan itu hanya khusus bagi Rasul SAW dan tidak disyariatkan untuk kita sebagai perkara yang wajib diikuti.
Perbuatan Rasul selain kedua jenis di atas menjadi tasyri’ yg berlaku bagi kita. Kita dituntut untuk mengikuti dan meneladaninya. Untuk itu harus diketahui status perbuatan itu bagi kita apakah wajib, sunnah atau mubah. Ketetuannya adalah sebagai berikut. Ini artinya perbuatan Nabi dalam kategori ketiga ini punya konsekuensi hukum, namun tetap harus dipilah lagi.
(a) perbuatan yang menjadi bayan (penjelas) atas kemujmalan ayat Qur’an; atau yang menjadi taqyid (pengait) atas kemutlaqan dan sebagai takhsis (pengkhusus) atas keumumannya. Ini sudah masuk istilah teknis yg dibahas para pakar Ushul al-Fiqh. Sampean mesti cek sendiri istilah mubayan-mujmal, mutlaq-muqayyad, dan ‘am-khas dalam kitab-kitab Ushul al-Fiqh. Gak mungkin tuntas semuanya dijelaskan dalam catatan saya ini. Harus ngaji di pondok untuk menelaahnya
Ayo kita lanjutttt, yang bisa kita jelaskan di sini:
Status hukum perbuatan ini mengikuti status seruan yang dijelaskan (al-mubayyan). Jika yang dijelaskan oleh perbuatan Nabi itu wajib maka hukum perbuatan itu wajib. Jika yang dijelaskan sunnah maka sunnah melakukannya. Jika yang dijelaskan mubah maka mubah pula melakukannya.
Ini artinya tidak semua hal yang dilakukan Nabi itu wajib kita ikuti, terkadang hukumnya hanya sunnah (dianjurkan), atau mubah (boleh mengikutinya-boleh pula tidak).
Contoh, perbuatan Nabi SAW dalam bentuk shalat merupakan bayan atas perintah shalat dlm al-Qur’an. Hal itu dinyatakan secara tegas (sharih) dalam sabda Rasul saw.:
«صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّى»
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.
Maka shalat mengikuti tata cara yang dilakukan Nabi itu sebuah keharusan. Namun bagaimana tata caranya, para ulama bisa berbeda-beda lagi memahaminya tergantung berbagai narasi yang mereka terima hasil laporan pandangan mata para Sahabat dalam melihat Nabi shalat.
Perbuatan Rasulullah SAW dalam melaksanakan haji merupakan bayan atas seruan berhaji. Hal itu dinyatakan secara sharih dalam sabda Rasul saw.:
«خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ»
Ambillah dariku tata cara haji kalian.
Begitu juga contoh soal batas potong tangan dan batas berwudhu sampai siku, meski ayat al-Qur’an tidak menjelaskannya dengan rinci. Sunnah Nabi-lah yang menjelaskan batasannya.
Dalam perbuatan ini bayan mengikuti apa yg dijelaskan (al-mubayan) sehingga kemungkinan hukumnya bisa wajib, sunnah atau mubah. Sampai di sini, menentukan hukum mengikuti perbuatan Nabi tergantung qarinah (indikasinya) apakah wajib, sunnah atau mubah.
(b) Perbuatan Rasulullah SAW juga ada yang dilakukan tanpa ada tujuan untuk menerangkan, atau menjelaskan sesuatu seperti di atas. Ini membutuhkan penelaahan. Kadang ada perbuatan Rasul yang tidak diketahui sifatnya apa mengandung hukum syara’ atau tidak. Maka para ulama mengkajinya dengan detil dan mendalam sebelum sampai pada kesimpulan.
Jadi, analisa terhadap dalil itu sebuah keniscayaan. Bukan langsung “dikunyah” begitu saja hanya berdasarkan terjemahan hadits yang diviralkan di medsos.
Kalau diketahui sifat perbuatan Nabi itu mengandung hukum syara’ baik wajib, mandub atau mubah maka kita sebagai umatnya mengamalkannya juga. Ini pendapat yang lebih pas menurut Imam Syawkani berdasarkan dalil Qur’an dan tradisi sahabat Nabi.
Tetapi jika perbuatan tersebut tidak diketahui hukumnya maka ada dua kemungkinan, yaitu: terdapat sifat pendekatan diri kepada Allah (qurbah) atau tidak. Jika iya, maka hukum mengikutinya adalah sunnah, seperti shalat sunnah dua rakaat yang dilakukan oleh Rasul tidak secara terus menerus (kadang dikerjakan, kadang tidak). Maka ini indikasi mengikutinya itu hukumnya mandub (dianjurkan). Hal ini karena dalam shalat dua rakaat itu ada unsur taqarub ilallah.
Namun menurut Imam Malik perintah (amr) mengikuti Nabi itu wajib. Perbuatan Nabi SAW (yang kadang mengerjakan, kadang tidak) semata menunjukkan adanya thalab al-fi’li (tuntutan agar dilaksanakan). Di sini para ulama berbeda pandangan.
Jadi biasa aja lagiiii kalau ulama beda pendapat. Paham yahh. Gak usah marah-marah terus
Akan tetapi, jika tidak ditemukan sifat qurbah (karena berada dalam wilayah mu’amalah, bukan ibadah) seperti contohnya jual beli, dan akad muzara’ah yg dilakukan oleh Nabi, maka hukum mengikutinya hanya mubah menurut Imam Malik. Ini pendapat yang dipilih oleh Ibn al-Hajib. Namun, lagi-lagi ulama berbeda pandangan, karena menurut Imam Syafi’i itu masuk kategori dianjurkan (mandub). Ini juga merupakan pendapat dari kebanyakan ulama Hanafiyah.
Baik, sampai di sini ternyata perkara perbuatan (af’al) Nabi mana yang harus diikuti, dan mana yang tidak punya konsekuensi hukum panjang diskusinya. Tidak semudah sebagian kalangan yang dengan enteng mengklaim ini dan itu sebagai sunnah Nabi yang harus kita ikuti. Ternyata para ulama mengajarkan kita untuk memilah dan menelaahnya terlebih dahulu.
Sebagai bahan perbandingan kajian dari kitab Ushul al-Fiqh al-Islamiy karya Syekh Wahbah az-Zuhaili ini bisa kita compare dg apa yang dibahas oleh Imam al-Amidi, dalam kitabnya al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, seperti pernah saya ulas di sini:
Demikian ngaji kita hari ini. Semoga bermanfaat, bi idznillah
Subhanak la ‘ilma lana illa ma ‘allamtana innaka antal alimul hakim (Maha Suci Englau Ya Allah, sungguh kami tidak punya ilmu apapun kecuali apa-apa yg telah Engkau ajarkan kepada kami)
Tabik,
Nadirsyah Hosen