Di Australia kebersihan dan kenyamanan sangat diperhatikan oleh pemerintah. Itu sebabnya, ada aturan tidak boleh sembarangan memotong hewan. Pemotongan harus dilakukan di abbatoir atau RPH (rumah pemotongan hewan). Disamping melindungi
hewan dari tindakan barbar, aturan ini juga membuat darah hewan tidak tercecer dimana-mana yang bisa mengundang kuman dan penyakit.
Aturan ini menjadi persoalan ketika Muslim di Australia hendak melakukan ibadah Qurban. Praktek yang Ujang lakukan dengan kawan-kawan adalah bersama-sama membeli kambing atau sapi ke abbatoir, dan lalu melobby pihak abbatoir agar mengijinkan Ujang dan kawan-kawan memotong hewan tersebut. Ada abbatoir yang menolak karena Ujang dan kawan-kawan tidak memiliki sertifikat atau lisensi untuk memotong hewan, dan kalau dilaporkan abbatoir tersebut bisa terkena sanksi. Namun ada juga abbatoir yang mau bersikap kompromi dan mengijinkannya.
Cara praktis lain adalah dengan melalui situs online seperti Muslim Aid dimana kita bisa membayar secara online harga hewan kurban yang kita kehendaki. Ada opsi berkurban dengan canned qurban, yaitu daging yg dimasukkan kaleng dijadikan kornet dan dikirim ke negeri-negeri miskin yang membutuhkan. Harga per kalengnya saat itu sekitar $120. Ini dilakukan karena Australia negeri kaya dan setiap hari orang makan daging, dan sulit mencari fakir miskin di sini.
Ujang ditanya oleh Akh Muzakki (dosen IAIN Sunan Ampel yang saat itu sedang mengambil program PhD di University of Queensland), “bolehkah mengirim daging qurban ke luar area domisili kita?”
Setelah menelaah beberapa rujukan, Ujang menjawab:
“Begini Kiai Zaki, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai hukum memindahkan qurban ke daerah diluar daerah orang yang berqurban. Sebagian ulama mazhab Syafi’i melarang pemindahan qurban keluar daerah. Yang dimaksud dalam pelarangan ini adalah memindahkan kadar daging qurban yang wajib disedekahkan kepada faqir miskin. Alasannya adalah bahwa orang-orang fakir miskin sangat mengharapkan pemberian daging hewan tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Romli. Sedangkan menurut sebagian ulama lainnya hukum pemindahan tersebut diperbolehkan, dan mereka mengklaim bahwa ini adalah pendapat yang lebih shohih.”
“Jadi benar dugaan saya yah kalau ini masalah khilafiyah.” Akh Muzakki, yang biasa disapa Ujang dengan panggilan Kiai Zaki, mengomentari jawaban Ujang.
“Benar Kiai Zaki,” jawab Ujang dengan takzim.
Pak Bondan ikutan bertanya, “Apa boleh pemotongan hewan qurban diganti dengan uang beasiswa misalnya? Jadi tidak dalam bentuk hewan. Bagaimana Kang?”
“Wah ini pertanyaan menarik, pak Bondan,” jawab Ujang. “Ada riwayat yg menyatakan Ibn Abbas berkurban dengan dua dirham. Kalau riwayat ini kita terima, maka boleh berqurban dengan kadar nilai hewan yaitu diganti dengan uang. Bahkan ada riwayat
yang cukup menarik, Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat Nabi, dikabarkan berkurban dengan ayam, padahal kita tahu hewan kurban itu biasanya kambing atau sapi. Hanya saja Ibn Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid menganggap riwayat-riwayat yang berkenaan dengan Ibn Abbas dan Bilal ini tidak bisa dijadikan pegangan (dhaif). Sementara itu, dalam kitab al-Muhalla, Ibn Hazm menyatakan boleh berkurban denganayam, burung dan telur.”
Jawaban Ujang membuat kawan-kawannya tertawa. Mereka pikir mungkin ada-ada saja pendapat para ulama tersebut.
Ujang mengatakan, “Terlepas dari berbagai keanehan pendapat para ulama itu, mereka tentu punya argumen, dan kita hormati saja pendapat mereka. Lagipula ibadah qurban itu kan sejatinya mengandung banyak hikmah. Mari kita gali hikmah tersembunyi dari
qurban.”
Kawan-kawan Ujang kembali menyimak.
“Nabi Ibrahim memang pernah menghancurkan patung berhala dengan kapaknya. Tapi bagaimana kalau ‘berhala’ itu ada di sekitarnya? Nabi Ibrahim telah lama berharap dikaruniai putera. Lahirnya Ismail adalah jawaban dari doanya. Bagaimana kalau Allah menguji cinta Ibrahim terhadap Ismail anaknya yang sudah ditunggu kelahirannya sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu?”
“Sejuta tanya terucap: bagaimana mungkin Ismail yang telah lama dinanti, setelah diberi namun kini diminta kembali? Akankah Ibrahim mencoba menafsirkan ulang perintah tersebut atau ia akan pasrah tunduk sepenuhnya pada ilahi? Bagaimana pula sikap Ismail?”
“Ribuan tahun sudah berlalu. Getar kisah
Ibrahim – Ismail ini masih terasa sampai sekarang; setiap tahun. Sudahkah kita dahulukan kecintaan kita kepada Allah daripada cinta kepada ‘berhala’: anak, isteri, suami, gelar, jabatan, harta, dll?”
**
Baca lanjutan kisah petualangan Ujang dalam buku best seller saya “Kiai Ujang di Negeri Kanguru”.
Buku tersedia di seluruh jaringan Gramedia, TM book store, Togamas, Gunung Agung dan toko buku lainnya di Indonesia. Pesan online lewat website mizanstore atau kirim wa ke 0857 8181 7817.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
(Keterangan foto: Gus Karim di Ponpes Az-Zayadiy, guru ngajinya Pak Jokowi yg menemani beliau masuk ke dalam Ka’bah tempo hari, alhamdulillah sudah memegang buku #KiaiUjangdiNegeriKanguru. Semoga kita semua mendapat barokahnya para Kiai 🙏😍)