You are here:

Dilema Hidup: Menjalani Pilihan (2)

Di bagian pertama, sudah saya tawarkan 3 opsi dalam menghadapi dilema hidup:

1. pilihan berdasarkan aturan, apapun hasil akhirnya nanti.
2. pilihan berdasarkan hasil akhir yang lebih adil dan maslahat meski harus menabrak aturan
3. pilihan berdasarkan kualitas karakter pribadi, bukan soal aturan atau hasil akhir.

Jika anda memilih yang pertama, maka anda seorang tekstualis. Anda mengikuti bunyi aturan dan percaya bahwa mengikuti aturan itu sepenuhnya akan mendatangkan kebaikan, keadilan dan kemaslahatan. Anda percaya bahwa proses yang benar akan mendatangkan hasil yang benar. Dalam konteks aliran filsafat etika, anda mengikuti Kantian. Dalam konteks tarikh tasyri’, anda mengikuti mazhab ahlul hadits — tentu saja ada varian dalam prakteknya dari yang sangat rigid dan literal seperti mazhab zhahiri, kemudian lanjut dengan Hanbali, setelah itu Maliki dan yang paling lentur dalam ahlul hadits yaitu mazhab Syafi’i.

Kalau anda memilih yang kedua, maka anda seorang yang kontekstual. Anda tidak semata-mata bertumpu pada teks atau bunyi aturan, tapi juga mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada. Bahkan teks bisa dikorbankan untuk mendapatkan hasil yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi. Anda bersedia pindah dari dalil yang kuat menuju dalil yang kurang kuat tapi lebih mendatangkan maslahat. Anda memilih yang resiko atau kemudaratannya lebih ringan. Dalam konteks aliran filsafat etika, anda berpegang pada Utilitarian. Dalam konteks sejarah hukum Islam, anda masuk pada ketegori ahlul ra’yi.

Pemuka dari aliran ahlul ra’yi adalah Imam Abu Hanifah. Mazhab Hanafi selain menggunakan qiyas (analogi) juga mengembangkan metode istihsan. Saya akan eksplor lebih jauh soal istihsan di bagian ketiga dari tulisan ini. Harap bersabar yah karena saya akan tunjukkan bagaimana Istihsan bisa diterapkan dalam konteks sehari-hari.

Bagaimana jika anda memilih opsi ketiga? Anda berpijak pada aliran Virtue Ethic. Semua aturan itu sebenarnya ditujukan untuk memperbaiki kualitas diri kita. Untuk apa berpegang pada aturan atau menabrak aturan kalau kemudian kualitas diri kita tidak meningkat? Di sini anda menempatkan etika di atas aturan. Anda meletakkan akhlak di atas fiqh. Dimensi batin di atas dimensi lahir. Anda sudah melintasi perdebatan mazhab. Anda tidak lagi berhitung untung-rugi atau maslahat-mudarat dari tindakan anda. Ketimbang mengorbankan aturan atau mengorbankan orang lain, anda rela mengorbankan diri anda sendiri. Anda memasuki dunia tasawuf. Tindakan anda akan dianggap tidak rasional. Tapi anda berpatokan pada nilai moral dan spiritual sekaligus.

Kawan,
tidak ada jawaban yang benar atau salah dari contoh kasus yang saya skenariokan di bagian pertama. Mungkin dilema hidup kita tidak sedramatis itu, tapi apapun jua, hidup ini adalah pilihan. Selamat menjalani pilihan hidup anda. Semoga Allah menjaga kita semua, apapun pilihan yang kita ambil dalam hidup ini.

Salam semangat di hari Senin,

 

Nadirsyah Hosen